Legalitas Pulau-pulau Kecil dan Kawasan Terdepan Jadi Fokus Pemerintah di 2017. Ada Apa?

Pemerintah Indonesia kini sedang fokus untuk memperbaiki aspek legal dari pulau-pulau kecil dan terdepan yang ada di kawasan perairan di Indonesia. Selain itu, sisi ekonomi dari kawasan tersebut tak luput menjadi perhatian untuk bisa dikembangkan menjadi lebih bagus lagi.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Kamis (1/12/2016). Menurut dia, keberadaan pulau-pulau kecil dan terdepan yang ada di seluruh Indonesia, seharusnya bisa memberikan peran penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

“Bangsa kita seharusnya bisa sejahtera dari sumber daya alam yang ada di perairan seluruh Indonesia,” ungkap dia.

Karena potensi yang besar tersebut, Susi mengatakan, mulai 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan pulau-pulau kecil dan terdepan sebagai salah satu prioritas yang akan digarap dan dikembangkan.

“Tak hanya sumber dayanya yang akan kita kembangkan, legalitas dari pulau-pulau kecil dan kawasan terdepan juga akan kita selesaikan,” ucap dia.

Masuknya aspek legalitas sebagai salah satu prioritas untuk pengembangan pulau kecil dan kawasan terdepan, kata Susi, karena saat ini ada kesimpasiuran dan sekaligus aturan yang tumpang tindih berkaitan dengan pengelolaan kawasan tersebut. Kesemrawutan itu, terjadi karena ada tumpang tindih antara Pemerintah Pusat dan daerah.

Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja mengungkapkan, dorongan untuk mengembangkan pulau-pulau kecil dan kawasan terdepan memang datang dari berbagai pihak. Namun, dorongan itu seharusnya diikuti dengan kelengkapan administrasi yang bisa mendukung percepatan pembangunan di kawasan terdepan dan pulau-pulau kecil.

Sjarief mencontohkan, saat ini KKP sedang melaksanakan pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang tersebar di berbagai pulau-pulau kecil dan kawasan terdepan dari Sabang di Aceh sampai ke Merauke di Papua.

“Salah satu dilakukan pembangunan SKPT, tidak lain untuk membuka isolasi yang membungkus pulau-pulau kecil dan kawasan terdepan. Jika sudah ada jaringan konektivitas, kawasan tersebut pasti bisa memasarkan hasil perikanannya,” tutur dia.

Pulau Tinabo adalah pulau kecil posko TN Takabonerate, Sulawesi Selatan dengan keindahan alam dan pantai pasir putihnya. Di pulau ini terdapat sejumlah resort yang disewakan dengan harga murah, meskipun dengan fasilitas terbatas. Air bersih sulit diperoleh dan hanya mengandalkan dari air hujan serta air yang dibawa sendiri dai Pulau Selayar. Foto : Syamsu Rizal
Pulau Tinabo adalah pulau kecil posko TN Takabonerate, Sulawesi Selatan dengan keindahan alam dan pantai pasir putihnya. Di pulau ini terdapat sejumlah resort yang disewakan dengan harga murah, meskipun dengan fasilitas terbatas. Air bersih sulit diperoleh dan hanya mengandalkan dari air hujan serta air yang dibawa sendiri dai Pulau Selayar. Foto : Syamsu Rizal

Menurut Sjarief, pentingnya membangun konektivitas, karena semua kawasan terdepan dan pulau-pulau kecil di Indonesia, secara tradisional memliki potensi besar dalam sektor perikanan dan kelautan. Dengan kata lain, potensinya bagus namun terkendala oleh isolasi dari konektivitas jaringan transportasi perdagangan.

Salah satu solusi untuk membuka isolasi tersebut, kata Sjarief, adalah dibukanya jalur transportasi udara langsung ke negara lain. Karena, dengan ada jalur langsung, maka produksi perikanan di kawasan terdepan dan pulaul-pulau kecil bisa diekspor langsung atau dikirim ke kota besar lain di Indonesia.

“Saat ini kita sudah berbicara dengan Kementerian Perhubungan untuk membuka jalur udara langsung dari Saumlaki (Maluku) ke Timor Leste dan ke Darwin (Australia). Sementara, kawasan-kawasan di Utara (Indonesia), akan diarahkan langsung ke Palau dan Guam,” jelas dia.

Mengingat membangun kawasan terdepan dan pulau-pulau kecil bukanlah perkara yang gampang, Sjarief mendorong lembaga Pemerintah lain untuk ikut terlibat di dalamnya. Dia yakin, dengan bergandeng bersama, pembangunan pulau-pulau kecil dan kawasan terdepan bisa dilakukan dengan baik dan tak ada lagi legalitas yang tumpang tindih.

Aktivitas di Pelabuhan Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. KKP sedang membangun sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) di Selat Lampa ini. Foto : M Ambari
Aktivitas di Pelabuhan Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. KKP sedang membangun sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) di Selat Lampa ini. Foto : M Ambari

Percepatan Swasembada Garam Nasional

Bersamaan dengan fokus Pemerintah untuk membangun kawasan terdepan dan pulau-pulau kecil, fokus lain yang tak kalah pentingnya, adalah program swasembada garam secara nasional yang ditargetkan bisa dilaksanakan pada 2017 mendatang. Program tersebut dilakukan dengan menggandeng petani garam dan perusahaan garam.

Untuk bisa mewujudkan rencana tersebut, Pemerintah Indonesia akan menggenjot produksi garam di setiap sentra produksi garam yang ada di Indonesia. Di antara wilayah penghasil garam nasional tersebut, adalah Nusa Tenggara Timur.

Deputi II Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan, di NTT saat ini diterapkan teknologi ulir dan geo membran yang diharapkan bisa meningkatkan produksi dan kualitas garam rakyat yang diproduksi para petani garam.

“Setelah menggunakan teknologi tersebut, hasilnya sudah terlihat dan memuaskan. Kualitas garam yang dihasilkan tak kalah saing dengan garam impor,” ungkap dia.

Di NTT sendiri, menurut Agung, terdapat sentra produksi garam di Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang yang hasilnya sudah bagus. Di atas lahan yang baru diolah menjadi tambak garam tersebut, berhasil dipanen garam dengan kualitas bagus sebanyak 300 ton.

Kondisi tersebut, menurut Direktur Utama PT Garam Achmad Budiono, sebagai gambaran positif dari produksi garam secara nasional. Pasalnya, pada saat bersamaan, produksi garam di sentra Madura justru mengalami stagnasi dan bahkan tidak menghasilkan sama sekali.

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani
Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

Di Kupang sendiri, kata Achmad, sedikitnya terdapat 22 kelompok petani garam yang sudah menggunakan teknologi geo membran dan garam ulir. Teknologi tersebut, diakuinya ampuh untuk menggenjot jumlah produksi tanpa meninggalkan kualitas.

Achmad menjelaskan, dengan teknologi tersebut, produktivitas lahan garam bisa meningkat hampir dua kali lipat dari produksi biasa. Dia mencontohkan, jika lahan yang digunakan luasnya mencapai 1 hektare, maka produksinya dari rerata 74 ton akan naik menjadi 150 dan  bahkan 170 ton.

“Peningkatan produksi terjadi, karena ada percepatan pengubahan air laut menjadi air tua dari 28 hari menjadi sekitar 14 hari,” jelas dia.

Menurut Achmad, penggunaan membran pada proses produksi garam adalah untuk mempercepat proses kristalisasi, karena dengan penggunaan membran warna hitam lebih banyak menyerap energi matahari sehingga mempercepat penguapan air laut. Perbandingan produktivitas dibandingkan dengan tanpa membran lebih besar sampai diatas 50 persen.

Achmad percaya, percepatan swasembada garam khususnya di Bipolo ini akan lebih mudah apabila didukung dengan pembebasan lahan seluas 8000 ha dan dibantu oleh pemerintah. Dia optimis, pada 2019 nanti proses pembebasan bisa selesai dilakukan dan nantinya tambak garam akan segera berdiri.

Hasil panen dari lahan petambak di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando
Hasil panen dari lahan petambak di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando

Produksi Garam Nasional Merosot

Di sisi lain, meski 2017 dicanangkan sebagai tahun swasembada garam nasional, produksi garam secara nasional pada 2016 justru mengalami keterpurukan. Dari target yang ditetapkan sebanyak tiga juta ton, hingga saat ini yang tercapai baru 115 ribu ton saja. Jumlah tersebut, menurut Direktur Pemasaran PT Garam Ali Mahdi sangatlah jauh dari harapan.

Salah satu faktor belum tercapainya target produksi garam nasional, kata Ali Mahdi, tidak lain karena produksi garam berkaitan erat dengan cuaca di lapangan. Dan kebetulan, pada 2016, cuaca di Indonesia sedang didatangi La Nina yang mengakibatkan produksi garam menjadi turun.

“Imbasnya, produksi garam di Madura ikutan anjlok. Biasanya, Madura selalu menyumbang jumlah yang banyak dengan kualitas yang bagus. Tapi, tahun ini tidak,” ucap dia.

Karena produksi yang terus menurun, Ali mengakui kalau pihaknya terpaksa mengambil keputusan untuk mengimpor garam. Keputusan tersebut diambil, karena stok garam yang ada di PT Garam sudah habis untuk dijual kepada masyarakat.

Sementara bagi Achmad Budiono, keputusan PT Garam untuk mengimpor garam memang sudah melalui pertimbangan. Hal itu, karena stok garam sudah tidak ada, sementara permintaan garam di pasaran masih ada dan terus meningkat.

“Untuk mengimpor (garam) itu harus jelas dasarnya. Untuk mengimpor berapa jumlahnya, itu artinya karena kita sedang kekurangan. Tapi, jangan sampai impor juga melebihi kebutuhan dan akan menjadi sia-sia akhirnya,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,