Kala Larangan Bakar Lahan Pukul Rata, Tradisi Masyarakat Adat Terancam

Gema alat musik tradisional berirama memulai rintai pengawa bumai betaun. Inilah siklus berladang menurut masyarakat Dayak Suku Iban, Sungai Utik, Kalimantan Barat.

Luas wilayah mereka sekitar 9.000 hektar terbagi dalam beberapa bagian. Ada hutan lindung, hutan cadangan air, dan hutan produksi atau biasa untuk berladang.

”Tanah to indae kitae,” kata Florentius Rengga,  masyarakat adat Sei Utik, di Jakarta (27/6/16).

Kata-kata itu bermakna, tanah adalah ibu kita. Ia memberikan makan sehari-hari.  “Tanpa tanah, tak ada hidup bagi masyarakat adat Sei Utik.”

Pemanfaatan lahan, katanya, tak boleh dengan serakah. Bumi bisa marah. “Harus disesuaikan dengan kebutuhan kita,” katanya.

Dengan ada larangan membakar lahan—padahal tradisi ini sudah berlangsung turun menurun, ratusan tahun—menjadi kerisauan masyarakat adat.

Bakar bukan sembarang bakar. Masyarakat adat punya aturan dari tradisi ini. Ada ngesunsur aie, merupakan aktivitas membersihkan segala hama penyakit yang akan merugikan ladang.

”Awalnya kami pergi ke hulu ladang ini,” kata Florensius.

Penyembuhan tanah ini sebelum nyintu tanah. Sekitar 5-10 orang berkumpul upacara acara adat dengan sesajian makanan. ”Juga membuat kayu burung nendak atau kurai.”

Aktivitas ini bagian memohon restu petara tanah atau leluhur, agar panen lebih berhasil dari tahun sebelumnya. Biasa luasan kurang dua hektar.

Salah satu sajian mengunakan hati babi. Jika empedu membesar, artinya tahun ini hasil ladang akan lebih banyak, begitu sebaliknya.

Selanjutnya, manggul jalai. Ia memberikan tanda kepada leluhur soal tempat berladang. ”Hari pertama jalan di hulu, hari kedua baru ke hilir,” katanya.

Lalu, mereka akan melihat tempat yang akan jadi ladang, dinamakan neggah ambo. Kepastian tempat itu secara adat melalui nganjung batu panggul. Nantinya,  ada batu untuk memasak dan parang, buat tebasan pertama.

”Itu selama tiga hari, penebasan hari pertama, kedua, ketiga.”

Hendrikus Adam, aktivis Walhi Kalbar, bersama warga yang ingin bercocok tanam. Foto: dari Facebbok Hendrikus Adam
Hendrikus Adam, aktivis Walhi Kalbar, bersama warga yang ingin bercocok tanam. Foto: dari Facebbok Hendrikus Adam

Hari berikutnya, penebasan setengah hari dengan luasan sesuai keperluan. Biasa, hanya puluhan meter persegi. Lahan didiamkan selama seminggu hingga dua minggu sampai rumput tumbuh kembali. Sampai penebangan kayu di wilayah itu, katanya, saat memasuki masa menebas.

Kemudian ngerangkae kareba, yakni, pengeringan ladang dengan menaruh ranting dan batang di atas ladang. Biasa sampai sebulan hingga warga memanfaatkan waktu itu dengan mencari pencarian lain dulu.

Sebelum pembakaran, masyarakan akan membatasi ladang dengan membuat sekat. Tujuannya, agar api tak merembet ke tempat lain. Nunu atau membakar setelah pohon dan rantai kering.

”Itu dijagain, kita pun menentukan arah angin dan meminta restu terlebih dahulu dengan leluhur,” katanya.

Penentuan arah angin ini, katanya, agar api tak membakar lahan lain. Setelah membakar, pemilik tak boleh pergi ke ladang selama satu hari kecuali keadaan mendesak.

”Misal api ternyata merembet, kami juga harus turut bertanggung jawab dan menjaga.”

Selesai proses itu, acara adat dilanjutkan dengan pemberian sesajian, terakhir menanam dengan komoditas padi dan ketela sebagai unggulan. Juga jagung, mentimun, peringgi, labo, kacang panjang, sayuran dan terung.

Berdasarkan kepercayaan, ada tiga padi di Sungai Utik,  yakni padi pon, pulut dan padi mudah. Pulut (ketan) atau padi tertua kepercayaan nenek moyang.

Dalam kepercayaan masyarakat, padi pon, katanya, dalam ritual jampi-jampi, bisa menjadi binatang berbisa. Padi ini,  harus ditanam bersamaan tanaman lain, seperti menyuburkan tanah, mengusir hama, dan lain-lain.

Setelah menanam, ada beberapa kegiatan terlarang dilakukan, seperti, menenun, dan menganyam gelang. Saat inilah, berdoa kepada leluhur meminta padi agar tumbuh subur.

Masyarakat terus penjagaan dan mengusir hama dan kegiatan lain. Aktivitas-aktivitas itu, seperti mantun (membersihkan rumput), dan nyumba’ (mengambil padi baru akhir tahun). Lalu, nganjung tikai (mengambil tangkai pertama dari padi pon), ngetau (memilih benih padi), berangkut (membawa padi ke rumah), nungkuk (membersihkan butir padi dari tangkai dengan diinjak).

Ada ngerekai (menjemur padi), besimpan (menyimpan dalam lumbung padi), gawai nganek batu (membersihkan atau memberi makan batu, parang panggul, kapak, dengan cara adat) dan gawai taun atau pesta panen.

Modernisasi sempat memasuki wilayah ini, mengganti tradisi nungkuk pakai alat pertanian tetapi tak sukses. ”Sempat saat nungkuk menggunakan mesin. Lalu bermimpi anak padi menangis tangan patah, jadi tak dilanjutkan,” katanya.

Warga di Sei Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, tengan mamsukkan bibit-bibit tanaman. Larangan warga bahan lahan dengan pengawas tentara bikin warga khawatir. Foto: Henrikus Adam/
Warga di Sei Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, tengah mamasukkan bibit-bibit tanaman. Dengan ada larangan warga buka lahan dengan membakar dan pengawas tentara,  bikin warga khawatir. Foto: Hendrikus Adam

Kebakaran hutan dan lahan melanda Indonesia, pada 2015. Selain kebakaran luas di konsesi perusahaan, lahan-lahan wargapun terbakar.

Suara-suara desakan menghapus aturan yang membolehkan warga buka lahan sampai dua hektar, muncul.

Awal 2016, Presiden Joko Widodo memerintahkan larangan masyarakat membakar lahan. Jika pejabat daerah tak tegas, akan dipecat. Pesan ini membuat geger masyarakat adat yang sudah turun menurun menjalankan tradisi. Mereka terintimidasi aparat keamanan yang berjaga-jaga.

”Jika kami tak boleh berladang dengan membakar, orang kota tak bolehlah naik mobil, pakai barang-barang yang menimbulkan emisi,” kata Vernadius Muling, masyarakat adat Sei Utik, Kalbar,  kala bertemu di Jakarta.

Pemerintah, katanya,  tak memberikan solusi malahan mengirimkan tentara ke desa-desa. Masyarakat yang hendak berladang ketakutan. Padahal, berladang salah satu siklus kehidupan masyarakat adat.

Padahal, katanya, berladang masyarakat adat tak membahayakan lingkungan jika dibandingkan korporasi yang membakar lahan.

Berladang masyarakat adatpun,  memiliki aturan dan tradisi turun-temurun. Jika melanggar, akan ada sanksi adat.

”Berladang benteng terakhir pertahanan budaya, pemerintah memiliki kewajiban melindungi mereka dan melindungi segala tradisi,” kata Mina Susanta Setra, Deputi Satu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Sejak awal 2016, banyak ancaman kriminalisasi mayarakat adat. Kondisi ini, berdampak ke berbagai aspek kehidupan, dari sosial, ekonomi dan budaya. ”Potensi ancaman kelaparan sangat besar, apalagi masyarakat tak berladang karena takut ditangkap aparat,” katanya.

Perlakuan ini, kata Mina, bisa menimbulkan konflik, tradisi dan banyak tanaman bibit lokal hilang.  ”Seharusnya pemerintah mampu merespon dan duduk bersama. Bukan malah mengirim TNI.”

Masyarakat adat, katanya,  membuka ladang tak sembarangan, ada dasar musyawarah adatnya.

Membuka ladang dua hektar ini, katanya, ada dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 69 ayat 2 menjelaskan soal pembukaan lahan dengan membakar boleh memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing.

”Pemahaman aparat perlu ditingkatkan mengenai ini. Mengapa masyarakat ditangkap, korporasi dibiarkan? Jika kriminalisasi terus dilakukan, aparat jelas melanggar hukum,” kata Tommy Indriati, Perhimpunan Pembela MA Nasional (PPMAN).

Kearifan lokal, katanya, bukanlah tata cara hanya juga spiritualitas hubungan masyarakat adat dengan leluhur, alam dan sekitar.

AMAN dan PPMAN mendesak, ada legal standing terkait keberadaan masyarakat adat.

”Sejauh ini, tak ada yang sampai ditangkap, namun masyarakat ketakutan. Kalau tak ada yang berladang, bagaimana kehidupan sehari-harinya?” ucap Maling.

Seorang anak melintas di kebun warga yang baru dibuka, akan ditanami. Foto: Hendrikus Adam
Seorang anak melintas di kebun warga yang baru dibuka, akan ditanami. Foto: Hendrikus Adam
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,