Kewenangan Ditarik ke Provinsi, Efektivitas Pengawasan di Laut Diragukan

 

Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang antara lain mengatur perluasan kewenangan provinsi di sektor kelautan mulai berlaku efektif pada tahun 2017 ini. Jika semula kewenangan provinsi dari 4-12 mil kini diperluas menjadi 0-12 mil. Salah satu implikasi dari kebijakan ini adalah semakin sulitnya pengawasan di laut.

“Kalau saya pribadi sebagai orang perikanan melihat aturan lama dengan adanya pembagian wewenang antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota itu sudah tepat. Memang ada pembagian kewenangan namun tetap bisa bersinergi. Di pantai dengan jarak 0-4 mil kalau pihak kabupaten/kota yang awasi kan semakin dekat, lebih cepat karena lebih tahu kondisi,” ungkap Sulkaf S Latief, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan, di Makassar, Kamis (23/2/2017).

 

 

Pada aturan lama memang terdapat pembagian kewenangan pengelolaan dan pengawasan laut, di mana untuk jarak 0 – 4 mil kewenangannya ada di kabupaten/kota, sementara untuk 4-12 km dikelola oleh provinsi, dan 12 mil ke atas kewenangannya ada di pemerintah pusat.

Kebijakan ini juga secara otomatis menghapus kewenangan kabupaten/kota. Sebagian besar daerah sudah merubah nomenklatur. Dinas Kelautan dihilangkan, sehingga yang tersisa adalah Dinas Perikanan.

Kebijakan ini dianggap memiliki banyak kelemahan, apalagi tidak ditopang dengan anggaran yang memadai. Meski demikian, menurut Sulkaf, kebijakan ini akan tetap dijalankan karena merupakan amanah UU. Salah satu tantangannya pada jumlah personel untuk pengawasan masih sangat terbatas dengan area kerja yang cukup luas.

“Kebijakannya seperti itu, meski kami hanya punya 25 orang tenaga pengawasan yang akan mengawasi laut yang sedemikan luas. Anggarannya pun terbatas dan malah semakin berkurang. Tapi namanya amanah UU maka itu harus kami jalankan,” katanya.

Minimnya anggaran memang menjadi masalah tersendiri karena akan membatasi ruang gerak dinas. Sulkaf membandingkan anggaran pengawasan dari pusat pada tahun 2016, sebelum diterapkannya kebijakan tersebut, sebanyak Rp850 juta. Pada tahun 2017 ini jumlahnya justru berkurang menjadi Rp360 juta.

“Kewenangan bertambah, namun biaya operasional justru semakin berkurang. Tapi itu urusan Jakarta lah. Memang akan ada dari APBD, tapi berapa sih kemampuan APBD kita,” katanya.

 

Aktivitas pendaratan ikan di tempat pelelangan ikan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. Kebijakan pemerintah pusat yang membatasi ruang dan alat tangkap dinilai berdampak pada lesunya sektor perikanan. Banyak pelaku industri perikanan yang terpaksa gulung tikar. Foto: Wahyu Chandra

 

Perubahan kebijakan yang tidak dibarengi dengan konsekuensi anggaran ini dinilai Sulkaf sebagai sesuatu yang seharusnya dikaji lebih jauh efektifitasnya. Ia membandingkan dengan lahirnya UU Desa yang kemudian dibarengi kucuran dana untuk desa hingga Rp1 miliar di desa.

Menurut Sulkaf, meluasnya lingkup kerja provinsi membuat DKP Sulsel mensiasati dengan membentuk sejumlah Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pengawasan di tiga daerah. Ketiga UPTD tersebut antara lain berada di Kabupaten Barru untuk pengawasan di Selat Makassar, di Kabupaten Bulukumba untuk pengawasan sekitar perairan Selat Flores dan di Kabupaten Bone untuk wilayah sekitar Bone dan Wajo.

“Keberadaan UPTD ini nantinya akan lebih mempermudah kordinasi dengan kabupaten/kota. Kita memang akan mengintensifkan kerjasama dengan kabupaten/kota. Sekalipun kewenangan ada di provinsi tapi kan yang memanfaatkan adalah nelayan-nelayan yang tinggalnya di darat. Jadi kami harus kerjasama dengan kabupaten/kota dalam hal pembinaan.”

Menurutnya, keberadaan UPTD di tiga daerah ini dibangun atas usulan daerah setempat. Ketiga Pemda tersebut nantinya membantu dalam meminjamkan kantor dengan fasilitas lainnya.

“Kabupaten Luwu Utara juga mau dibangun UPTD tapi terlambat pengajuannya. Kita bisa saja bikin banyak UPTD di daerah tapi kalau buat banyak kan ada konsekuensi biaya dan sumber daya yang dilibatkan. Sementara UPTD ini seluruhnya dibiayai provinsi dengan anggaran terbatas.”

Strategi lain dalam mengefektifkan pengawasan adalah dengan mengaktifkan kembali Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokwasmas) di daerah-daerah, meskipun tantangannya pada jauhnya jarak mereka dari provinsi.

“Kalau mereka mau melapor memang jauh sekali, tapi kan yang berkuasa di laut itu kan bukan cuma Dinas Kelautan saja, ada juga Polair dan kepolisian. Semuanya bisa. Tinggal kemudian bagaimana mekanisme pelaporan dan kordinasi ini diefektifkan.”

Dalam rangka kordinasi dan kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota, Pemprov Sulsel saat ini tengah menggodok Peraturan Gubernur. Inisiatif Pergub ini sendiri berasal dari permintaan daerah agar memiliki pijakan hukum dalam kerjasama sehingga tahun 2018 nanti pengawasan di laut bisa dianggarkan di dalam APBD Kabupaten/Kota.

“Ini supaya kami bisa bekerjasama dengan kabupaten/kota agar mereka bisa mengambil peran. Karena kalau kabupaten/kota sekarang tidak bisa menganggarkan pengawasan di laut di APBD. Tetapi sebenarnya kalau dikatakan pengawasan nelayan bisa saja. Yang di pinggir-pinggir kan kampung-kampung nelayan bisa dilakukan pembinaan. Pemerintah setempat yang paling tahu tentang aktivitas dan kondisi mereka.”

 

Seorang nelayan anggota kelompok nelayan Muara Pesisir, Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulsel di perahunya. Meski hanya perahu kecil, namun dengan alat tangkap yang lebih beragam, dia bisa menangkap ikan lebih banyak. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Sulkaf, pengawasan di perairan Sulsel memang patut mendapat perhatian karena masih tingginya aktivitas destructive fishing seperti bom dan bius ikan, antara lain di perairan Bone, Pangkep, Bulukumba dan Luwu dan Luwu Utara.

“Kalau di Luwu Utara agak lebih aman karena ada Lantamal (Pangkalan Utama TNI AL) di sana. Namun itu juga hanya dijaga dua orang saja dengan laut yang sedemikian luas.”

Sulkaf berharap fungsi pengawasan ini nantinya tetap bisa dianggarkan bersama dengan pihak-pihak yang terkait, sehingga berbagai pihak bisa saling bersinergi dan berbagi tugas.

“Ini sudah lama kita lakukan dengan Polair dan polisi kalau ada patroli gabungan. Kadang kami pakai fasilitas Polair namun penggajian staf kami yang terlibat tetap di kami. Selama ini kordinasi dengan Polair baik, kalau mereka tangkap kita diberitahu, kita juga seperti itu. Cuma kita memang banyak beri pembinaan kalau masih terkait illegal fishing. Tapi kalau bom dan bius tidak ada ampun langsung tangkap.”

Secara umum Sulkaf menilai banyak kebijakan nasional yang justru merugikan nelayan. Misalnya pembatasan ruang dan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Ini dianggap membuat laju ekonomi di sektor kelautan dan perikanan menjadi lesu. Banyak pelaku industri perikanan yang terpaksa gulung tikar.

“Coba kita lihat sekarang industri perikanan hancur-hancuran. Hanya dengan pancing, berapa sih yang bisa dihasilkan. Pembatasan memang perlu tapi kan itu ada ilmunya bagaimana ikan-ikan tetap diambil namun dijaga keberkelanjutannya.”

 

Kepiting kecil atau disebut kepiting sojo hasil tangkapan di Desa Pitue, Kecamatan M’arang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Foto: Wahyu Chandra

 

Kebijakan lain yang dianggap merugikan nelayan adalah pembatasan penangkapan kepiting melalui PermenKP No.1/PermenKP/2015 tentang batasan ukuran tangkap lobster, kepiting dan rajungan. Meski ia sepakat dengan adanya pengaturan, namun tidak mesti melalui penutupan ruang atau larangan.

“Memang perlu diatur tapi kalau main tutup, main larang, itu harus dipikirkan lagi. Kepiting kecil dilarang padahal sebenarnya meski ukuran kecil tapi sebenarnya sudah dewasa. Bukti menunjukkan bahwa meski dilarang namun tetap ada penangkapan kepiting dan diselundupkan ke Malaysia.”

Program nasional yang dianggap cukup sukses adalah program JARING (program pendanaan bagi nelayan kecil kerjasama KKP dengan OJK). DKP Sulsel juga banyak melakukan pembinaan-pembinaan dan memberi rekomendasi kelompok yang dianggap bagus.

“JARING sebagai program sangat bagus untuk membantu nelayan. Bank Sulsel bahkan bikin sistem kemitraan ada namanya Pundi dengan bunga cuma 8 persen, dimana nelayan bisa utang Rp20 juta. Ini sudah diperiksa OJK dan dinyatakan layak. Kita akan terus dorong hal ini di sejumlah daerah.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,