Standar Sawit Hijau Indonesia akan Ikuti Aturan Gambut

Pemerintah sedang menggodok perbaikan standar sawit hijau Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Salah satu acuan ISPO selama ini soal tinggi muka air 0,6-0,8 meter sesuai aturan menteri pertanian. Pemerintah menegaskan, standar sawit akan mengikuti aturan gambut yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo, 2 Desember 2016. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, itu menyebutkan, tinggi muka air gambut 0,4 meter.

Musdalifah Mahmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan, aturan tinggi muka air dalam ISPO akan mengikuti aturan lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah.

”Sebenarnya kan di ISPO (terkait tinggi muka air) sudah ada, tapi nanti pasti akan mengikuti PP (Gambut). Kita harus konsisten, kalau ada kendala nanti dievaluasi,” katanya di Jakarta, Senin (6/12/16).

Baca juga: Aturan ISPO Bakal jadi Perpres, Bagaimana soal Penguatan Standar?

PP ini, katanya,  memang membatasi pemanfaatan lahan di wilayah gambut guna memperbaiki tata kelola lahan dan lingkungan. Dia tak mau berkomentar banyak saat ditanya dampak kepada industri.

Mengenai penguatan ISPO,  katanya, kemungkinan  selesai akhir Desember ini. Adapun yang sedang disiapkan, kata Musdalifah, kelembagaan, transparansi dan substansi.

“Harapannya, penyempurnaan ini menjadi langkah mempercepat pelaksanaan dan keterimaan oleh pasar dunia,” katanya.

Dia menyayangkan, hingga kini tanggapan dari negara pengimpor sawit masih memandang negatif terhadap ISPO. Padahal, pemerintah sudah berusaha keras memberikan standar sawit berkelanjutan melalui ISPO itu.

Musdalifah berharap, aturan ini lebih kuat, tak sebatas Peraturan Menteri Pertanian. ”Kita coba Perpres agar kepemilikan juga nasional, ini komoditas strategis nasional, menjadi tanggung jawab nasional.”

Pemerintah, katanya, harus optimis dan percaya diri terhadap indikator ISPO yang akan keluar. Konten ISPO, sudah mengadopsi 370 regulasi dan bercermin pada standar sukarela bentukan pelaku sawit,  Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

”Kita tantang negara konsumen,  apa kurang di kita? Kriteria indikator apa yang terkendala yang menurut mereka tidak sustain itu apa lagi,” katanya.

 

Masih keberatan

Sedangkan dari kalangan pebisnis sawit, terutama Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki)—sejak awal PP Gambut terbit 2014 sudah menyuarakan keberatan—tetap merasa aturan ini beratkan pelaku usaha. Gapki sejak awal kukuh minta soal ketinggian air ikuti Permentan No.14/2009.

”Seharusnya permintaan 0,4 itu direvisi karena pelaku sudah mempraktikkan itu bertahun-tahun. Itu sudah sustain dan bagus. Harusnya 0,6-0,8.  Itu sudah terbukti,” kata Joko Supriyono, Ketua Gapki.

Dia merasa aspirasi Gapki dan beberapa pakar gambut tak didengarkan pemerintah.”Pakar ngusulin tak didengarkan, pengusaha tidak didengarkan, kemudian dengerin siapa?” katanya, tanpa menyebutkan, kalau banyak pakar menyuarakan, pengetatan tata kelola gambut guna meminimalisir bencana parah, dampak gambut kering dan rusak.

Gapki tetap berharap, angka bisa berubah menjadi range angka tertentu. Dia bilang, secara agronomis tanaman terendam jangka lama akan mati hingga menimbulkan kerugian ekonomi signifikan.

Lagi-lagi seakan mengabaikan bejibun masalah ‘berkat’ sawit, Gapki selalu mengandalkan angka ekspor buat menekankan komoditas ini “layak mendapatkan pemakluman.”

Berdasarkan Badan Pusat Statistik 2015, katanya, ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil.CPO) dan produk turunan mencapai US$18,65 miliar hingga jadi penghasil devisa negara terbesar Indonesia melampaui minyak dan gas.

Industri sawitpun, dia bilang, berperan dalam pembukaan lapangan kerja. Ada 7,9 juta jiwa bekerja di perkebunan sawit pada 2015.

 

Ini kanal-kanal yang membelah gambut dalam di konsesi PT BMH, di Sumsel. Akankah PP Gambut bisa berjalan ekfekif hingga mencegah praktik-praktik perusahaan gambut seperti ini? Foto: Lovina S
Ini kanal-kanal yang membelah gambut dalam di konsesi PT BMH, di Sumsel. Akankah PP Gambut bisa berjalan ekfekif hingga mencegah praktik-praktik perusahaan gambut seperti ini? Foto: Lovina S

 

 

Sinyal baik

Terkait revisi PP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut), mendapat respon positif dari pegiat lingkungan dan pakar.

”Secara garis besar, PP baru ini bagus melindungi gambut dari pembakaran,” kata Herry Purnomo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor kepada Mongabay melalui pesan elektronik.

Namun, kata peneliti Center for International Forestry Research (Cifor) ini, aturan itu perlu membangun kapasitas buat petani atau pekebun, terutama dalam penyiapan lahan tanpa bakar. Menurut dia, hal itu belum terpetakan pemerintah.

Penyiapan lahan tanpa bakar, katanya, memerlukan dana berlipat-lipat dari biasa. Dia belum bisa memperkirakan, darimana dana untuk PLTB ini. “Dana untuk pembiayaan pupuk, traktor, dan water management,” katanya. Kondisi lebih rumit, katanya, jika lahan bukan legal.

Guna menekan biaya, dia mendorong pemerintah, terutama BPPT untuk menemukan teknologi murah, terjangkau bagi masyarakat kecil dan menengah. ”Perlu dukungan pemerintah daerah.”

Aturan ada, katanya, harus diikuti penegakan hukum yang kuat untuk para cukong dan korporasi.

Dia menyadari, implementasi PP ini tidaklah mudah. Herry mencontohkan, soal kedalaman air antara hulu dan hilir berbeda. “Bisa terjadi di hulu milik perusahaan, hilir milik masyarakat.”

Untuk itu, katanya, selayaknya, implementasi aturan ini berbasis pendekatan lansekap (landscape approach) hingga konservasi hutan atau gambut dan pengembangan pertanian ataupun perkebunan sawit bisa saling mendukung.

Tak terbuka

Pegiat lingkungan, Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani menilai, proses revisi tak ada keterbukaan dan aturan belum diumumkan. ”Seharusnya ketika semua proses sudah dilalui, peraturan perundang-undangan sudah beralih menjadi milik masyarakat,” katanya.

Hingga kini, dokumen terkait pasal apa saja yang diubah dan pemanfataan bagi lingkungan dan masyarakat belum terlihat.

Berdasarkan informasi berkembang, kata Teguh, perlindungan gambut masih lemah dan kental mengakomodir kepentingan pengusaha.

Dia melihat, masih ada inkonsistensi dan tumpang tindih kebijakan, seperti Surat Edaran Kementerian Agraria dan Tata Ruang Nomor 4252/14.3/IX/2016 tertanggal 28 September 2016 melarang pembukaan lahan baru atau eksploitasi lahan gambut untuk usaha perhutanan atau perkebunan.

Dalam PP ini memoratorium pembukaan lahan baru sepanjang tak digunakan pada zonasi lindung dan budidaya.

”Ini memungkinkan eksploitasi gambut pada zona budidaya, dapat dilakukan penanaman sawit, HTI dan memungkinkan pertambangan,” katanya.

Begitu juga, larangan membakar di lahan gambut, dalam UU Perlindungan dan Pengeolaan Lingkungan Hidup boleh dengan syarat.

Dia menekankan, perlu ada transparansi dan kajian terhadap peraturan perundangan lain.

”Ekologi gambut, perusahaan dalam merestorasi, penguatan hak-hak masyarakat sekitar, kelembagaan berwenang dan peraturan perundangan dikhawatirkan tumpang tindih hingga menghampat pelaksanaan restorasi gambut.”

 

 

 

Komitmen hadapi perubahan iklim

Dari World Resourches Institute (WRI) Indonesia mengatakan, perubahan PP ini langkah melindungi dan merestorasi lahan gambut agar lebih baik.

”Peraturan ini akan berkontribusi besar terhadap Perjanjian Paris dan memberikan solusi bagi jutaan masyarakat Indonesia yang terkena dampak asap beracun dari kebakaran gambut yang seringkali terjadi,” kata Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia.

Dalam aturan ini melarang pembukaan lahan lahan baru, katanya, sebagai upaya mencegah kerusakan gambut. Gambut,  memiliki karbon besar yang bisa lepas ke atmosfer dan biasa lewat pembukaan lahan baru buat sawit dan kayu.

Analisa WRI, mengeringkan satu hektar lahan gambut di wilayah tropis sama dengan membakar lebih dari 6,000 galon bensin.

“Konservasi gambut membantu mengatasi salah satu akar permasalahan kebakaran lahan dan hutan di Indonesia.”

Prediksi WRI, dengan aturan gambut ini, pada 2030 total emisi dapat dihindarkan dari kerusakan dan pengeringan gambut sekitar 5.5–7.8 Giga ton CO2. Tentu, katanya, hal ini tergantung keberhasilan implementasi restorasi kesatuan hidrologis gambut dalam konsesi perkebunan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,