Menyandingkan Kopi dan Hutan di Bondowoso

 

Pernah mendengar kopi hutan? Komoditas perkebunan yang makin trendi ini menyandingkan pohon-pohon hutan dengan tanaman kopi.

Gunung Ijen dan Raung tak lagi jadi satu-satunya tujuan jika menikmati perjalanan menuju ke sana. Kebun-kebun kopi di kaki sampai jelang kawah Ijen yang menjadi tambang belerang memberi kisah tentang kopi hutan.

Jalur menuju Gunung Ijen kini makin lebat. Pepohonan besar di lahan BUMN Perhutani berpadu dengan aroma kopi. Perkebunan kopi arabika di wilayah Bondowoso, Jawa Timur ini bekerjasama dengan Perhutani. Jadilah sistem agroforestry, perpaduan tanaman kebun dan hutan.

Puluhan tukang sedang memperbaiki jalan raya, pada 25 Agustus lalu. Jalan raya menuju kawah Ijen ini akan lebih mulus beberapa bulan ke depan. Di kanan kiri, nampak kerapatan pohon besar puluhan meter menjulang dan pohon kopi sebatas 1-2 meter di bawahnya.

Pada Agustus, pohon kopi sudah tak ada buahnya, musim panen sudah lewat April-Juli lalu. Tinggal debu menempel di dedaunannya dan bakal bunga kopi yang mulai mengintip.

Menikmati aroma kopi dan puncak Ijen dari lerengnya sangat mudah dari kawasan Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber Wringin. Tinggal masuk ke sebuah kebun, menyibak kerapatan tanaman kopi. Sebuah pondokan kayu milik kelompok Tani Maju menjadi salah satu spot untuk menikmatinya.

 

Sebuah pondok wisata tempat rehat dan menikmati suasana kopi hutan di Bondowoso, Jatim. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di pondok kayu ada spanduk dengan wajah ketua kelompoknya, Mat Husen. Juga informasi soal sertifikat Indikasi Geografis (IG) yang didapatkan kopi Bondowoso dengan nama Kopi Arabika Java Ijen Raung pada 2013.

Pepohonan hutan yang melebatkan lereng Ijen ini bermacam jenisnya. Misalnya Selasean yang harum, Gelintongan, Beringin, dan lainnya. “Petani sharing hasil 30:70 dengan pemerintah, sepertiga kuintal untuk Perhutani, sisanya untuk biaya perawatan dan keuntungan petani,” ujarnya bangga.

Pohon-pohon hutan tak bisa ditebang atau dijual, petani hanya memanfaatkan sebagai pohon peneduh bagi kopi, terutama Arabika yang cocok ditanam di area 9000-1300 meter di atas permukaan laut (mdpl).

“Masih untung petani. Tidak boleh dipotong nanti erosi dan untuk pelestarian kawasan,” jelas Mat Husen. Ia fasih bicara soal hutan karena pernah menjadi pekerja Perhutani bagian keamanan. Tapi berhenti dan fokus menjadi petani sekaligus juragan kopi hingga kini.

Mat Husen mengaku salah satu dari 5 petani kopi pada 2010 yang dikirim mengikuti pelatihan pasca panen di Kintamani, Bangli, Bali. Generasi pertama ini selain dia ada H. Sumarhum, Sukarjo, Nanang, dan Nursiti. Ketika itu, Pemerintah Kabupaten Bondowoso sedang membenahi tata niaga dan pasca panen kopi.

Ketika mulai serius bertani pada 2009, ia mengaku mengikuti kebiasaan saja tidak memedulikan kebersihan, kualitas kopi, apalagi cara pengolahan hasil panen. Misalnya cara panen dengan menghabiskan seluruh biji di tangkainya sehingga biji kopi hijau bercampur merah (cherry).

Ia menjemur hasil di aspal jalan raya sehingga kotoran mudah melekat, dan tidak melakukan perambangan atau seleksi biji kopi saat digiling. Harga biji kopi saat itu hanya Rp2500 per kilogram. Para petani menggiling bergiliran dengan mobil penjaja jasa giling yang lewat. Kelompoknya terdiri dari sekitar 25 KK mengolah sekitar 150 hektar milik Perhutani. Lahan ditanami dominan kopi Arabika karena ketinggiannya sesuai.

Pria tua ini lalu menunjukkan logo Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) untuk Arabika Java Ijen Raung yang memperlihatkan tahapan keberhasilan meningkatkan kualitas kopi Bondowoso. Mat Husen menjelaskan simbol-simbol dalam logo, ada gunung kembar Ijen-Raung, biji kopi, dan helai daun kopi.

 

Aneka biji kopi dari green bean (belum dipanggang) sampai kopi roasting di salah satu kelompok petani Ijen Raung Coffee. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya 5 biji kopi terkait dengan 5 petani yang dilatih pada tahap awal, kemudian 7 helai daun menunjukkan para pihak yang berkolaborasi memajukan pertanian kopi hutan. Yakni Pemkab Bondowoso, Perhutani, Bank Indonesia, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Bank Jatim, Asosiasi Petani Kopi, dan kelompok petani.

“Sekarang biji kopi gelondong Rp10 ribu per kg, pantes Bondowoso disebut Republik Kopi tanpa istana. Istananya di kebun,” Mat Husen terkekeh.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Bambang MM mendukung pemanfaatan hutan dengan kopi. “Merespon Presiden Jokowi. Memanfaatkan lahan pertanian menjadikan lahan hutan kombinasi kopi memberikan manfaat dan kelestarian lingkungan,” ujarnya.

Ia mengatakan ini contoh baik. Kopi Bondowoso yang beberapa tahun lalu tak dikenal, sekarang mengangkat kopi lain di Indonesia. Dulu Perhutani tertutup dengan sekitar kebun, tapi kini beri nilai konservasi dengan usaha perkebunan kopi. Agar hutan lebih lestari.

Bambang mengapresiasi produk rekayasa teknologi di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) saat ini yakni kopi super yang hasilnya 3 kali lebih besar dan perakaran 3 kali lebih kuat untuk jaga risiko lingkungan. Ini penting dalam isu perubahan iklim. “Antisipasi perubahan iklim, ada hasil riset bor tanah untuk lubang rorak, semua air hujan akan masuk tanah tak ada yang hilang,” jelasnya.

Dari kebun kopi bisa dikembangkan agrowisata alam. Ia berharap Pemkab memetakan kembali potensi kopi yang bisa diperluas, Kementerian Pertanian menurutnya akan mendukung. Terlebih dari data, pangsa pasar kopi dunia terus naik, saat ini sekitar 9 juta ton naik 300 ribu ton per tahun.

“Tren minum kopi muncul di kota dan desa. Dengan minum kopi bergairah, darah mengalir, budaya kopi kita harus ditingkatkan,” urai Bambang. Pemanfaatan lahan diharapkan dilaksanakan di sekitar kawah Ijen dan Raung. Juga terus mengembangkan dialog pemerintah dan para pihak dengan kelompok tani.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,