Konservasi Orangutan Masih Hadapi Kendala. Apa Saja?

 

 

Upaya konservasi orangutan yang dihadapi saat ini tidak hanya terkendala pada minimnya lokasi pelepasliaran. Tetapi juga, masih maraknya jual beli orangutan yang dilakukan pedagang liar secara online.

Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) atau Yayasan Borneo Orangutan Survival, berharap pemerintah membuat kebijakan terkait lokasi untuk pelepasliaran orangutan. Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir, konversi lahan untuk perkebunan sawit dan HPH telah mempersempit habitat orangutan. Dampak negatif yang terjadi adalah konflik orangutan dengan manusia tidak bisa dihindari.

“Pemerintah sebaiknya tidak memberi izin baru untuk lahan yang dijadikan perkebunan sawit. Jangan menambah lahan baru, tapi tingkatkan produktivitas dari lahan yang ada,” ujarnya di sela perayaan Hari Orangutan Internasional di Jakarta, beberapa waktu lalu.

 

Baca: Taymur Kembali ke Indonesia Setelah Dua Tahun di Kuwait

 

Sementara itu, untuk perlindungan orangutan, Jamartin menyerukan adanya ketegasan hukum bagi mereka yang secara nyata menjual primata dilindungi ini. Kontrol yang ketat terhadap penyelundupan orangutan harus ditingkatkan, terutama melalui jalur pelabuhan dan bandar udara. “Adanya sejumlah orangutan yang dipulangkan dari luar negeri ke Indonesia menunjukkan celah kosong yang dimanfaatkan pelaku kejahatan satwa liar untuk memuluskan aksinya,” tuturnya.

Taymur, misalnya, yang dipulangkan ke Indonesia pada 17 April 2017 setelah dua tahun di Kuwait, sejak 2015. Taymur merupakan bayi orangutan jantan usia dua tahun, korban perdagangan satwa liar ilegal jaringan internasional. Saat itu, petugas keamanan Kuwait menemukannya ketika dibawa berkendara pemiliknya, warga Kuwait.

Sebelumnya, BOSF juga terlibat dalam pemulangan Moza dan Puspa dari Kuwait serta beberapa individu orangutan dari Thailand pada 2015. Semua orangutan tersebut adalah korban penyelundupan dan perdagangan ilegal satwa liar.

 

Baca: Naik Status, Perlindungan Orangutan Kalimantan dan Habitatnya Harus Serius

 

Taymur, kata Jamartin, masih berada di Taman Safari Indonesia, menunggu pengangkutan ke Kalimantan karena ia merupakan subspesies orangutan yang berada di Kalimantan Tengah. “Awal September diusahakan, kami sedang mencari penerbangannya.”

Bagaimana dengan Moza dan Puspa? Mereka masih belajar mengenali lingkungan. “Mereka ini pembelajar cepat, temannya banyak, sudah mulai manjat pohon, bikin sarang. Perkembangannya bagus,” ujarnya lagi.

 

Taymur yang saat ini masih berada di instalasi karantina Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor. Foto: BOSF/Dicky Rivaldy

 

Jamartin mengatakan, saat ini masih ada empat orangutan di Thailand yang harus dipulangkan. Dia pun menyebutkan tren yang harus diperhatikan terkait perdagangan satwa liar ilegal ke Tiongkok dan Timur Tengah. “Sekarang, dua tempat ini menjadi pusat ekonomi. Ada kebanggaan memiliki satwa liar, termasuk orangutan yang memang eksotik,”ujarnya.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam sambutan tertulisanya saat perayaan Hari Orangutan Internasional, memberikan dukungan penuh terhadap upaya konservasi orangutan. “Hutan Indonesia dengan segala keragamanhayatinya merupakan harta yang tidak ternilai. Hutan berkualitas tentunya mendukung kehidupan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini, tak terkecuali kehidupan manusia.”

Upaya pelestarian hutan, tentu saja tidak bisa dilakukan sepihak. Kita semua, mulai pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, pelaku bisnis, hingga organisasi lingkungan dan kemasyarakatan, merupakan para pemangku kepentingan yang harus bersinergi. “Menjaga kelestarian hutan berarti menjaga kehidupan kita semua,” terangnya.

 

PHVA Orangutan 2016. Sumber: FORINA

 

Populasi orangutan

Hasil kajian PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) Orangutan 2016 memperkirakan, sekitar 71.980 individu orangutan hidup di Pulau Sumatera dan Borneo (Kalimantan, Sabah, dan Serawak) di habitat seluas 181.692 kilometer persegi. Populasi ini tersebar dalam 52 meta populasi yang hanya 38 persen saja diprediksi akan lestari (viable) untuk rentang waktu 100 – 500 tahun mendatang.

Sebagaimana dikutip dari laman FORINA (Forum Orangutan Indonesia), kajian PHVA orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) telah dilakukan pada 23-27 Mei 2016. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, FORINA, dan Forum Orangutan Regional beserta para pegiat konservasi orangutan melakukan analisis tersebut.

Berdasarkan PHVA 2016, populasi orangutan sumatera saat ini diperkirakan sekitar 14.630 individu di bentang habitat seluas 2.155.692 hektare. Orangutan ini dapat ditemukan hingga ketinggian 1.500 meter diatas permukaan laut yang tersebar di 10 meta populasi. Berdasarkan prediksi, hanya dua lokasi populasi yang akan lestari dalam waktu 100 – 500 tahun mendatang, yaitu Jantho Aceh Tenggara dan Bukit Tigapuluh, Jambi.

 

Peta persebaran orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan borneo (Pongo pygmaeus). Sumber: FORINA

 

Sementara orangutan borneo, jumlahnya diperkirakan sekitar 57.350 individu di habitat seluas 16.013.600 hektare yang tersebar di 42 meta populasi. Berdasarkan prediksi, 18 lokasi akan lestari dalam jangka waktu 100 – 500 tahun kedepan. Kondisi ini sekaligus sebagai informasi terbaru akan kehidupan orangutan 10 tahun lalu. Saat itu, jumlahnya disebut sekitar 54.817 individu pada habitat seluas 8.195.000 hektare, yang dilakukan dia area kajian terbatas.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, angka minimum populasi orangutan borneo yang akan bertahan di suatu habitat adalah 200 individu. Terkait kemungkinan kepunahan, diperkirakan kurang dari 1% dalam 100 tahun, dan kurang dari 10% dalam waktu 500 tahun, serta 500 individu orangutan berfungsi untuk menjaga kualitas dan variasi genetika. Jika kondisi ini yang dijadikan rujukan, banyak meta populasi orangutan kalimantan yang terfragmentasi, memerlukan keterhubungan melalui koridor dengan meta populasi lainnya.

Secara umum, ancaman kelestarian orangutan dan habitatnya hadir dari konversi hutan yang dijadikan peruntukan lain, tingginya aktivitas penyelamatan (rescue), dan konfiskasi. PHVA Orangutan 2016 ini akan digunakan sebagai acuan utama pembuatan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan (SRAK) 2017-2027.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,