Kala Mahkamah Agung Patahkan Gugatan Rp439 Miliar KLHK ke Perusahaan Sawit Bakar Lahan

KLHK harus menelan pil pahit kala putusan gugatan kepada PT Surya Panen Subur,  dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung, tak berubah. Pengadilan memutuskan perusahaan pembakar lahan ini tak terbukti merusak lingkungan. Kekecewaan muncul kala kasus gugatan kasasi KLHK di MA ini, diketuai hakim agung yang membidangi perkara agama.

Baru lebih sepekan kabar bahagia atas kemenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belasan triliun melawan perusahaan HTI, PT Merbau Palalawan Lestari, kabar duka datang. Gugatan Rp439,018 miliar atas kasus kebakaran hutan dan lahan 2012 pada lahan PT Surya Panen Subur (SPS) ditolak Mahkamah Agung (MA).

Suhadi, Juru Bicara MA mengatakan, putusan MA menolak permohonan kasasi Menteri Lingkungan Hidup—kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Putusan MA Nomor 2905 K/Pdt/2015 menyebutkan, penggugat perlu membayar biaya perkara Rp516.000. Dalam surat putusan disebutkan permohonan kasasi tak dibenarkan, karena keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Majelis Hakim MA menilai, putusan dan pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) sudah tepat dan benar. KLHK, katanya, tak dapat membuktikan dalil-dalil gugatan terkait kerusakan gambut.

Baca juga: Lawan Perusahaan Kayu, KLHK Menang Gugatan Rp16 Triliun

Dalam surat putusan disebutkan karena pemeriksaan kasasi hanya berkenaan dengan kesalahan penerapan hukum, ada pelanggaran hukum berlaku, ada kelalaian penerapan hukum, pelanggaran hukum berlaku, dan kelalaian memenuhi syarat-syarat wajib peraturan perundang-undangan. Majelis Hakim Agung memutuskan MA menguatkan putusan PT Jakarta.

Berdasarkan pendapat ahli dan hasil penelitian, Muhammad Noor dari Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa menyatakan, organisme tanah dianggap masih kisaran normal, hingga lokasi kebakaran tak mengalami kerusakan.

KLHK menyesalkan putusan MA. Jasmin Ragil Utomo, Direktur Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Ditjen Penegakan Hukum KLHK menyatakan, putusan ini kembali lagi pada keyakinan hakim.

Putusan kasus ini, katanya, belum menerapkan kehati-hatian (pecautionary principle) dan prinsip in dubio pro natura.

KLHK, katanya, akan menentukan kemungkinan upaya hukum peninjauan kembali atau tidak setelah mendapatkan surat putusan MA.

Kekecewaan pun dilontarkan Bambang Hero Saharjo, Guru Besar IPB.  Dia heran kalau dibilang wilayah kebakaran tak alami kerusakan. Padahal, katanya, kerusakan lahan dan emisi gas rumah kaca terbukti berdasarkan analisa laboratorium.

”Putusan ini jelas melukai perasaan korban asap dan penolakan gugatan banyak mengartikan pembakaran yang berdampak negatif itu sudah dilegalkan,” katanya.

Gugatan KLHK bermula dari termuan ada kebakaran lahan gambut berulang pada lahan perusahaan di Gampong Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.  Ini hasil pengawasan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Pola titik panas terlihat dari satelit Nasa Februari 2009-Juni 2012.

Kebakaran lahan gambut dengan kedalaman tiga meter itu dibenarkan saksi ahli IPB, Bambang Hero Saharjo. Pembakaran membuat pencemaran udara dan merusak lahan dengan luasan mencapai 1.200 hektar.

Bambang mendapati fakta, ada tanda fisik yang memperlihatkan pembakaran sengaja untuk lahan sawit. KLH menggugat SPS ke PN Jaksel berdasarkan fakta kebakaran lahan 11 April 2012 dan 26 Juli 2012. Nilai gugatan ganti rugi materil Rp136.864.142.800 dan biaya pemulihan Rp302.154.300.000.

Sebelumnya, PN Jaksel menolak gugatan KLH pada 25 September 2014, banding ke PT Jakarta. Juga ditolak, tak lantas putus asa KLH kasasi. Putusan sama.

Baca Juga: PT SPS II, Perusahaan Sawit Ketiga yang Divonis Bersalah Bakar Rawa Tripa

Berbeda dengan kasus pidana terhadap perusahaan ini yang memutus bersalah perusahaan. Dalam berita Mongabay, sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh memvonis bersalah SPS II yang terbukti membuka lahan dengan cara membakar kawasan Rawa Gambut Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh pada Maret dan Juni 2012.

Dalam persidangan Kamis (28/1/16) di Meulaboh, Hakim Rahma Novatiana, menjatuhkan denda kepada perusahaan ini Rp3 miliar dan hukuman penjara tiga tahun, subsider satu bulan,  kepada Anas Muda Siregar (kepala kebun) dan Marjan Nasution (kepala proyek).  Sayangnya, Presiden Direktur SPS II Edi Sutjahyo Busiri dinyatakan bebas.

Sumber: Walhi
Sumber: Walhi

Hakim MA bidang agama pegang kasus lingkungan?

Putusan MA diketuai oleh Majelis Hakim Agung Prof Abdul Manan, dan Zahrul Rabain dan Soltoni Mohdally sebagai anggota. Adapun, Abdul Manan adalah Ketua Muda MA bidang Agama.

”Kebijakan ini memang sudah dianut sejak lama. Agama bisa diperbantukan dalam perdata. Itu sudah sejak sistem kamar,” kata Suhadi.

Perdata dan agama dianggap memiliki kesamaan hukum juga karena proses perdata. Hal ini juga pernah diberlakukan tahun sebelumnya, dimana hakim agama bisa menjadi ketua majelis pidana. Meski, tak berlaku saat surat edaran tentang sistem kamar keluar.

Suhadi menyatakan, dalam penanganan gugatan tak semua hakim agung hanya satu bidang. ”Ini bisa campur, misal, ketua dari Agama, anggota merupakan perdata. Anggota keduanya perdata, Pak Soltoni saat ini ketua kamar perdata,” katanya.

Saat ini, sistem kamar telah terbagi menjadi lima bidang yakni Perdata, Pidana, Agama, TUN dan Militer. Meski demikian, pelaksanaan dalam perkara yang memiliki kesamaan hukum acara dapat saling melengkapi.

Penanganan lintas kamar ini menjadi keprihatinan Bambang Hero. ”Seharusnya jadi bagian tak terpisahkan dari kepedulian MA karena dalam persidangan saksi ahli harus sesuai dengan kompetensi. Apa tak ada hakim lain yang punya kepedulian lingkungan dan hajat hidup orang banyak hingga harus dipimpin hakim agama?”

Perbedaan jalur logika hukum di Indonesia ini, katanya, tak lagi berpihak pada keadilan dan kepentingan orang banyak.

Fajri Fadillah, asisten Peneliti Divisi Pencemaran dan Kesehatan Publik ICEL menyatakan, aturan terkait hakim agung dari salah satu kamar membantu mengadili perkara kamar lain tercantum dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 213 tahun 2014 lampiran II huruf c.

”Itu memang tak dilarang, tetapi aturan terkait bisa menjadi ketua majelis hakim ataupun sebatas anggota tak diatur. Setau kami dapat diperbantukan sebatas hakim anggota,” katanya.

Dia menilai, menajemen perkara di pengadilan cukup rumit. Beban perkara masuk di MA sangat banyak.

Fajri menyayangkan jika pemantauan putusan dari kamar lain tidak dilakukan. ”Hingga arus perkara masuk MA banyak, tapi hakim perkara yang mengerti tentang lingkungan mungkin banyak menangani perkara lain, hingga SK-KMA jadi solusi.”

Pada tingkatan MA, katanya, tak ada sertifikasi hakim lingkungan, hanya tim pokja lingkungan hidup.

Salinan Putusan MA atas kasasi KLHK

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,