Beragam Manfaat Kala Perempuan Peroleh Akses Energi Terbarukan

 

 

Kala perempuan punya akses luas terhadap energi baru terbarukan, tak hanya meringankan pekerjaan juga lebih produktif dan menguntungkan secara ekonomi.

Seperti dirasakan Seni Rolita Hanada, perempuan asal Waingapu, Sumba, Nusa Tenggara Timur, setiap hari harus bekerja di ladang dari pagi hingga petang. Ibu tujuh anak ini, memasak pakai minyak tanah dan kayu bakar sambil mengurus anak dan kedai kecil menjual berbagai hasil olahan tani dan hasil kebun mereka.

Dua tahun lalu, Mama Seni sapaan akrabnya, berkenalan dengan teknologi kotoran sapi dan babi jadi sumber bahan bakar untuk memasak alias energi biogas.

Biogas dibangun dari campuran kotoran dan air bercampur dalam inlet atau tangki pencampur– mengalir melalui saluran pipa menuju sebuah kubah. Campuran ini menghasilkan gas setelah melalui proses pencernaan di dalam reaktor, ditampung pada ruang penampung gas.

Kotoran yang berfermentasi dialirkan keluar kubah menuju outlet dan menyisakan ampas, disebut bioslurry. Gas dalam kubah mengalir ke dapur melalui pipa, untuk memasak.

“Awalnya saya takut. Kalau gas begitu bisa meledak,” kata Seni dalam diskusi Perempuan dan Energi di Jakarta, pada Hari Kartini Jumat (21/4/17).

Setelah Seni mencoba teknologi hasil fermentasi kotoran hewan, siapa sangka ketua kelompok  tani perempuan di Sumba ini bisa hemat waktu dan tenaga bahkan hasilkan uang lebih.

Biasanya, kalau pakai minyak tanah, Seni menghabiskan 40 liter sebulan harga Rp4.000 per liter. Setelah pakai biogas, keluarga Seni hemat Rp160.000, kini hanya habiskan 10 liter minyak tanah sebulan.

Seni lantas memanfaatkan bioslurry sebagai pengganti pupuk tanaman yang biasa habis lima sak sebulan, seharga Rp90.000 persak. “Sekarang tak beli pupuk lagi,” katanya.

Bioslurry tak hanya bikin tanah tambah subur tetapi membantu produksi sayuran jadi lebih baik. “Sawi lebih hijau, kalau dimasak berbeda rasanya. Sawi ditanam pakai pupuk kimia, kalau salah masak bisa pahit. Sengan bioslurry mau dimasak bagaimana juga tetap manis.”

Tak heran sejak pakai pola ini, Seni bisa memperbaiki ekonomi keluarga. Selain dapat mengerjakan banyak hal, karena tak perlu lagi memasak dengan kayu bakar atau minyak tanah, produksi sayuran, jagung dan hasil kebun lain meningkat.

“Dari sawi bisa dapat Rp1 juta, pepaya california bisa laku Rp200 sehari. Sebulan saya bisa dapat Rp5 juta sekarang,” katanya. Dia baru saja membeli dua petak tanah masing-masing Rp150 juta dan Rp30 juta serta satu motor.

Keberhasilan ini tak hanya dinikmati sendiri. Sekitar 23 anggota kelompok tani kini merintis jalan serupa, pakai bioslurry sebagai pengganti pupuk kimia.

Cerita sukses lain dari Desa Lembata. Kehidupan Rovina Surat berubah sejak solar home system (SHS)masuk Lembata. Desa Lembata termasuk satu dari 2.519 desa belum berlistrik di Indonesia.

Selama ini, masyarakat pakai lampu pelita sebagai penerangan. dengan SHS, masyarakat beralih pakai lampu tenaga surya lebih hemat dan efisien.

“Tergantung ukuran, harga ada Rp1.500, Rp500.000 dan Rp200.000,” kata Rovina yang kini bersama anggota kelompok perempuan desa mendistribusikan lampu-lampu ini.

Perempuan Desa Lembata juga kenal sistem biogas dan filter air selain SHS. Kini,  mereka hemat waktu mencari kayu bakar ke hutan, bisa menghabiskan waktu sekitar empat jam per dua minggu. “Biasa satu ikat untuk dua minggu. Minyak tanah biasa 15 liter sebulan, kini paling satu liter,” katanya.

Seperti Seni, Rovina juga menularkan kebiasaan energi bersih ini kepada anggota kelompok dan desa-desa tetangga. Rovina mendatangi kepala-kepala desa tetangga menawarkan lampu tenaga surya. “Awalnya butuh waktu, seminggu dua minggu baru mereka mau beli.”

 

Belum terjangkau listrik

Tak semua perempuan di berbagai lokasi terpencil di Indonesia seberuntung Rovina dan Seni. Data elektrifikasi Indonesia yang mencapai 91%, masih menyisakan sepersepuluh dari 250 juta penduduk Indonesia belum menikmati akses listrik.

Lebih rinci, perbedaan Indonesia bagian barat dan timur: di Indonesia bagian barat hampir semua daerah rasio elektrifikasi lebih 90%, di timur tak sampai 80%. Papua, misal, baru 45%, Kalimatan Tengah 69%, NTT 58%, Sulawesi 68% dan NTB 72%.

Tahun 2009,  pemerintah mengkonversi minak tanah ke gas karena lebih bersih dan tak menimbulkan asap. Langkah ini cukup berhasil meski masih sekitar 25% penduduk pakai kayu bakar. Dengan kata lain masih sekitar 20 juta rumah tangga menggunakan bahan bakar kayu dan lain termasuk minyak tanah.

“Porsi penggunaan listrik paling besar ada di dapur,” kata Hening Marlystia Citraningrum, Manajer Program Transisi Energi Berkelanjutan Institute for Essencial Service Reform (IESR).

Memasak dengan kayu bakar, katanya,  menimbulkan gangguan penapasan, pneumonia, kanker dan kematian dini pada ibu dan anak.

Mengapa perempuan penting akses terhadap energi? Studi Bank Dunia pada 2003 tentang perbedaan tugas antara perempuan dan laki-laki menunjukkan pengguna utama energi rumah tangga adalah perempuan. “Untuk penerangan dan memasak,” kata Citra.

Tersedianya energi bersih bagi perempuan berdampak pada penghematan biaya rumah tangga, efisiensi waktu–tak perlu mengambil air dan mencari kayu bakar lagi—serta meningkatkan keamanan, kesehatan dan produktivitas perempuan.

“Untuk itu pelibatan perempuan dalam pemenuhan peningkatan energi harus terus ditingkatkan.”

Argumen akses energi bersih dapat memberdayakan perempuan dibenarkan Maritje Hutapea dari Ditjen Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), ESDM. Energi bersih, katanya,  dapat mengubah peradaban dan pola pikir manusia.

Untuk menembus desa terpencil di Indonesia yang belum memiliki akses listrik, kata Maritje, memang sulit. Menurut UUD dan UU Energi,  semua warga punya hak sama mengakses energi modern. “Pemerintah harus hadir.”

Sayangnya, anggaran pemerintah terbatas membuat KESDM mencoba menarik swasta ikut andil. “Kami coba developing donor internasional,” katanya.

Sejauh ini, pemerintah telah mencanangkan Program Indonesia Terang (PIT) dan membagikan lampu tenaga surya hemat energi kepada desa-desa yang belum berlistrik. Pemerintah juga membangun pembangkit listrik tenaga surya komunal dan SHS dan mengembangkan potensi masing-masing desa untuk EBT. “Ini program pra elektrifikasi.”

Donor internasional, seperti United Nation Developing Programme (UNDP) dan Millenium Challenge Account (MCA) selalu memberikan syarat dan target yang melibatkan perempuan.

“Lokasi dan target jadi prioritas dalam program. Bukan hanya jumlah rumah yang akan diakses juga rumah yang kepala keluarga perempuan,” kata Verania Andria dari MCA Indonesia. Lembaga donor ini membuat program listrik EBT berbasis komunitas pada tujuh kabupaten dengan investasi US$54 juta.

Dari program ini,  ditargetkan hingga 12.000 rumahtangga mendapatkan akses litrik dengan jaringan dari pembangkit EBT.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,