Merawat Hulu Ciliwung, Menjaga Wibawa Hilir Ibukota

Pengantar Redaksi. Pada hari Sabtu, 20 Mei 2017 kegiatan rutin tahunan warga Kota Bogor Mulung Sampah Ciliwung ke-9 akan kembali digelar kerjasama Pemda Kota Bogor, elemen berbagai komunitas masyarakat dan warga. Tulisan ini menjelaskan pentingnya keberadaan sungai dalam sebuah lansekap kota.

Berpeluh, siang itu Suparno Jumar tampak memandangi 30 karung berisi sampah yang berhasil dikumpulkannya bersama sebelas relawan dari Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor Timur dan staf BPSDA Katulampa. Tumpukan karung itu, selanjutnya diserahkan para relawan kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Para relawan ini bekerja tanpa insentif maupun sponsor. Murni tergerak, karena ingin melihat Ciliwung yang bersih dari sampah.

Mulung sampah, begitu para relawan menyebutnya, secara rutin mereka lakukan setiap akhir pekan sejak tahun 2009. Kadang-kadang mereka harus berjibaku dengan berbagai jenis sampah. Dari plastik, ranting, bungkus makanan, styrofoam, kasur hingga berbagai sisa perabot rumah tangga pun pernah mereka jumpai.

“Tidak seluruh sampah yang ada di Katulampa bisa kami angkat. Paling tidak, aksi ini mengurangi sampah yang terbawa ke hilir,” terang Parno (06/05). Bendung Katulampa terletak ke arah Ciliwung hulu amat terkenal bagi warga Jakarta dan Bogor, khususnya di musim penghujan, karena menjadi indikator tingkat ketinggian air Ciliwung.

Mengangkut sampah dititik bendung Katulampa pun bukan perkara mudah. Sempadannya berbentuk turap sehingga sulit dijangkau. Beruntung relawan yang turun telah terbiasa dan memiliki kemampuan panjat tali dan tebing.

Bicara tentang Ciliwung, memang tidak dapat dipisahkan dari persoalan sampah dan banjir kiriman. Sungai membentang sepanjang 120 kilometer ini lalu menjadi satu dari 15 Daerah Aliran Sungai (DAS)  prioritas untuk dipulihkan. Programnya menyasar perbaikan di hulu lewat penanaman lahan kritis. Selain itu dukungan teknik seperti pembuatan bendungan, bangunan konservasi air, normalisasi sungai, sodetan, dan lainnya.

 

Warga dengan sampah yang ada di Sungai Ciliwung. Foto: KPC

 

Catatan Sejarah Ciliwung

Sejarah tentang Ciliwung telah tercatat lama berselang. Sejarawan Bogor Saleh Danasasmita (1933-1986) meriwayatkan bagaimana Ciliwung menjadi satu dari empat benteng alam Kerajaan Pajajaran (1482-1567) saat kerajaan itu masih berdiri. Kesultanan Banten yang berseteru dengan Pajajaran pun memerlukan waktu 40 tahun lebih untuk bisa menaklukan ibukota Pakuan (sekarang Bogor) karena adanya bentang alam yang menjadi pertahanan ibukota, dua sungai besar Ciliwung dan Cisadane ditambah Gunung Salak dan Pangrango.

Setelah era kerajaan, Tanuwijaya, seorang Sunda asal Sumedang dan para pembantunya, atas perintah Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (1684-1691), adalah orang-orang pertama yang mendirikan permukiman “Kampung Baru” di sisi utara Ciliwung, pada awal abad-18. Di Kampung ini berbagai etnis berkumpul, termasuk keturunan prajurit Mataram Sultan Agung yang menyerang Batavia pada tahun 1628.

Sebelumnya, Tanuwijaya bersama Scipio (1687), seorang Portugis  melakukan ekspedisi untuk melacak sisa-sisa kerajaan Pakuan di hulu Sungai Ciliwung. Konon Tanuwijaya tidak berani mengusik sisa-sisa Keraton Pakuan, yang merupakan tinggalan Kerajaan Pajajaran. Ekspedisi ke Pakuan sendiri dilanjutkan Adolf Winkler pada tahun 1690.

Adapun, urusan pengelolaan Ciliwung sejatinya sudah ada sejak era Kolonial Belanda berkuasa di Jawa. Bagi Belanda, merawat hulu Ciliwung sama dengan menjaga wibawa ibukota, Batavia yang sekarang adalah Jakarta.

Contohnya Bendung Katulampa, yang merupakan upaya pembesar Hindia Belanda untuk melindungi Batavia dari serangan banjir besar Ciliwung. Bendungan karya insinyur Van Breen sepanjang total 74 m, dengan 5 pintu pembagi aliran dan 3 pintu penahan arus itu diresmikan langsung Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg pada 11 Oktober 1912.

“Adalah sangat perlu bendungan permanen ini direalisasikan, kini Weltevreden (Menteng) bisa secara teratur memperoleh pengairan dan peluang banjir besar di Batavia nyaris tertutup,” demikian sambutan sang Gubernur Jenderal sebagaimana dimuat koran Bataviaasch Nieuwsblad, 12 Oktober 1912.

Jadi, Katoempa-dam atau Bendung Katulampa merupakan bagian dari sistem tata kelola perairan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk pengendalian banjir Ibukota. Adapun fungsi irigasi dipenuhi dengan mengaliri sebagian aliran Ciliwung ke Oosterslokkan atau Kali Baru.

Peran penting sejak 1912 itu pun rasa-rasanya masih berlaku hingga saat ini. Nyaris setiap hujan melanda kawasan Bogor dan Puncak, Bendung Katulampa selalu ditunggu kabar terbarunya, utamanya status debit Normal atau Siaga.

 

Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Kebun Raya Bogor, untuk menyampaikan pentingnya Ciliwung bersih dari sampah. Foto: KPC

 

Pada 20 Januari 2014, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Joko Widodo pun membahas penanganan banjir Ibukota di Katulampa. Saat itu pertemuan terjadi antara Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Kabupaten Bogor, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Meski belum selesai, Bendung Ciawi saat ini tengah direncanakan dibangun pemerintah di sekitar kawasan Gadog untuk mengatur debit air Ciliwung, dalam rangka mengatasi banjir DKI Jakarta.

Kompleksnya persoalan Ciliwung saat ini, memang tidak terlepas dari beragam okupasi sempadan sungai untuk dijadikan hunian. Perubahan bentang alam menjadi pemukimanlah yang menyebabkan derasnya aliran permukaan (run off), persoalan yang akhirnya turut menciptakan banjir di hilir.

 

Aliran Ciliwung. Presentasi: Djati Witjaksono Hadi

 

Ihwal rusaknya ekosistem Ciliwung pun berasal dari hilangnya ekosistem riparian sungai. Menurut penelitian M. Muslich (2014), hanya di wilayah sepanjang Bojong Gede hingga Depok yang masih utuh wilayah ripariannya dalam wujud kebun-kebun bambu.

Padahal pembatas alami vegetasi amat penting sebagai filter dalam menjaga kualitas air. Hilangnya pembatas alami telah menyebabkan berbagai polutan dengan mudah masuk dalam badan sungai.

Beragam kebijakan sebenarnya telah dibuat sebagai perangkat perlindungan sungai. Kota Bogor memiliki Perda Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayan (RTRW). Perlindungan kawasan sungai juga terakomodir lewat Perda Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Pasal 30 sampai 34 mengatur pemanfaatan sumber daya air terkait air permukaan dan ketentuan Garis Sempadan Sungai.

Persoalan Ciliwung lalu juga tidak terpisah dari cara berpikir masyarakatnya. Pembangunan permukiman berorientasi pada jalan dan membelakangi sungai. Sungai dianggap sebagai muka belakang tempat membuang berbagai macam kotoran. Sungai pun tidak lagi dianggap sebagai sumber air bersih yang memberikan suplai air minum setiap harinya.

Akibatnya, saat ini sangat sulit menemukan bagian Ciliwung dimana masyarakat masih berinteraksi dengan intim. Anak-anak tidak dapat lagi bermain dan berenang. Ciliwung pun telah berubah wujud menjadi selokan sampah raksasa.

Permasalahan ini sejatinya tidak untuk diratapi terus menerus. Asa tersebut patut dijemput dengan mengembalikan sungai sebagai ruang publik yang dapat diakses dengan aman dan nyaman, sehingga masyarakat dapat menikmati, mempelajari, mengapresiasi, dan menghargai sungai dengan semestinya. Ciliwung adalah etalase dan sejarah bagaimana sungai dan daerah lairan sungai dapat dikelola.

Merujuk Dodi Susanto, Kepala Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Citarum-CIliwung, Ciliwung adalah role model pengelolaan sungai di Indonesia. Permasalahannya lengkap, mulai dari aspek tata guna lahan, sumberdaya air, kelembagaan, ekologi dan lingkungan, dan sosial ekonomi.

Mari kita kembalikan, romantisme Ciliwung Bogor yang diceritakan dibanyak riwayat sebagai sungai dengan bentang alam yang indah, kualitas air yang baik dan bebas sampah.

 

* Anggit Saranta, relawan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor. Hobi bersepeda. Tinggal di Bogor.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,