Riset: Hutan Tersisa Sumatera Itu, Jalur Jelajah Mamalia Besar

Di tengah luasnya Pulau Sumatera, yang wilayahnya digunakan industri perkebunan kayu, ternyata hutan aslinya yang tersisa dapat berfungsi sebagai koridor mamalia besar.

Sebuah riset yang dipublikasikan bulan lalu di Tropical Conservation Science menunjukkan, mempertahankan jaringan hutan riparian – habitat yang mencakup tepi sungai dan sungai – dapat menjadikan kawasan perkebunan industri untuk pulp dan kertas sebagai wilayah yang ramah satwa liar.

“Semakin luas dan baik koridor riparian tersebut pastinya dapat meningkatkan pemanfaatannya sebagai habitat satwa liar di kawasan perkebunan,” jelas William Laurance, penulis di penelitian tersebut dan juga Distinguished Research Professor di James Cook University, melalui email ke Mongabay. “Saya terkejut melihat beberapa spesies, seperti harimau dan gajah, yang sering muncul di koridor ini, setidaknya berdasarkan tanda-tanda dari jejak kaki dan kotorannya.”

Spesies lainnya, seperti tapir (Tapirus indicus) dan trenggiling (Manis javanica), yang terbukti menggunakan kawasan kecil hutan tersebut.

“Penelitian ini menunjukkan, dengan beberapa syarat, kita dapat mempertahankan konektivitas di seluruh lansekap produktif, yang penting untuk banyak proses ekologi,” jelas Robert Nasi, Direktur Program Riset di Center for International Forestry Research (CIFOR), melalui email ke Mongabay.

Truk yang penuh muatan kayu log yang dipanen dari perkebunan akasia. Foto: William Laurance
Truk yang penuh muatan kayu log yang dipanen dari perkebunan akasia. Foto: William Laurance

Dalam studi disebutkan, hutan tanaman industri (HTI) menyebar di seluruh Indonesia dengan cepat. Jika target nasional terpenuhi, maka kawasan HTI yang dipakai untuk produksi kayu pulp, saat ini lima juta hektare, akan naik tiga kali lipat pada 2030 yang areanya lebih besar ketimbang negara bagian New York.

Menurut penelitian, HTI – yang didominasi dari akasia dan pohon eucalyptus– seringkali membabat hutan asli Sumatera dalam jumlah besar. Di Sumatera, perkebunan pulp and paper diperkirakan mencapai 1,2 juta hektare hutan antara 2000 dan 2010. Meski begitu, beberapa habitat aslinya bisa ditempati di kasawan perkebunan.

Secara hukum Indonesia, pemilik perkebunan kayu pulp diwajibkan untuk mempertahankan habitat asli di sepanjang sungai – yang disebut “hutan riparian” – ketika lansekap berubah. Hukum tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat hilir dengan melindungi saluran air dari sedimentasi dan perkebunan limpasan, seperti pestisida. Tapi ternyata, hutan riparian dapat memberikan manfaat lain juga.

Harimau sumatera yang tertangkap kamera jebak. Foto: Betsy Yaap
Harimau sumatera yang tertangkap kamera jebak. Foto: Betsy Yaap
Tapir yang terekam kamera jebak. Foto: Betsy Yaap
Tapir yang terekam kamera jebak. Foto: Betsy Yaap
Beruang madu yang juga tertangkap kamera jebak. Foto: Betsy Yaap
Beruang madu yang juga tertangkap kamera jebak. Foto: Betsy Yaap

Dalam lansekap yang didominasi oleh HTI -yang mencakup sekitar 13 persen dari luas daratan Indonesia- penelitian ini menunjukkan bahwa hutan riparian dapat berfungsi sebagai koridor yang menghubungkan kasawan habitat asli satwa-satwa tersebut yang kini letaknya berbeda. Koridor sangat bagi hewan yang memerlukan daya jelajah luas dan menggantungkan pada tutupan hutan untuk melakukan penjelajahan, seperti macan tutul (Neofelis nebulosa) dan spesies lainnya.

Para peneliti melakukan perjalanan ke beberapa perkebunan industri akasia di Riau. Mereka memasang sejumlah kamera jebak dalam sisa habitat asli itu, dalam irisan hutan riparian. Tim  peneliti memasang kamera di beberapa koridor riparian yang berbeda, beberapa di kawasan tandus – tempat akasia baru saja dipanen- dan juga di koridor yang berbatasan dengan kawasan akasia dewasa. Para peneliti juga menempatkan kamera jebak di berbagai jarak berbeda di kawasan hutan asli: Taman Nasional Tesso Nilo.

Beruk. Foto: Betsy Yaap
Beruk. Foto: Betsy Yaap
Macan tutul (Neofelis nebulosa) yang tertangkap kamera jebak juga. Foto: Betsy Yaap
Macan tutul (Neofelis nebulosa) yang tertangkap kamera jebak juga. Foto: Betsy Yaap
Jejak kaki harimau yang tidak jauh dari lokasi penelitian. Foto: William Laurance
Jejak kaki harimau yang tidak jauh dari lokasi penelitian. Foto: William Laurance

Selama rentang beberapa bulan, kamera menangkap gambar total 19 spesies mamalia besar di koridor riparian – separuh dari spesies yang hidup di hutan asli Sumatera. “Saya terkejut sekaligus senang dengan banyaknya spesies yang berhasil kami deteksi di perkebunan, terutama satwa-satwa yang penting untuk konservasi,” kata Betsy Yaap, salah satu peneliti.

Kamera bahkan mendeteksi mamalia di koridor yang dikelilingi tanah tandus, termasuk empat spesies yang terdaftar sebagai terancam oleh IUCN – seperti beruk (Macaca nemestrina), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir, dan trenggiling – serta harimau sumatera (Panther tigris sumatrae). Hal ini menunjukkan, spesies yang rentan dan penting mungkin dapat melakukan perjalanan melalui lansekap yang tidak ramah tersebut menggunakan koridor riparian.

Hutan riparian yang berbatasan dengan perkebunan akasia. Foto: William Laurance
Hutan riparian yang berbatasan dengan perkebunan akasia. Foto: William Laurance

Para peneliti juga mencari pola dalam data mereka, yang akan mengungkapkan variabel seperti lebar koridor dan jarak ke taman nasional, kemungkinan spesies-spesies tersebut ditemukan. Analisis ini  mengungkapkan, tapir memerlukan koridor lebih luas yang memiliki implikasi untuk desain koridor.

“Desain koridor lansekap dengan spesies ini harus fokus menciptakan koridor lebih luas dan akses ke habitat hutan tambahan untuk mengakomodasi kebutuhan mereka,” jelas studi tersebut.

Tidak diragukan lagi, seberapa lebar strip hutan bervariasi, tergantung pada kebutuhan satwa-satwa. Untuk mamalia besar di Sumatera, Yaap mengatakan, sekitar 100 sampai 200 meter. “Kami percaya ini adalah lebar minimum yang wajar, sebagai koridor gerakan mamalia besar di Sumatera.”

Data satelit menunjukkan, pada tahun 2000, Taman Nasional Tesso Nilo sebagian besar wilayahnya tertutup oleh hutan primer. Namun, antara tahun 2001 dan 2014, sekitar 52.000 hektare lahan telah dibuka.
Data satelit menunjukkan, pada tahun 2000, Taman Nasional Tesso Nilo sebagian besar wilayahnya tertutup oleh hutan primer. Namun, antara tahun 2001 dan 2014, sekitar 52.000 hektare lahan telah dibuka.

Peraturan di Indonesia mengharuskan perkebunan kayu pulp mempertahankan hutan riparian yang menyebar 50 sampai 100 meter di kedua sisi sungai, yang cocok dengan perhitungan para peneliti. Tapi tentunya tidak sesederhana itu, karena peraturan untuk hutan riparian tersebut mungkin tidak menawarkan perlindungan yang dapat diandalkan.

“Hukum seringkali tidak diterapkan secara konsisten atau ditegakkan dan, sebagai hasilnya, lebar dan kelangsungan koridor riparian sangat bervariasi di antara perkebunan yang berbeda.”

Meskipun koridor riparian yang utuh dan baikk tidak cukup untuk mendukung konservasi satwa liar jangka panjang namun, keberadaan hutan yang besar, ketiadaan pemburu, akan selalu dibutuhkan. “Memiliki daerah pinggiran sungai jauh lebih baik dari pada tidak memiliki hutan asli sama sekali,” kata Laurance. “Meskipun pada akhirnya, sebagian besar spesies ini akan membutuhkan tempat hidup yang besar dan utuh untuk jangka panjang.”

Dengan kata lain, koridor-koridor ini sebagai awal saja. Harus ada rencana-rencana jangka panjang lain untuk melindungi spesies-spesies asli Sumatera.

Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo dari waktu ke waktu berdasarkan Google Earth
Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo dari waktu ke waktu berdasarkan Google Earth

Menurut pemantauan Global Forest Watch, Taman Nasional Tesso Nilo telah kehilangan sekitar 65 persen tutupan pohon selama 10 tahun terakhir, sebagian besar karena pengembangan kelapa sawit dan kebakaran hutan. Penghancuran taman nasional ini, (banyak yang terjadi setelah penelitian ini berlangsung), dapat mempengaruhi kegunaaan koridor riparian di masa depan.

“Harus dilakukan penelitian lebih lanjut di tempat yang sama, dan melihat apakah koridor-koridor ini masih aktif digunakan oleh spesies tersebut. Penelitan ini sudah bertahun lalu,” papar Yaap. (Diterjemahkan oleh: Akhyari Hananto)

Sumber Tulisan:

Benji Jones. Scientists “impressed and delighted” by animals found in remnant forests. Mongabay.com

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,