Cara Ini Terbilang Efektif Ajak Warga Lindungi Satwa, Seperti Apa?

Salah satu modus jaringan perdagangan satwa dengan memanfaatkan warga sekitar hutan  untuk berburu.  Beragam cara penyadartahuan dilakukan, dari sosialisasi hingga mengajak mereka bersama menjaga hutan.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut)  bersama organisasi lingkungan, Indonesian Species Conservation Program (ISCP), melakukan strategi unik dalam kampanye penyadartahuan larangan memperdagangkan dan memburu satwa di Sibolangit, Sumut. Mereka menggunakan pendekatan tradisi  dan kebudayaan lokal. Seperti apa?

Membawa daun sirih, kunyit, dan sekantung beras, di sela sela kampanye perlindungan satwa pada masyarakat sekitar kawasan hutan. Cara inipun berhasil, terbukti, setiap kali mereka menemukan trenggiling di kebun, langsung menghubungi tim ISCP untuk menjemput dan melepasliarkan ke alam.

Satwa-satwa hasil penyerahan warga desa ini, kata Rudianto Sembiring, Direktur ISCP, lalu pelepasliarkan bersama BBKSDA Sumut, di hutan Sibolangit, setelah pemeriksaan kesehatan dan naluri liar mereka.

Menurut dia, jika masuk ke kampung dan bertemu masyarakat bicara perlindungan satwa melalui teori-teori ilmiah, ditambah gaya angkuh, pasti takkan berhasil. Yang ada, pengusiran dari kampung. Masuk ke satu wilayah, katanya, harus mempelajari terlebih dahulu sifat dan kearifan serta budaya masyarakat lokal.

“Habis itu pelan-pelan sampaikan konsep perlindungan satwa. Mereka pasti menerima bahkan mau membantu tak memburu apalagi sampai memperdagangkan,” katanya.

Dia bilang, alasan umum warga berburu karena faktor ekonomi. Uang hasil buruan buat beli beras dan lauk pauk. Kala alasan itu muncul, katanya, mereka akan meneliti benar atau tidak. Jika benar, pendekatan melalui marga atau para ketua adat.

Tim ISCP pendekatan dari hati ke hati. “Kita datang ke rumah bawa beras sama sirih. Ajak bicara dari hati ke hati. Dalam komunikasi itu bahkan bisa mendapatkan informasi lebih banyak soal perburuan.”

Pandangan lain dari Antropolog Universitas Sumatera Utara (USU), Fikarwin Zuska. Dia mengatakan, pendekatan kepada masyarakat lokal agar tak berburu satwa maupun melakukan kejahatan kehutanan, perlu metode etnografi.

Pada 1999-2000, bersama Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dia bekerjasama dengan Pusat Penelitian Pengembangan Antropologi Ekologi (P3AE) Universitas Indonesia, memberdayakan para jagawana dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan etnografi. Metode ini, katanya,  dalu dipakai Belanda masuk ke wilayah asing yang tak mereka kenal. Metode ini dinilai berhasil.

Cara ini, katanya, bagaimana mereka menangkap sudut pandang masyarakat mengenai segala hal, termasuk unsur alam, sungai, pohon, hewan-hewan, hutan dan lain-lain.

“Melalu Jagawana, metode etnografi berhasil. Awalnya mereka dibenci dan dikejar-kejar warga yang tak terima kehadiran mereka, setelah metode itu, program berjalan, walau akhirnya struktur pejabat dan lembaga kehutanan berubah, berakhirlah program ini, “ katanya.

Menurut dia, harus ada pengukuhan kearifan masyarakat adat sekitar hutan. Kuatkan basis rasional, katanya, hingga mereka kuat berargumen dan menyatakan apa yang mereka lakukan benar.

“Pendekatan terhadap tokoh adat dan tokoh masyarakat harus dilakukan dan diperkuat, konsep dan kampanye konservasi bisa melibatkan masyarakat hingga membantu pengawasan di tengah petugas minim.”

Trenggiling, salah satu satwa favorit buruan karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Foto: Ayat S Karokaro
Trenggiling, salah satu satwa favorit buruan karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,