Kelangkaan Garam Bukti Kinerja Pemerintah Buruk dalam Tata Niaga Garam?

Kelangkaan garam konsumsi yang berlangsung saat ini di berbagai daerah di Indonesia, menjadi sinyalemen ketidakberesan dalam kabinet kerja yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo. Penilaian itu muncul, karena untuk melaksanakan tata niaga garam, Pemerintah dibantu lembaga seperti kementerian dan badan usaha milik negara (BUMN).

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengungkapkan, alat bantu yang digunakan Pemerintah dalam melaksanakan tata niaga garam, adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

“Selain itu, ada juga BUMN seperti PT Garam yang fokus di bidang pergaraman untuk mengatasi kelangkaan garam konsumsi dan industri di pasaran,” ucap dia akhir pekan lalu.

(baca : Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?)

 

 

Menurut Halim, lembaga dan instansi yang disebut di atas, oleh Presiden RI diperintahkan untuk bekerja semaksimal mungkin mengatasi kelangkaan garam konsumsi yang saat ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Akan tetapi, Halim mengatakan, walau Presiden memerintahkan untuk mengatasi kelangkaan garam konsumsi, persoalan sesungguhnya dalam kasus tersebut adalah karena selama ini Pemerintah Indonesia tidak berhasil melaksanakan tata niaga garam dengan baik. Bahkan, bisa dibilang, kinerja Pemerintah sangat buruk dalam tata niaga tersebut.

“Buruknya kinerja pemerintah di bidang pergaraman, di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, serta PT Garam. Lembaga dan instansi tersebut merupakan pangkal persoalan kelangkaan garam di tahun 2017,” ucap dia.

(baca : Negara Kembali Lalai dalam Tata Kelola Garam?)

Halim menerangkan, bukti buruknya tata niaga garam oleh Pemerintah, pada 2017 produksi garam mencapai 118,056 ton atau setara 3,7 persen dari target 3,2 juta ton yang ditetapkan Pemerintah pada 2016. Kondisi tersebut, kata dia, harus segera dihentikan dengan cara memperbaiki kinerja dan mengedepankan semangat gotong royong di masyarakat.

“Ada tiga juta petambak garam di Indonesia yang menunggu kesejahteraannya meningkat. Kinerja buruk tahun ini jangan terulang lagi,” tutur dia.

Lebih jauh Halim menjelaskan, sepanjang 2017, Pemerintah lebih banyak memilih membuka impor garam dibandingkan dengan melakukan penyerapan garam rakyat yang diproduksi petambak garam tradisional. Dia menyebut, kebijakan impor tersebut banyak dilakukan sepanjang 2010 hingga 2016 atau dalam kurun waktu tujuh tahun.

“Imbasnya, 80 persen kebutuhan dalam negeri didatangkan dari sejumlah negara, seperti Australia, India, Jerman, Denmark, Singapura, dan sebagainya,” ujar dia.

(baca : Kenapa Kebijakan Impor Garam Harus Ditinjau Kembali?)

 

 

Menurut Halim, pembukaan keran impor yang sudah dibuka oleh Pemerintah harus dihentikan segera. Hal itu, jika Pemerintah ingin mencapai target produksi garam nasional sebanyak 3,2 juta ton pada 2017 dan meningkatkan kesejahteraan petambak garam dengan dukungan dana dari anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) sebesar Rp9,2 triliun.

Oleh itu, Halim mendesak kepada Pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah berikut:

(1) Melakukan harmonisasi kebijakan pergaraman yang berdampak terhadap menurunnya produktivitas dan daya saing petambak garam dalam negeri. Di antaranya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam;

(2) Melakukan pendampingan teknis dan non-teknis (permodalan, pelatihan berbasis teknologi peningkatan kualitas garam, dll) kepada petambak garam;

(3) Mengembalikan fungsi dan peran PT Garam sebagai badan usaha milik negara bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan usaha industri garam beserta angkutannya. Melakukan pembinaan usaha garam rakyat, pengendalian stok, dan stabilisasi harga garam secara nasional. Hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Garam menjadi Perusahaan Perseroan (Persero); dan

(4) Memastikan harmonisasi kebijakan pergaraman, pendampingan petambak garam, dan revitalisasi PT Garam menjadi prioritas kinerja pemerintah melalui pengesahan Nota Keuangan RAPBN 2017 yang akan dibahas oleh Pemerintah dan DPR RI pada Agustus 2017 mendatang.

(baca : Garam Nasional Gagal Produksi Sepanjang 2016, Kenapa Bisa Terjadi?)

 

Farihin merebus garam terakhirnya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Farihin merupakan satu dari 5 rumah tangga pemasak garam yang tersisa di kampung tersebut. Foto : Anton Muhajir/Mongabay

 

Impor Bukan Solusi

Kritikan atas kelangkaan garam di Nusantara juga dilayangkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Kelangkaan yang kemudian dijawab Pemerintah RI dengan rencana impor garam sebanyak 226.12 ton pada waktu dekat ini, bagi KIARA bukanlah langkah yang tepat.

Justru, menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan H Romica, kebijakan tersebut dinilai hanya akan menyelesaikan persoalan di permukaan saja dan tidak di dasar. Padahal, tugas untuk mengatasi kelangkaan garam di Nusantara, itu adalah wewenang dari Pemerintah RI.

“Pemerintah berdalih, impor garam tahun 2017 dari sejumlah negara, di antaranya Australia dan India, penting dilakukan karena mempertimbangkan stok garam pada akhir 2016 hanya lima persen dari kebutuhan 2017. Sementara itu, panen garam lokal baru mulai pada Juli 2017,” ungkap dia.

Menurut Susan, untuk mengatasi persoalan dasar yang terus berlangsung dari tahun ke tahun, dibutuhkan keberanian dan tekad yang kuat dari Pemerintah untuk mengadopsi teknologi produksi dan pengolahan garam dengan biaya murah atau terjangkau. Namun, solusi tersebut hingga saat ini masih belum dilirik oleh Pemerintah.

“Kebijakan instan berupa impor seharusnya tidak perlu dilakukan, mengingat Indonesia saat ini memiliki tambak garam seluas 25.766 hektar yang tersebar di lebih dari 10 provinsi, 40 kabupaten/kota. Luas tambak garam itu seharusnya dijadikan modal penting oleh Pemerintah untuk dapat keluar dari ketergantungan impor serta mewujudkan cita-cita swasembada,” tandas dia.

Susan mengungkapkan, jika permasalahan dasar persoalan garam tidak cepat diselesaikan, maka yang akan dirugikan di masa mendatang adalah para petambak garam. Kata dia, mereka akan terus merasakan keterpurukan jika kemarau basah terus berkepanjangan.

“Akibatnya, tak sedikit petambak garam yang beralih profesi menjadi buruh-buruh kasar di berbagai kota di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, jumlah petambak garam di Indonesia menurun drastis dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa pada tahun 2016,” sebut dia.

(baca : Ketika Garam dan Bakau Bersatu, Siasat Pelestariannya di Pesisir Utara Lamongan)

 

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

 

Dengan fakta tersebut, Susan meminta Pemerintah untuk memberi perhatian khusus demi mendorong terwujudnya swasembada garam dan kemudian meningkatkan kesejahteraan petambak garam. Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada petambak garam dengan memberi kepastian usaha pergaraman.

 

Impor 75 Ribu Ton

Pada akhir pekan lalu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan memberi keterangan tentang keputusan Pemerintah untuk mengimpor garam konsumsi sebanyak 75 ribu ton dari Australia. Impor tersebut akan dilaksanakan oleh PT Garam dan sudah disepakati oleh berbagai pihak terkait.

Kepada media, Oke menjelaskan bahwa dibukanya kembali impor garam, diambil atas berbagai pertimbangan yang matang bersama kementerian dan lembaga. Salah satu pertimbangan itu, kata dia, karena saat ini Indonesia sedang memerlukan garam dan mendesak untuk disediakan melalui impor.

Untuk teknis pengiriman garam dari Australia, Oke menyebutkan, PT Garam akan mendatangkannya melalui tiga pelabuhan utama, yakni Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya, Jawa Timur), Pelabuhan Belawan (Medan, Sumatra Utara), dan Pelabuhan Ciwandan (Cilegon, Banten). Pengiriman, jelas dia, akan dilakukan pada 10 Agustus 2017 mendatang.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan, setelah impor dilaksanakan pada 10 Agustus mendatang, tim akan mengevaluasi kembali kebijakan tersebut. Kata dia, jika setelah itu kondisi pasar membaik, maka izin impor tidak akan diterbitkan lagi untuk periode berikutnya.

Sementara itu Direktur Utama PT Garam Boediono menguraikan, garam konsumsi yang akan diimpor, itu adalah garam yang mengandung kadar natrium klorida (NaCl) sebesar 97 persen. Garam impor ini, kata dia, nantinya akan diprioritaskan untuk Industri Kecil dan Menegah (IKM) yang konsumsinya dibawah 5 ton per minggu.

“Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, masing-masing ada 200 IKM, sementara di Jawa Timur ada 250 IKM,” tutur dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,