Yulia Suparti, Guru yang Tak Pernah Lelah Mengolah Sampah Jadi Pupuk Organik

 

 

Menebus dosa ekologis, dosa kepada bumi. Inilah yang menjadi motivasi Yulia Suparti, untuk terus belajar, sekaligus membagikan pengetahuan dan pengalamannya memanfaatkan sampah menjadi pupuk padat dan cair organik, sejak 2007. “Kita semua harus punya kesadaran untuk merawat bumi,” tutur Guru SMP Negeri 11 Kota Bengkulu ini kepada Mongabay Indonesia, Senin (20/02/2017).

Keprihatinan Yulia dimulai dari kondisi lingkungan sekolahnya. Walau dikelilingi pepohonan, namun sampah daun dan rantingnya berserakan. “Muncul gagasan untuk menjadikannya kompos,” terang pengajar IPA (Fisika) ini.

Gagasan tersebut ia sampaikan kepada kepala sekolah dan disetujui. “Saya pernah membaca tulisan yang menjelaskan bahwa sampah sebaiknya tidak dibakar karena bisa merusak lapisan ozon. Saya pikir, sebaiknya diolah menjadi kompos sebagai pupuk tanaman. Dengan begitu, lingkungan sekolah akan lebih hijau dan asri,” jelas perempuan kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, tahun 1972.

Ide memanfaatkan sampah menjadi kompos itu terbilang nekat, sebab Yulia sama sekali tidak memiliki pengetahuan terlebih pengalaman. Dia pun membaca buku dan bertanya kepada mahasiswa pertanian. “Selain mencari tahu cara membuat kompos, saya juga mempelajari ilmu tentang tumbuhan dan tanah.”

Selain di sekolah, Yulia juga memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk membuat kompos. Ketekunannya juga berlanjut. Dia pun mulai belajar membuat mikro organisme lokal (MOL) untuk pupuk cair organik dan mempercepat pengomposan. “Setelah berulang kali mencoba, saya mampu membuat bermacam MOL dan kompos dari sampah dedaunan serta limbah industri rumah tangga.”

 

Tanaman buah lengkeng yang menggunakan pupuk organik cair dan pestisida organik ini ditanam di rumah Yulia Suparti. Foto: Dedek Hendry

 

Cerita kehebatan Yulia membuat kompos dan pupuk cair itu menyebar. Dia mulai diundang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman ke sekolah-sekolah, termasuk tidak sedikit yang belajar ke rumahnya. “Awalnya, saya tidak percaya diri. Namun, saya pikir tidak baik kalau tidak mau berbagi. Saya pun makin giat belajar untuk mengantisipasi bila diberi pertanyaan.”

Semakin giat belajar, nyatanya semakin banyak pengetahuan baru yang diperoleh. Seperti cara membuat zat perangsang tumbuh, zat perangsang buah, dan pestisida organik. “Saya ingat pesan dosen saya, jangan takut dengan masalah, karena ada masalah, pasti ada solusi. Jangan ragu juga jika tidak diuji di laboratorium, karena pengujian langsung lah yang paling penting,” cerita Yulia yang pernah menjadi pemateri dalam konferensi dan pelatihan di Nepal, 21 – 25 April 2015.

 

Buah anggur segar ini ditanam menggunakan pupuk organik cair dan pestisida organik di rumah Yulia Suparti. Foto: Dedek Hendry

 

Pembelajaran

Upaya berbagi pengetahuan Yulia tentang memanfaatkan sampah menjadi pupuk padat dan cair organik, direspon positif sekolah-sekolah lain dan pemerintah daerah. Pembelajaran tentang pemanfaatan sampah kini telah menjadi ekstrakurikuler hampir di semua SMP di Kota Bengkulu. “Materi ini juga dimasukkan dalam kurikulum bioteknologi mata pelajaran IPA,” ujar ibu tiga anak ini.

Saat ini, Yulia tengah merintis tempat pembelajaran di lahan milikinya. Selain tempat belajar teori dan praktik, dirancang juga tempat rekreasi dan restoran atau tempat makan dengan menu sayur dan buah organik. Jadi, siapapun yang ingin belajar dan menikmati sayur dan buah organik, dari usia dini sampai dewasa, bisa datang.

 

Yulia bersama siswa SMP Negeri 11 tengah mengolah sampah menjadi kompos. Foto: Dok. Yulia Suparti

 

Menurut Yulia, gerakan mengonsumsi sayur dan buah yang menggunakan pupuk dan pestisida organik perlu dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. “Dengan mengonsumsi sayur dan buah yang terbebas zat serta partikel yang membahayakan kesehatan, tubuh akan sehat dan kuat. Bila tubuh sehat dan kuat, kualitas sumber daya manusia kita pun akan membaik,” tegasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,