Mengapa Satwa-satwa Liar Ini Terus jadi Incaran Pemburu?

Suara cucak ranting dan kutilang bersahutan, saling beradu merdu memecah kebisingan jalanan pasar burung oleh deru sepeda motor. Sabtu sore itu, banyak pedagang mulai beringsut pulang.

Pasar ini jadi tempat banyak tukang pikat (penangkap burung liar) menjual hasil tangkapan. Sore itu,  cucak mini, cucak ranting, jalak, ciblek, kutilang, kacer, pipit, tiung (beo), pleci, cendet, hingga perkutut dipajang. Siap jual dengan harga ratusan ribu rupiah.

“Cucak mini Rp200.000, ciblek Rp150.000, ini sudah bisa ngoceh, bisa diadu,” kata Amat,  pedagang burung di Pasar Jambi. Burung hutan juga banyak di sini.

Dulu, katanya,  banyak orang jual burung pikatan, kini jarang. “Sekarang banyak dijual entah ke mana, 60% (burung) hasil tangkaran,” katanya.

Amat membeli burung pikatan dengan harga sangat murah. Untuk ciblek liar baru ditangkap harga Rp2.000-Rp3.000. “Pakannya susah. Kroto. Kalau ada gak masalah.”

Hubungan tukang pikat mikat dengan tengkulak seperti tak berjengkal, begitu dekat dan saling membutuhkan. Ini yang membuat  pemburu Pendi,  setiap minggu pergi mikat burung ke hutan.

Makin lama makin jauh, dari belasan sampai puluhan kilometer masuk hutan. Di hutan, Pendi bisa menginap hingga dua malam.

Mikat burung umum dilakukan petani karet di Sepintun, Sarolangun untuk tambahan ekonomi. Cica hijau, murai batu dan kampas tembak, jenis burung paling diburu juru pikat di Sarolangun.

Burung-burung ini dijual ke tengkulak dan beralih ke Pasar Jawa. Burung kuau—mirip merak—juga banyak ditangka  untuk makan.

Saat musim bunga aro, ada banyak cica daun mengkerubuti kembang. “Kalau pas gitu banyak burung, sebulan bisa dapat 40an,” kata Pendi.

Di Sarolangun, banyak tengkulak mau menampung burung tangkapan. Sebelum dijual, burung pikatan dilatih makan voer (bahasa Belanda untuk pakan ternak) dan harga lebih mahal.

Satu cica daun bisa Rp450.000, kampas tembak Rp 150.000. Ciblek bisa Rp700.000. Kalau murai batu, tegkulak berani bayar Rp3 juta.

“Kalau buat tambahan ekonomi,  InsyaAllah dapat,” katanya.

Sesekali warga Sepintun juga rombongan berburu rusa. Pendi bilang, di daerahnya masih banyak rusa liar. “Kadang untuk makan sendiri, kadang dijual. Daging rusa lembut, sangat laku di pasaran.”

Letak Desa Sepintun di kelilingi konsesi perkebunan sawit dan hutan konservasi, salah satu Hutan Harapan, bersekitar 10 kilometer.

Dua kali petugas lapangan PT Restorasi Ekosistem (Reki) menangkap pemburu burung liar di Hutan Harapan. “Untuk data perburuan kami temukan dua kali untuk cica daun,” kata Yusup Cahyadin, Penasehat Teknis Reki.

Burung dagangan di pasar burung Jambi. Foto: Yitno Suprapto
Burung dagangan di pasar burung Jambi. Foto: Yitno Suprapto

Bentang Hutan Harapan di Jambi dan Sumatera Selatan, menyimpan 64 jenis mamalia, 56 reptil, 30an spesies amfibi, dan lebih 300 jenis burung—sekitar 240 tak masuk daftar satwa dilindungi.

Perburuan burung kicau banyak di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan hutan sekunder sekitar TNKS di Jambi. Para pemburu masuk kawasan lewat jalur tikus di desa-desa sekitar TNKS.

“Desa-desa banyak ladang sulit dipantau. Kalau ada info dari warga, baru kita bisa tangkap,” kata Dodi, bagian Pengendali Ekosistem Hutan TNKS di Kerinci, Jambi, melalui sambungan telepon.

Dia tidak tahu persis berapa kali petugas TNKS berhasil menangkap para pemburu. Yang jelas setiap kali tertangkap, petugas minta hasil buruan kembali dilepas.

“Yang tertangkap itu sebenarnya sedikit, banyak perburuan. Ketangkap hari ini, besok bisa jadi dia balik lagi. Belum lagi yang lain-lain,” kata Dodi.

Tiga julur lintas: Kerinci-Papan (Sumbar), Kerinci-Solok (Sumbar), Kerinci-Kota Jambi, membelah TNKS, jadi akses mempermudah pemburu membawa keluar hasil buruan. Jalan ini sendiri buata Belanda, saat Bukit Barisan masuk cagar alam.

Lain burung, lain juga babi. Binatang berhidung gepak ini diburu untuk makanan anjing. Di Kerinci, ada persatuan olahraga buru babi hutan. Olahraga ini mulanya tradisi berburu masyarakat Jambi dan Sumut.

Nuri merah sitaan petugas dari Asahan. Foto: Ayat S Karokaro
Nuri merah sitaan petugas dari Asahan. Foto: Ayat S Karokaro

Satwa tak dilindungi?

Satwa terus diburu baik satwa langka dan dilindungi maupun yang tak dilindungi. Sekitar 1990-an, di Jawa lutung dianggap hama. Mereka bebas diburu dan dibunuh. Sampai sempat muncul bakso monyet. Kira 2012-2013, kata Suwarno, Direktur Utama Animals Indonesia, peneliti lutung Jawa pernah survei. Hasilnya, populasi lutung Jawa, turun tajam.

“Tiba-tiba tinggal sedikit, dan itu diketahui secara tiba-tiba,” katanya.

Di Ladang Panjang, Sungai Gelam, Muaro Jambi, banyak pemilik perkebunan karet membayar orang berburu simpai. Satu simpai Rp100.000. Saat musim tanam dan karet masih kecil, simpai dianggap hama.

Beberapa primata seperti simpai, beruk, lutung Sumatera juga belum dilindungi, meski keterancaman populasi terus berlangsung. Tak dibunuh, sebagian mereka diburu untuk diperdagangkan.

Suwarno mengatakan, pelabuhan tikus di Surabaya jadi simpul perdagangan satwa ilegal di Jawa Timur. Belum lagi di Banyuwangi dan Bondowoso. Banyak satwa dilindungi diperdagangkan.

Permintaan lutung Jawa, sangat besar, sampai-sampai banyak pemburu mengecat bulu simpai mirip lutung. “Kalau masih kecil kan mirip, orang yang tak tahu bisa tertipu,” katanya.

Satwa apapun, katanya, yang menghasilkan uang akan jadi obyek perburuan. Mereka akan diburu, mati atau hidup. Siamang, orangutan, owa diperdagangkan hidup.

“Hewan liar, yang bukan domistikasi yang dijual beli itu pasti dari alam liar,” ujar Suwarno. “Makin langka hewan yang dipelihara, akan makin tinggi derajat mereka (pembeli), gengsinya makin tinggi.”

Sementara harimau dan gajah dijual dalam keadaan mati, keduanya sulit dijual untuk hewan kesayangan. Gajah diambil gading. Harimau, hampir semua bagian, seperti kuku, taring hingga kumis laku jadi aksesoris. Bahkan di Jawa, bagian harimau diburu untuk kebutuhan klenik, terutama bagi penganut kejawen.

“Jadi jangan heran kalau lihat orang pakai taring (aksesoris), tujuannya untuk kewibawaan,” kata Direktur Animals Indonesia ini.

 

 

Orangutan, salah satu satwa yang banyak diburu, baik buat pelihara maupun diperdagangkan. Foto: Sapariah Saturi
Orangutan, salah satu satwa yang banyak diburu, baik buat pelihara maupun diperdagangkan. Foto: Sapariah Saturi

 

Pemburu aktif

Animals Indonesia pernah survei di Selangit, Sumatera Selatan, di sekitar TNKS, pada 2014. Kata Suwarno, setiap dusun minimal ada dua pemburu aktif memiliki senapan angin dan proyektil berkaliber 4,5 hingga tujuh milimeter.

Peraturan Polri tahun 2012, mengatur penggunaan senapan angin hanya untuk adu ketangkasan dalam lingkup tertentu. Kendati demikian, pengawasan sangat lemah. Praktis perburuan dengan senapan angin bisa bebas.

Pemburu di dusun jadi bagian rantai perdagangan yang akan mempermudah para pembeli mendapatkan satwa pesanan.

Guna memenuhi pesanan, katanya, para pemburu  kerap berburu hingga taman nasional. Murai batu, katanya, jadi target memenuhi pasar Jawa.

“Satu pedagang, sekali kirim bisa dua sampai empat burung. Kalau sebulan ada 10 kali kirim, berarti ada 40 burung dicuri dari kawasan,” katanya.

Sementara para penampung satwa hasil buruan, rata-rata punya pendidikan tinggi, ekonomi menengah keatas dan paham hukum. Bisnis perdagangan satwa hampir tanpa modal tapi untungnya besar.

“Keuntungan tinggi, dengan cara mudah dan risiko kecil. Itu akan memicu dia untuk mengulang, kepingin lagi-kepingin lagi.” “Sambil duduk, SMS, BBM dapat uang, mengapa saya harus repot-repot kerja berat?”

Bukan itu saja, sebagian penampung satwa liar banyak di-backingi oknum, hingga mereka merasa aman berbisnis ilegal. Di Musirawas, pedagang dikabarkan mengambil satwa dari Suku Kubu.

Suwarno bilang, perdagangan satwa bukan semata-mata masalah ekonomi. Para pemburu di sekitar hutan Sumatera, rata-rata petani ladang, dan berburu hanya jadi kerja sampingan usai berladang.

Khairul Azmi, Sekretaris Badan Pengurus, Lauser Concervation Patnership (LCP) di Medan, mengusulkan,  agar UU Kehutanan terutama poin Pasal 50, bisa digunakan penegak hukum menjerat pelaku perburuan di hutan.

Trenggiling, juga salah satu satwa 'favorit' buruan karena nilai ekonomi tinggi. Foto: Ayat S Karokaro
Trenggiling, juga salah satu satwa ‘favorit’ buruan karena nilai ekonomi tinggi. Foto: Ayat S Karokaro

Perdagangan via Facebook

Pemilik senapan angin yang gemar berburu akan menembak semua satwa yang ditemui. Kepuasan akan berlipat, saat buruan punya nilai jual.

“Masyarakat kita tak sebodoh dulu, di dusun pelosok asal ada signal, hasil perburuan bisa jadi uang. Perdagangan bisa lewat media sosial,” kata Suwarno.

Sejak 2015, Animals Indonesia berusaha menekan perdagangan satwa liar lewat media sosial. Riset pada 2014-2015, perdagangan jejaring facebook dalam satu tahun, hasil transaksi bisa bikin kerugian negara Rp984 juta.

“Itu hanya satu kelompok kecil, belum lagi twitter dan lain-lain.” “Media sosial sangat cepat menghubungkan antara pemburu, pengepul dan pembeli.”

Pada 12 Maret 2015, BKSDA Jambi berhasil menangkap PR, pelaku penjualan kucing hutan lewat Facebook. Pemilik akun FB Prabu Feat Black Dementor ini ditangkap di Lorong Bajuri, Kota Jambi saat bertransaksi dengan polhut BKSDA yang menyamar sebagai pembeli. Aktivitas perdagangan satwa, juga dipermudah dengan jasa pengiriman yang memiliki izin legal.

Animals Indonesia telah mengirimkan surat pada pemerintah, pemilik hosting, aksi ke kantor Facebook Indonesia, minta agar situs perdagangan satwa ilegal diblokir. Manajemen Facebook Indonesia masih akan membahas.

 

 

Kulit harimau yang coba dijual pemburu dan berhasil diamankan petugas. Foto: Ayat S Karokaro
Kulit harimau yang coba dijual pemburu dan berhasil diamankan petugas. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,