Konflik Membara di Konsesi Sawit Kartika Prima Cipta

 

 

Konflik di sektor perkebunan kelapa sawit kembali terulang. Kali ini terjadi di konsesi PT. Kartika Prima Cipta (KPC) Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di luar dugaan, anak usaha PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) ini masih menyimpan bara di balik klaim unit usaha dengan tata kelola terbaik oleh para direksi SMART.

Bahkan, ketika pertemuan tahunan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-14 dihelat di Bangkok, pada 7 – 10 November 2016, nama PT. KPC Suhaid melegenda. Direktur PT. SMART Agus Purnomo dalam presentasinya kala itu, menyiarkan video rekaman tata kelola perkebunan sawit di konsesi KPC. Tayangan video ini mengundang decak kagum para anggota RSPO.

Lima bulan kemudian, lima orang warga dari Kecamatan Suhaid, Kapuas Hulu, “turun gunung” hingga menyasar Pontianak. Mereka adalah orang-orang yang mengaku sudah nyaris kehilangan asa, lantaran perampasan lahan warisan leluhur yang dilakukan oleh PT. KPC.

 

Baca: Konflik Perkebunan Sawit Meluas, RSPO Dituntut Segera Kembali ke Khittah

 

Bagi warga, tak ada lagi tempat mengadu yang bisa dipercaya, kecuali lembaga swadaya masyarakat. Pilihannya adalah Link-AR Borneo. Lembaga ini, dalam pergerakannya lebih berkonsentrasi pada penyelesaian konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Sebagai LSM yang bekerja di tengah-tengah masyarakat, Link-AR Borneo menerima para “duta” dari dua desa di Kecamatan Suhaid ini: Nanga Suhaid dan Tanjung Harapan. Konferensi pers pun dihelat di Cafe OZ Pontianak, Senin (03/04/2017).

“Kami menginisiasi konferensi pers ini dengan harapan warga dapat bersuara sendiri, menyuarakan aspirasi mereka secara langsung kepada publik,” kata Agus Sutomo, Direktur Link-AR Borneo.

Pada saat itulah, warga diminta angkat bicara. Alamsyah, warga Desa Nanga Suhaid menyampaikan persoalan yang dihadapi di kampungnya. Kala itu, di 2007, pihak perusahaan sudah datang dan menanyakan apakah dia bersedia menyerahkan lahannya atau tidak. “Saya pun menjawab, lahan tersebut warisan orangtua sehingga tidak mungkin diserahkan kepada perusahaan,” katanya.

Sebagai seorang petani di Nanga Suhaid, Alamsyah tak ingin menyerahkan lahannya kepada pihak perusahaan sawit. Namun, apa hendak dikata lahan tersebut sudah dibersihkan. Bahkan, sebagian lahan sudah pula ditanami sawit. “Terpaksa saya menemui pihak perusahaan, namun sampai sekarang belum ada jawaban.”

Alamsyah kembali dipanggil oleh pihak PT. KPC pada 2 Juli 2016, guna penyelesaian masalah. Bahkan, pengecekan lapangan juga dilakukan oleh kedua belah pihak. Hasilnya, ditemukan sebuah patok pembatas tanah yang dilapisi cat berwarna merah. Patok itu merupakan peninggalan orang tua Alamsyah.

Sampai di sini, kata Alamsyah, petugas mengaku ada kekeliruan dari peta lokasi mereka. “Hanya saja lahan itu sudah digarap perusahaan. Saya mau lahan warisan orangtua saya dikembalikan. Itu saja tuntutan saya,” jelas Alamsyah.

 

Sawit yang mendatangkan konflik antara masyarakat dengan masyarakat, juga perusahaan. Foto: Rhett Butler

 

Digeruduk tamu tak diundang

Kesempatan Alamsyah mengemukakan masalahnya selesai dan berlanjut ke warga lainnya, Saudi. Namun, ketika hendak berbicara, ruang konferensi pers tiba-tiba digeruduk sejumlah tamu tak diundang. Suasana pun gaduh. Jurnalis bertanya-tanya siapa gerangan mereka. Agus Sutomo langsung mengambil-alih kendali konferensi pers dan menanyakan maksud kedatangan “penumpang gelap” itu.

“Kami menghargai kedatangan bapak-bapak meski tidak diundang. Silakan duduk, sampaikan maksud dan tujuannya datang ke sini. Jika ada hal yang hendak diklarifikasi, itu akan lebih baik,” kata Agus.

Salah seorang tamu mengambil mikrofon dan langsung angkat bicara. “Kami dari Kopsa (koperasi sawit) di Suhaid. Kami datang atas pemberitahuan jurnalis. Katanya ada warga Suhaid yang mau konferensi pers terkait PT. KPC. Saya tak perlu sebut siapa jurnalisnya. Dia ada di sini, dan orangnya adalah jurnalis kami juga,” kata Suhaimi, Ketua Kopsa Mitra Cipta Sejahtera.

Suhaimi mengaku kecewa dengan warga Suhaid yang ingin mengekspos tata kelola perkebunan sawit PT. KPC. “Saya sedikit kecewa karena apa yang akan diekspos mereka ini tidak melalui meja kami. Harusnya datang ke kami jika ada masalah dengan plasma PT. KPC,” katanya.

Menurutnya, kehadiran PT. KPC telah membawa dampak positif bagi warga Suhaid. Keuntungan tidak hanya bagi petani yang punya lahan, tetapi juga dari sisi tenaga kerja yang diserap oleh perusahaan. “Saya perkirakan ada 300 orang bekerja sawit,” jelas Suhaimi.

“Perusahaan sawit ini sudah berjalan 10 tahun. Artinya sudah hampir kondusif. Kami minta barang yang sudah ada jangan diutak-atik lagi. Mau bagaimana lagi kita? Kalau kami salah, pemerintah juga salah. Soalnya dalam MoU tersebut, tanda tangan bupati sudah jelas,” terang Suhaimi.

H Arman H Abdullah, penasihat Kopsa Mitra Cipta Sejahtera yang turut hadir menambahkan bahwa perusahaan masuk ke Suhaid sama sekali tidak ada paksaan. “Sekali lagi tidak ada paksaan. Perusahaan memang tidak langsung ketemu masyarakat. Kamilah orang-orang kampung ini yang berembuk dengan sesama warga. Jadi jangan salah kaprah,” tegasnya.

Kehadiran pengurus Kopsa Mitra Cipta Sejahtera ini berbuntut keributan sesama warga Suhaid. Pasalnya, warga yang hendak menyampaikan keluhannya tidak lagi diberi waktu bicara. Setiap hendak bicara langsung dipotong oleh pengurus koperasi.

Warga pun kehilangan kesabaran. Aksi tunjuk dan saling teriak tak terelakkan. “Kami ke sini tidak ada urusan dengan koperasi. Urusan kami menuntut perusahaan mengembalikan lahan yang sudah mereka rampas. Termasuk meminta perusahaan memperhatikan pencemaran air,” pekik salah seorang warga sambil menunjuk pengurus Kopsa Mitra Cipta Sejahtera.

H Hari Sudirman, tokoh nelayan Suhaid menyesalkan insiden itu. “Harusnya ini tak perlu terjadi jika semua pihak bisa menahan diri, tidak emosi. Tujuan warga ke sini untuk mencari solusi yang tepat. Bukan untuk serang sesama warga Suhaid,” katanya.

Hari juga tak bisa menutupi kegelisahannya melihat kondisi perairan sungai yang kian memburuk. Hal itu diakuinya sangat berdampak pada pundi-pundi ekonomi masyarakat nelayan setempat. “Hasil tangkapan ikan dari tahun ke tahun mengalami penurunan,” katanya.

Menurutnya, sebelum perusahaan sawit berdiri, setiap hari nelayan yang turun ke sungai atau danau selalu mendapatkan hasil yang lumayan. Sekarang, nelayan bisa pulang dengan tangan hampa.

 

Inilah suasana konferensi pers warga Suhaid yang difasilitasi Link-AR Borneo di Pontianak, sebelum digeruduk pengurus Koperasi Sawit Mitra Cipta Sejahtera. Foto: Dok. Link-AR Borneo

 

Daya dukung sungai menurun

Berdasarkan hasil kajian Link-AR Borneo, hasil tangkapan nelayan di Suhaid mengalami penurunan drastis kurun waktu tujuh tahun terakhir. Pada 2010, rata-rata nelayan bisa menghasilkan ikan 15 kilogram per hari. Namun pada 2017 ini, hasil tangkapan rata-rata satu kilogram per hari.

Begitu pula jenis ikan budidaya yang turun drastis tujuh tahun terakhir. Penanaman sawit di bantaran sungai, dinilai menjadi pemicu penurunan daya dukung lingkungan.

Hal ini berimplikasi langsung pada sektor budidaya ikan arwana (Scleropages formosus) yang mati setelah kolam menggunakan air sungai. Perubahan kondisi air ini berbanding lurus dengan masuknya PT. KPC di Kecamatan Suhaid.

Agus Sutomo mengatakan, indikasi penurunan daya dukung sungai dan hilangnya ikan dipicu oleh penanaman sawit di bantaran sungai. “Pupuk dan limbah sawit mengalir langsung ke sungai. Ikan terkena penyakit kutu jarum yang menyebabkan kematian.”

Atas dasar itu, Agus Sutomo meminta perusahaan untuk segera mengganti kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan yang sudah terjadi di Suhaid. “Sejatinya, itu sudah menjadi tanggung jawab perusahaan. Kembalikan lahan warga, dan berikan kompensasi air bersih bagi warga desa yang terdampak pencemaran,” pintanya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,