Ketika Bangun Rel Kereta Api Batubara Katingan-Gunung Mas Mulai Tanpa Izin

Pembangunan rel kereta api khusus pengangkut batubara Gunung Mas-Katingan, Kalimantan Tengah, oleh PT Sinar Usaha Sejati (SUS) sudah jalan padahal berbagai perizinan termasuk analisis mengenai dapak lingkungan diduga belum ada. Banyak kalangan menilai, pembangunan rel kereta ini ilegal.

Pengamatan Mongabay di lapangan pekan lalu di Desa Tewang Karangan Kecamatan Pulau Malan, Katingan, rel kereta api sudah terpasang sekitar dua kilometer.

Tampak tumpukan material dan sudah pembukaan lahan. Beberapa orang tampak bekerja. Eskavator, truk dan alat berat lain juga terlihat. Pondasi untuk pelabuhan batubara sudah terbangun, persis di samping Sungai Katingan di desa itu.

Rambang, Kepala Desa Tewang Karangan saat ditemui Mongabay Minggu (14/5/2017) mengatakan, sudah pernah menegur SUS terkait pembangunan rel kereta api tetapi pembangunan terus berjalan.

“Setahu saya izin dari pusat. Sempat ada teguran, karena mereka tak pernah menyampaikan izin. Mereka jawab izin dalam proses. Perundingan dengan kementerian dan Presiden. Ini menurut mereka proyek kerjasama antara pemerintah pusat dan Rusia,” katanya. PT SUS mulai mengerjakan pemasangan rel kereta api sejak 2016. Beberapa tuntutan warga kepada SUS sudah disampaikan, namun hingga hari belum ada realisasi.

“Kita sampai hari ini masih menunggu. Kita menuntut salah satu akan membantu masyarakat. Belum terealisasi,” katanya.

Dia bilang, seharusnya sebelum memulai, sudah menandatangani surat perjanjian dengan masyarakat seperti pengadaan air bersih, pembangunan rumah ibadah.

“Memang desa kita ini korban perusahaan. Dulu, waktu saya masih kecil, sudah banyak perusahaan masuk tapi tak ada yang positif. Harusnya dengan datang perusahaan bisa memberikan kesejahteraan. Masyarakat akan terganggu dengan proyek ini,” katanya.

Dia pernah mengatakan kepada PT SUS agar tak ada pembukaan lahan dulu jika perizinan belum lengkap. Hal ini tak diindahkan perusahaan.

“Menurut mereka, ada 30 hektar akan jadi pelabuhan. Panjang rel masuk Kecamatan Pulau Malan ada 15 kilometer.  Selama proses pembangunan ini belum terasa dampak lingkungan, ke depan, pasti sangat terasa.”

 

Sungai terancam, pembebasan lahan belum selesai

Menurut dia, sungai jadi pelabuhan itu sebenarnya tempat memancing ikan patin. Daerah sini terkenal dengan ikan patin. Jika ada pelabuhan batubara, otomatis sungai tercemar. “Di sepanjang sungai itu ada ratusan jukung milik warga,” katanya.

Selain itu, ucap Rambang, Sungai Katingan dimanfaatkan warga sekitar saat kemarau. Biasanya, saat kemarau sumur warga kerap kekeringan.

“Untuk jangka panjang pasti akan ada hal-hal negatif. Harusnya tak boleh membuat pelabuhan batubara di pinggir sungai.  Saya sendiri menolak pembangunan ini. Ketika proses pembangunan selesai, angkutan batubara lancar, kita dapat apa? Kerja apa? Coba kalau gak ada rel kereta api, kita bisa kerja. Tapi karena ini rekomendasi pusat, kita bisa apa? Tak ada peluang buat kita,” katanya.

Tak hanya itu. Proses pembebasan lahan juga belum selesai. Rambang bilang, baru selesai sekitar 40%. Perusahaan juga pembebasan lahan tanpa koordinasi dengan pemerintah desa.

“Saya tak setuju dengan pembebasan lahan mereka. Banyak lahan justru bermasalah. Mereka tetap saja melakukan. Akan ada potensi konflik, dengan begitu SUS mengadu domba pemilik lahan,” katanya.

Seharusnya, perusahaan membebaskan lahan dengan persetujuan pemerintah desa,  setelah lahan tak ada masalah. “Pemerintah desa punya data. Ini untuk menghindari konflik.”

Ketidaktahuan soal proyek rel kereta juga dikatakan Bupati Gunung Mas, Arton S Dohong.  Saat diwawancarai Senin (15/5/17), Arton mengaku tak tahu menahu soal pembangunan rel kereta api pengangkut batubara perusahaan ini.

“Melapor saja nggak. Padahal kan mayoritas wilayah pembangunan rel itu di Gunung Mas. Kita tak pernah merasa mendapatkan laporan. Sejauh mana perizinan juga kita gak tahu. Jadi kalau ditanya, masa’ iya, Pemerintah Gunung Mas gak tahu? Iya memang gak tahu,” katanya.

Padahal, dalam menjalankan proyek PT SUS seharusnya memberitahukan kepada Pemkab Gunung Mas. “Karena kita hormat dan patuh pada hukum. UU adalah panglima. Hargai dan taati aturan di Indonesia,” ucap Arton.

Hingga kini, dia belum mengeluarkan teguran kepada PT SUS baik lisan maupun tertulis. Dia sendiri memang tak tahu menahu perihal proyek itu.

“Kita menegur dari mana? Kita gak tahu. Kalau kita tahu, kita bisa tegur. Gak ada. SUS beroperasi akhir tahun 2016, yang kita urus itu hanya izin mengangkut batubara dari tempat tambang ke Kuala Kurun. Kalau itu saya mengakui memang restu dari Pemkab Gunung Mas. Kalau yang ke Katingan kita tak tahu.”

Sebenarnya, izin usaha pertambangan PT SUS, jelasnya masih tahap eksplorasi. Perusahaan belum mengantongi izin eksploitasi batubara, apalagi pembangunan rel kereta api.

“Sepanjang izin dikeluarkan pemerintah provinsi atau pusat, mengapa tak memberikan tembusan ke kita? Pemkab pemilik wilayah. Sepanjang gak dikasih tahu, ya kita gak akan melakukan apa-apa.”

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar dalam kunjungan ke Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng Selasa (16/5/17) mengatakan, akan melakukan pengecekan lapangan soal proyek ini.

Pertama, yang akan dicek apakah itu termasuk proyek strategis nasional? Kedua, kalau betul itu membelah hutan, kita harus cek  juga statusnya hutan apa. Juga soal perizinan dan lain-lain. Saya turunkan tim secepatnya.”

Dari Dinas Kehutanan Kalteng, Abraham  O.B. Aronggear, Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan mengkonfirmasi kalau pembangunan rel kereta api belum ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“SUS sedang proses pengajuan perizinan pinjam pakai kawasan. Sebenarnya sebelum izin keluar dari pemerintah pusat, tak boleh kegiatan di lapangan. Sekarang kan mereka sudah melakukan kegiatan pembukaan lahan,” katanya.

Dia mengakui pengawasan masih kurang terkait ada peraturan menarik kewenangan kehutanan dari kabupaten, ke provinsi. Sedang Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), katanya, belum efektif. “Jadi pengawasan kita agak terhambat.”

Arin Dius Nanyan, Koordinator Pengawas Proyek PT Lahang Bumi Persada (LBP), kontraktor yang ditunjuk PT SUS menjalankan proyek mengakui memang perizinan hingga kini masih proses. Dia bilang, rel kereta api batubara ini proyek strategis nasional.

“Perizinan masih diurus. Gak mungkin mereka suruh kerja kalau belum ada rencana. Soalnya ini program pemerintah. Hasil Presiden Jokowi waktu itu ke Rusia. Kalau gak salah ada lima perusahaan investor yang didapat. Termasuk yang ini,” katanya.

Berbeda dengan tanggapan dari Kementerian Perhubungan. Joice Hutajulu, Kepala Humas Ditjen Kereta Api Kementerian Perhubungan mengatakan, rencana jaringan jalur kereta api nasional berbeda dengan jalur yang sedang dibangun PT SUS ini. “Semua perizinan di pemprov karena merupakan perkeretaapian provinsi,” katanya.

 

Material menumpuk untuk membangun rel kereta api di Katingan. Foto: Indra Nugraha

 

Banyak kendala

Soal pembukaan lahan, kata Arin, sekitar lima bulan lalu. Panjang rel sudah dibangun baru dua kilometer dan lahan terbuka sekitar 10 hektar.

“Rencana rute dari sini sampai Gunung Mas. Luas lahan keseluruhan saya kurang tahu. Nanti pelabuhan di Sungai Katingan,” katanya.

Dia mengatakan, dalam proses pembangunan menemukan banyak kendala seperti cuaca, dan lahan–jalur yang akan dilintasi mayoritas gambut.

“Perusahaan maunya cepat. Mungkin satu tahun selesai. Masalahnya kita tergantung alam, kalau hujan, dump truck tak bisa bergerak. Tanah kan lembek seperti bubur. Kita nimbun gambut dengan kedalaman mencapai tiga meter. Nanti ketemu jalan lagi, ketemu lagi gambut. Jadi kita harus pakai eskavator,” katanya.

Kendala lain,  Sungai Katingan seringkali surut hingga menyulitkan. “Tongkang paling gak tujuh meter. Sungai kalau dua minggu saja surut, kedalaman paling satu meter. Susahnya lagi kalau hujan, pasir menimbulkan sedimentasi dan menutupi, sudah kita keruk. Jadi harus setiap saat kita keruk.”

Soal pembebasan lahan, katanya, hanya sebagian kecil belum selesai. Di Desa Tewang Karangan, total 31 hektar, hanya beberapa saja belum selesai ganti rugi.

Di Kecamatan Pulau Malan, ada beberapa desa yang pembebasan lahan belum selesai seperti Desa Geragu, Tumbang Tanjung, Tura, Tumbang Lahang, tewang Panjang dan Petak Putih. “Ada juga lahan punya perkebunan sawit belum dibuka lahan. Itu nanti urusan bos dengan bos, nanti memang dilewati rel ini,” katanya.

 

Dampak sosial dan lingkungan

Menanggapi masalah ini, Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng menyebut, proyek ini ilegal. Proses perizinan, amdal dan lain-lain tak jelas.

Dia meminta pemerintah segera menghentikan proyek ini jika berlanjut bakal berdampak negatif bagi lingkungan dan sosial masyarakat sekitar.

“Data kami 2016, SUS Ini izin IUP baru eksplorasi. Amdal tak ada. Kalau yang benar-benar itu masih amdal Katingan. BLH Katingan itu belum bisa mengeluarkan Amdal karena belum punya lisensi. Karena ada beberapa persyaratan menurut KLHK amdal harus dikeluarkan instansi yang memiliki lisensi,” kata Rio, sapaan akrabnya.

Lagipula, proyek lintas kabupaten itu pakai amdal khusus. Panjang rel kereta api batubara 90 kilometer, melintasi Gunung Mas hingga Katingan. Jikapun ada amdal, seharusnya setidaknya dikeluarkan BLH Kalteng.

“Harus punya Amdal khusus karena berimplikasi luas ke lingkungan dan sosial. Harus ada izin trayek khusus juga. Harus bikin trayek yang dikeluarkan Kemenhub. Belum punya.”

Proyek  ini, katanya, seakan tiba-tiba muncul. Tak ada proses konsultasi publik terlebih dahulu. Jikapun dianggap proyek strategis nasional, kata Rio, dalam list terakhir Bappenas, tak ada proyek ini.

Kala merujuk pada dokumen, jelasnya proyek strategis nasional di Kalteng ada lima, yakni pembangunan terminal baru Bandara Tjilik Riwut, jalan akses Pelabuhan Teluk Sigintung-Seruyan, food estate, rel kereta api Puruk Cahu ke Pelabuhan Batanjung, dan peningkatan struktur jalan akses menuju Pelabuhan Bahaur-Pulang Pisau.

“Mereka mengaku ini proyek strategis nasional, tapi pemda kok tak tahu apa-apa? Kalau proyek strategis nasional kan ada daftar dari Bappenas.”

Sikap Walhi, menolak keras pembangunan proyek rel kereta api karena. Sebab, jelas ada indikasi serius terkait sosial dan lingkungan di Kalteng. Menurutnya, pemerataan pemanfaatan sumber daya alam di Kalteng akan makin jauh karena batubara terangkut ke luar.  Sedang kalau berbicara soal energi, Kalteng belum terpenuhi.

Pembangunan rel kereta api itu juga akan menciptakan deforestasi luas. Hutan di hulu Kahayan seharusnya dipertahankan. Kalau lanjut, katanya, bisa bikin bencana ekologis makin luas. Belum lagi ancaman pencemaran kala bangun pelabuhan batubara di Sungai Katingan.

Walhi, katanya, sedang mempelajari kasus ini. Langkah paling tepat mungkin diambil dengan menggugat pemerintah. “Instansi berwenang tak dilibatkan.”

Sebelumnya, menurutnya Walhi fokus advokasi rel kereta api batubara Puruk Cahu-Batanjung oleh konsorsium China Railways. “Karena sedang legalisasi dokumen-dokumennya. Rencana sudah mau ground breaking, tapi tak jadi. Tiba-tiba ada proyek ini,” katanya.

Khalisah Khalid, dari Walhi Nasional, heran kalau pembangunan rel kereta api batubara bisa jalan tanpa perizinan lengkap. Seharusnya, kalau melanggar aturan berarti proyek itu ilegal dan bisa masuk kategori tindak pidana lingkungan atau kejahatan lingkungan.

“Pemerintah pusat bisa memaksa gubernur dan perusahaan menghentikan proyek yang melanggar perundang-undangan dan peraturan ini,” ujarnya. Pemerintah pusat, katanya, bukan hanya KLHK, juga Kementerian Dalam negeri harus mengambil tindakan tegas.

Tak hanya itu. Presiden juga patut mengingatkan pemerintah daerah. Bahkan, KPK bisa turun tangan jika ada indikasi korupsi disana.

Intinya, ucap Alin, biasa disapa, kepala daerah tak bisa seenaknya atas nama otonomi daerah, dengan UU Pemerintahan Daerah yang menarik perizinan ke provinsi, lalu buat berbagai kebijakan pembangunan melanggar hukum dan perundang-undangan.

Nordin, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) mengatakan, jika Bupati Gunung Mas pun tak tahu, berarti tak pernah memberikan izin apa-apa. Kalau demikian, operasional SUS itu ilegal.

“Kalau demikian, kita tak perlu lagi berdebat soal administrasi. Tinggal penegakan hukum. Bukan lagi penghentian proyek. Mereka sudah praktek ilegal dan perbuatan melawan hukum. Langsung saja ambil tindakan. Bukan berarti diampuni ketika izin sudah beres. Izin belum ada sudah praktik,” katanya.

Kalau penegakan hukum tak jalan, akan menjadi preseden buruk. Jadi, katanya, pemerintah harus mengambil sikap tegas.

“Menurut saya, mereka hanya mengait-ngaitkan itu proyek strategis nasional. Kalaupun proyek strategis, malah jadi  masalah baru. Bukan berarti kalau proyek strategis nasional, boleh menerabas hukum. Harus patuh dengan segala aturan.”

Soal dampak lingkungan, tak hanya deforestasi. Pembangunan rel kereta akan membelah dua kabupaten hingga bisa mengakibatkan fragmentasi ekosistem hutan. Ia berpotensi mengancam satwa, seperti orangutan, dan mungkin menabrak wilayah-wilayah sumber ekonomi masyarakat lokal, bahkan memasuki kawasan-kawasan startegis dan kramat warga.

Belum lagi, pembangunan pelabuhan di Sungai Katingan, bakal mengganggu transportasi air masyarakat sekitar baik pengangkutan barang maupun orang.

Simpun Sampurna, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng menyebut, pembangunan rel kereta api SUS juga mengancam masyarakat adat di wilayah itu. Ada banyak wilayah adat terlewati rel kereta api.

“Salah satu masyarakat adat Tehang. Mereka gak bisa melawan, terpaksa ganti rugi. Proses ganti rugi sedang berjalan.”

Menurut Dadut, sapaan pria ini, masyarakat Tehang, tak ada pilihan selain melepaskan lahan dan menerima ganti rugi. Sebab, imbas aturan pelarangan membuka lahan dengan membakar sangat menyulitkan mereka.

Namun, Dadut  belum sempat menghitung berapa hektar lahan terimbas pembangunan rel kereta api SUS ini. Masyarakat pun terpecah, sebagian menerima, sebagian menolak.

 

Rel kereta api batubara sepanjang dua kilometer sudah terbangun di Katingan. Foto: Indra Nugraha

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,