Ranger, Ujung Tombak Penyelamat Hutan dan Satwa Liar di Leuser

 

 

Ranger adalah bagian tidak terpisahkan dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), wilayah penting dengan keanekaragaman hayati tinggi. Luasnya 2,6 juta hektare, membentang di Aceh (2,25 juta hektare) dan Sumatera Utara ini, mendukung kehidupan sekitar empat juta orang yang berada di sekitarnya.

KEL disahkan 1995 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 227/Kpts-11/1995 yang  diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor: 33 tahun 1998. Terbentuknya Unit Manajemen Leuser sebagai lembaga yang bekerja di Leuser, turut berpengaruh pada pembentukan Ranger alias penjaga hutan, yang mulai direkrut sejak 1998. Namun, pada 2005 hingga 2007, Yayasan Leuser International (YLI) mengambil alih keberadaan Ranger di KEL.

Ranger kembali beralih lembaga pada 2007, di bawah Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) yang dibentuk Pemerintah Aceh pada 2006. Namun, BPKEL tidak bertahan lama, pada tahun 2012, terjadi pergantian Gubernur, Irwandi Yusuf harus menyerahkan kepemimpinannya kepada Zaini Abdullah.

Tidak lama setelah Zaini Abdullah menjabat, BPKEL dibubarkan. Sejumlah staf berpencar, namun Ranger yang masih patroli di hutan tidak mengetahui perubahan tersebut.

“Saat itu, kami khawatir terhadap Ranger di lapangan. Bila ada kecelakaan saat mereka patroli, tidak ada lagi lembaga yang menanggung biaya,” ujar Badrul Ihksan, mantan pekerja BPKEL, Minggu (19/03/17).

Masalah lain, Ranger memiliki banyak informasi isi hutan. Bila tidak ada lembaga yang mendampingi mereka, banyak pihak yang mengkhawatirkan mereka akan berbalik arah atau dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Tidak lama setelah BPKEL dibubarkan, beberapa mantan staf membentuk Forum Konservasi Leuser (FKL), untuk menjaga eksistensi Ranger. Mereka mendukung rencana pembentukan lembaga non pemerintah tersebut, meski awalnya Ranger ini berpatroli dengan biaya sendiri,” tutur Rudi Putra, Manager Konservasi FKL.

Rudi menambahkan, Ranger bekerja sama dengan masyarakat menjaga KEL, juga membantu kepolisian dan polisi hutan melakukan penegakkan hukum.

“Pada 2015, Ranger memusnahkan 1.200 perangkap satwa liar. 2016 ini, jumlah perangkap yang ditemukan hanya 264 perangkap  yang menandakan perburuan di hutan yang dilewati Ranger saat patroli jauh berkurang.”

 

Bukan pekerjaan mudah menjadi Ranger yang harus keluar masuk hutan dengan kondisi medan yang menantang. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Rudi memastikan, tidak mudah mengikuti partoli yang dilakukan Ranger sekitar 15 hari di hutan. Mereka mendaki tebing, menyeberangi arus deras sungai, dan membawa perbekalan seadanya.

“Saat ini ada 21 tim, yang setiap tim berisi empat Ranger. Mereka bergabung dengan polhut atau pamhut, sehingga bila ada kegiatan pembalakan kayu atau perburuan bisa langsung ditangkap.”

Peneliti badak sumatera di kawasan Kappi, Taman Nasional Gunung Leuser ini juga menambahkan, pada 2013, setelah BPKEL dibubarkan, dan FKL baru dibentuk, terjadi perburuan sangat mengkhawatirkan di Bengkung, Kota Subulussalam. “Saat itu, Ranger berpengalaman, Tamrin mengajukan diri untuk patroli. Namun pada akhir 2013, dia sakit di hutan dan meninggal dunia. Tim lain bersama masyarakat membawa almarhum turun. Tim tetap memperhatikan keluarga Tamrin, dan seorang anaknya mengajukan diri menjadi Ranger dan sekarang aktif patroli,” tuturnya.

 

Menjadi Ranger adalah pilihan hidup membanggakan untuk menjaga kelestarian hutan demi masa depan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Pilihan hidup

Mahmud, warga Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, adalah Ranger yang berpatroli sejak 1998. Ia mengaku, selain berkebun, Ranger merupakan pilihan hidup. Meski usianya 61 tahun, ia tetap menjaga hutan. “Saya demam kalau lama tidak keliling hutan, ada ketenangan yang hilang.”

Mahmud terlibat menjadi Ranger karena khawatir akan keberadaan harimau dan badak yang berkurang akibat perburuan. “Dulu, kami bisa menemukan harimau dan jejak badak dengan mudah, saya khawatir mereka punah perlahan,” ujarnya.

Dahlawi, warga Kabupaten Aceh Selatan, generasi tua tim Ranger mengatakan hal yang sama. Dia prihatin keadaan satwa berkurang dan hutan yang dirambah. “Di hutan, lebih nyaman dan banyak yang dilihat.”

Dahlawi mengaku, saat patroli tidak bisa membawa logistik yang banyak. Tim yang dipimpinnya pernah kehabisan bahan makanan dan hanya mengganjal perut dengan ikan yang ditangkap di sungai.

“Saat itu beras habis. Kami hanya makan ikan beberapa hari,” tutur Dahlawi yang diamini Hendra, mantan pasukan khusus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bergabung menjadi  Ranger.

Dahlawi menambahkan, di hutan, mereka kadang harus mendaki atau menuruni tebing curam, menyeberangi derasnya air sungai, juga melewati hutan yang dipenuhi tumbuhan berduri. Termasuk, mengangkut anggota tim yang kecelakaan bahkan meninggal dunia.

“Itu semua bagian perjalanan hidup. Kita harus menjaga hutan beserta keragaman hayati yang ada. Ini penting,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,