Harmonisasi Masyarakat Ladang Palembang dengan Kehidupan Harimau Sumatera (Bagian 1)

Ruang Perpustakaan Ladang Palembang di Desa Ladang Palembang, Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Minggu (18/12/16) malam itu mendadak ramai. Sekitar 25 orang perangkat pemerintahan desa, pemuka masyarakat, pemuda dan perempuan berkumpul. Duduk melingkar di atas karpet, mereka bergantian berbagi informasi mengenai kearifan menjaga harimau sumatera.

Desa yang berjarak tiga kilometer dari pusat perekonomian Ibu Kota Lebong itu, luasnya 662 hektare. Didiami oleh 128 kepala keluarga. Mayoritas penduduknya bersuku Sunda. Kedatangan orang Sunda di Lebong, wilayah asal mula suku Rejang ini, menurut Siddik (1980), pada tahun 1907, untuk bekerja di sektor pertanian.

“Semua yang hadir di sini, terlibat dalam penetapan Bukit Sarang Macan sebagai hutan lindung desa,” kata Saryono. Dia memiliki peran penting dalam pembuatan kesepakatan pada 2001 – 2002 itu, yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Desa Nomor II Tahun 2003 Tentang Hutan Lindung Desa dan Hutan Adat Desa. Semua itu, dibuat Saryono saat menjabat kepala desa, dengan dukungan KKI Warsi.

Bukit Sarang Macan dalam bahasa Rejang adalah Tebo Sa’ang Imau. Yakni, tempat harimau jelmaan atau reinkarnasi leluhur bertemu. Mereka bertemu bila situasi “panas” atau kurang baik. “Misalnya, ada warga melanggar adat atau berbuat amoral,” kata Abdul Muris, Koordinator Seksi Keamanan, Penataan dan Pemeliharaan Hutan Bukit Sarang Macan. Setelah bertemu, harimau akan menampakkan diri atau menyerang hewan peliharaan untuk memberi peringatan.

Penyelamatan harimau yang terkena jerat oleh tim Pelestari Harimau Sumatera Kerinci Seblat. Foto: Dok. Pelestari Harimau Sumatera Kerinci Seblat
Penyelamatan harimau yang terkena jerat oleh tim Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat

Tak hanya pada situasi kurang baik, harimau juga biasa menampakkan diri pada bulan Mulud atau Maulid Nabi. Oleh karena itu, cerita warga bertemu harimau adalah lumrah. Namun, tidak pernah ada cerita tentang warga yang dilukai atau dibunuh harimau. Warga tidak menilai harimau sebagai masalah atau musuh. “Bagi kami, harimau bukanlah mahluk yang merugikan atau mengancam keselamatan,” kata M. Yusuf, Ketua Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam Desa Ladang Palembang.

Selain tempat bertemu, Bukit Sarang Macan juga dipercaya sebagai tempat harimau mencari mangsa. Sehingga, merusak hutan akan mendapatkan “balasan”. Bahkan, warga yang tidak ikut merusak pun bisa terkena imbas. Sehingga, hutan ini bebas dari aktivitas pengrusakan. “Masuknya saja, banyak (warga) tidak berani, apalagi untuk merusak,” ujar Endang Yunus, Sekretaris Desa Ladang Palembang.

Kulit harimau, tulang dan organ tubuh ini ditemukan tim PHSKS sewaktu melakukan patroli. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat
Kulit harimau, tulang dan organ tubuh ini ditemukan tim PHSKS sewaktu melakukan patroli. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat

Kepercayaan Rejang tentang harimau leluhur ini diulas oleh William Marsden dalam bukunya “The History of Sumatra” yang pertama kali terbit pada 1783. “Cerita populer yang umum diantara masyarakat adalah, seperti manusia tertentu menjelma menjadi seekor harimau,” tulis Marsden (dalam Boomgard, 2010). Sekretaris Gubernur British East India Company di Bengkulu pada 1770-1779 itu menambahkan, ”Mereka mengatakan suatu tempat di negeri dimana harimau memiliki istana, dan menyelenggarakan sebuah bentuk reguler dari pemerintahan”.

Warga juga tidak berani untuk menangkap atau membunuh harimau. Melakukannya, sama  dengan membunuh leluhur. Membunuh akan dibalas dengan dibunuh. Balasannya bisa lebih berbahaya. Satu individu harimau yang dibunuh akan dibalas oleh harimau lainnya dengan membunuh manusia yang jumlahnya bisa lebih dari satu orang. “Belum pernah ada warga yang membunuh. Memasang jerat pun tidak mau,” tambah Hamdan, Anggota Seksi Keamanan, Penataan dan Pemeliharaan Hutan Bukit Sarang Macan.

Berbekal kepercayaan tentang harimau leluhur, ditambah kesadaran akan pelestarian hutan dan harimau sumatera, warga dan pemerintahan desa bersepakat menetapkan kawasan hutan Bukit Sarang Macan menjadi hutan larangan atau hutan lindung desa. Warga melakukan sejumlah pertemuan, memetakan dan memasang patok batas untuk membuat kesepakatan bertanggal 6 Juli 2001 dan 30 Agustus 2002, serta Peraturan Desa No. II Tentang Hutan Lindung Desa dan Hutan Adat Desa bertanggal 30 September 2003.

Jerat yang sengaja dipasang pemburu untuk menghabisi harimau sumatera. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat
Jerat yang sengaja dipasang pemburu untuk menghabisi harimau sumatera. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat

Disadur dari piagam kesepakatan, kondisi hutan Bukit Sarang Macan dinyatakan belum terjamah. Adapun jenis pohon yang banyak ditemui di sana antara lain meranti, semalo, gelam, ketapang, dan meranti. Selain sebagai habitat harimau, hutan ini juga difungsikan untuk menjaga sumber mata air Udik dan Tik Gelung sebagai kebutuhan keseharian masyarakat.

Untuk pemanfaatannya, warga hanya boleh mengambil buah hutan, tanaman obat dan madu dengan tidak merusak pohonnya. Bila dilanggar, pelaku dikenakan denda adat berupa serawo punjung kambing, beras dua kaleng, dan uang senilai harga kayu yang ditebang atau dirusak. Pemilik kebun yang berbatasan langsung pun dilarang melakukan pembakaran sebelum menyiapkan pembatas atau parit. Bila dilanggar, akan dikenakan denda juga.

Bekas cakaran harimau sumatera yang ditemukan tim PHSKS saat melakukan patroli. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat
Bekas cakaran harimau sumatera yang ditemukan tim PHSKS saat melakukan patroli. Foto: Dok. Pelestarian Harimau Sumatera Kerinci Seblat

Jelajah

Hutan Bukit Sarang Macan seluas 20 hektare ini di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan perkebunan masyarakat, sedangkan sebelah Barat hingga membujur ke Utara berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). “Hutan ini juga berfungsi sebagai penyangga TNKS,” kata Mardiono, Koordinator Seksi Pembibitan Desa. Menurut Jackson (dalam Tilson dan Nyhus, 2010), TNKS adalah habitat bagi banyak harimau sumatera yang tersisa yang terus mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Saya berkesempatan menjelajah hutan tersebut pada Senin (19/12/16). Saat masuk ke kawasan, seekor rangkong terlihat bertengger di pohon besar, yang selanjutnya terbang sembari mengeluarkan suara. Terlihat pula owa berlompatan dari satu pohon ke pohon lain sambil bersahutan. Tidak ada bekas perambahan. “Alhamdulillah, masih terjaga baik,” kata Kepala Desa Ladang Palembang Suhayak, yang menemani.

Perjalanan ini nyatanya cukup melelahkan. Kami harus menerobos semak belukar karena tidak ada jalur setapak. Termasuk, mengikuti aliran air sungai Air Udik dan mendaki tebing yang kemiringannya hampir 80 derajat.

Goa di bawah akar pohon di puncak Hutan Bukit Sarang Macan ini dipercaya sebagai tempat harimau beristirahat. Foto: Dedek Hendry
Goa di bawah akar pohon di puncak Hutan Bukit Sarang Macan ini dipercaya sebagai tempat harimau beristirahat. Foto: Dedek Hendry

“Sewaktu mengambil titik untuk membuat peta, sekitar 30 orang terlibat, termasuk kaum perempuan. Waktu itu, kami keliling hutan untuk mengambil titik batas,” cerita Suhayak.

Cukup banyak jejak babi, rusa dan tapir terlihat. Kami pun berupaya mencari jejak, bekas cakaran dan kotoran harimau. Namun, tidak terlihat. “Coba lihat, ini sisa tulang lembut atau lunak hewan yang dimakan, namun tidak habis terurai,” kata Suhayak. Kami juga menemukan semacam goa di bawah pohon yang dipercaya tempat harimau beristirahat.

Aliran air sungai Air Udik yang dimanfaatkan masyarakat Desa Ladang Palembang untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Foto: Dedek Hendry
Aliran air sungai Air Udik yang dimanfaatkan masyarakat Desa Ladang Palembang untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Foto: Dedek Hendry

Desa Binaan

Perwakilan Forum Harimau Kita untuk Wilayah Provinsi Bengkulu drh. Erni Suyanti Musabine mengapresiasi kearifan masyarakat Desa Ladang Palembang terkait pelestarian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). “Saya pikir, Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu – Lampung atau Pemerintah Daerah Bengkulu perlu menjadikan Desa Ladang Palembang sebagai desa binaan atau mitra,” kata Yanti, demikian biasa dipanggil.

Luas kawasan hutan Bukit Sarang Macan, sambung Yanti, memang tidak cukup untuk disebut sebagai habitat khusus pelestarian harimau sumatera. Namun, bisa dianggap sebagai bagian dari wilayah harimau. “Apalagi lokasi hutan Bukit Sarang Macan bersebelahan dengan TNKS. Jadi, sangat mungkin bila kawasan ini menjadi bagian wilayah jelajah harimau atau wilayah harimau mencari mangsa.”

Terkait kepercayaan membunuh harimau akan dibalas dengan dibunuh juga, Yanti pernah mendengar hal serupa. Yanti juga mempunyai catatan kasus manusia dibunuh harimau di wilayah Kabupaten Seluma, Kepahiang dan Bengkulu Tengah akibat manusia membunuh anak harimau. “Kepercayaan itu sepertinya mengandung kebenaran. Ada orang yang membunuh anak harimau yang dibunuh oleh harimau.”

Peta desa yang menunjukkan lokasi Hutan Bukit Sarang Macan. Foto: Dedek Hendry
Peta desa yang menunjukkan lokasi Hutan Bukit Sarang Macan. Foto: Dedek Hendry

Bahkan, Yanti pernah memperoleh cerita tentang suatu kampung yang diserang oleh sejumlah harimau karena membunuh anak harimau pada masa penjajahan Belanda. “Di Desa Karang Tinggi, Bengkulu Tengah. Ceritanya, ada anak harimau sakit masuk kampung, dan dibunuh. Kulitnya digunakan untuk membuat bedug, dan tulangnya digunakan untuk pemukul bedug dan kentongan. Tak lama kemudian, datang banyak harimau ke kampung dan menyerang warga, sehingga kampung itu terpaksa ditinggalkan.”

Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan – Bengkulu Balai Besar TNKS Ismanto tak menampik kearifan tersebut. “Sudah beberapa kali pembinaan dalam bentuk penyuluhan dilakukan di sana. Kedepan, akan kami programkan untuk menjadi desa mitra. Termasuk, bila ada desa lain yang letaknya bersebelahan dengan kawasan TNKS yang mempunyai kearifan, akan kami dorong untuk mengadopsi atau mengadaptasi upaya warga Desa Ladang Palembang itu,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,