Ada Pelanggaran HAM dalam Pelarangan Alat Tangkap Cantrang?

 

 

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam praktik usaha perikanan di Indonesia diduga kuat telah terjadi sejak waktu yang lama. Praktik tersebut, terutama terjadi dalam penyusunan dan pelaksanaan peraturan yang dibuat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Salah satunya, adalah pembuatan dan implementasi peraturan pelarangan alat penangkapan ikan (API) yang dinilai merusak lingkungan.

Komisioner Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Maneger Nasution di Jakarta, Kamis (5/10/207) menjelaskan, jika memang KKP ingin menerapkan peraturan tentang pelarangan cantrang dan alat tangkap lainnya, maka sebaiknya dilakukan kajian mendalam kembali tentang alat tangkap mana yang harus dilarang dan tidak.

“Kita memberikan rekomendasi kepada Pemerintah RI, dalam hal ini KKP, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 89 Ayat (3) terkait fungsi pemantauan dan penyelidikan,” jelas dia.

(baca : Nelayan Cantrang Bebas dari Pidana di Atas Laut, Tapi ….)

Adapun, rekomendasi yang disebut Maneger, ada tiga poin. Pertama, Komnas HAM meminta kepada Pemerintah RI utuk segera membentuk Tim Independen guna melakukan kajian terkait dampak penggunaan cantrang sebagai salah satu alat penangkap ikan. Kajian diharapkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah disampaikannya rekomendasi ini.

Kedua, Komnas HAM meminta kepada Pemerintah RI untuk membuka forum dialog seluas-luasnya dengan masyarakat yang mengalami dampak dari penerapan aturan tersebut. Ketiga, Komnas HAM meminta kepada Pemerintah RI untuk melakukan pemenuhan hak-hak masyarakat yang mengalami dampak dari penerapan kebijakan KKP RI tersebut.

Maneger mengungkapkan, Komnas HAM menekankan pentingnya tindak lanjut atas rekomendasi di atas, terutama dalam rangka pemenuhan hak atas kesejahteraan, hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan tenteram. Selain itu, juga untuk perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu bagi masyarakat yang mengalami dampak dari pemberlakuan kebijakan KKP tersebut.

“Baik dampak yang dialami secara langsung maupun tidak langsung, sebagaimana dijamin dalam undang-undang,” tegas dia.

(baca : Polemik Cantrang dan Solusi yang Lebih Gamblang)

 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Permen Berdampak Negatif

Lebih jauh Maneger menjelaskan, dikeluarkannya rekomendasi dari Komnas HAM, karena sebelum ini pihaknya mendapatkan pelaporan dari kelompok nelayan yang terdiri dari Front Nelayan Indonesia dan Front Nelayan Bersatu Jawa Tengah. Kedua kelompok nelayan tersebut meyampaikan pelaporannya pada 25 April 2017.

“Kedua kelompok tersebut melaporkan adanya dugaan pelanggaran hak-hak konstitusional atas nelayan cantrang oleh KKP dalam penyusunan dan pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,” papar dia.

Saat kelompok nelayan tersebut datang ke Komnas HAM, Maneger menyebut, mereka menyampaikan bahwa pemberlakuan Permen telah menimbulkan dampak terhadap sektor perikanan dan kelautan di Indonesia. Dampak tersebut, baik secara ekonomi maupun sosial dan itu diduga berdampak pada pendapatan atau kesejahteraan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada potensi sumber daya kelautan dan perikanan.

Setelah mendapat pelaporan tersebut, Maneger mengatakan, pihaknya langsung menindaklanjuti dengan melakukan pemantauan dan penyelidikan ke wilayah bagian pesisir utara Jawa Tengah. Di sana, dilaksanakan pertemuan dengan masyarakat yang terkena dampak kebijakan tersebut.

“Selain itu, kita juga menggelar FGD (forum group discussion) yang melibatkan KKP, DPRD Jateng, DPRD Pati, DPRD Rembang, DPRD Kota Tegal, Wakil Bupati Rembang, dan juga pihak asosiasi perikanan dan organisasi nelayan,” jelas dia.

(baca : Kenapa  Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?)

Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja menjelaskan, pihaknya saat ini tengah menyusun surat balasan kepada Komnas HAM. Surat tersebut akan berisi tahapan-tahapan yang sudah dilalui sejak 2015 sebelum pelarangan API yang dinilai merusak lingkungan dilaksanakan.

“Kita akan berikan tanggapan kepada Komnas HAM, berkaitan dengan surat rekomendasi yang sudah dilayangkan kepada kami. Selain kita ceritakan tahapan, kita juga akan ceritakan pihak-pihak yang terkena dan tidak termanfaatkan dari kebijakan cantrang,” tutur dia.

Sjarief mengungkapkan, selain memberikan informasi di atas, pihaknya juga akan menceritakan bagaimana safari penggantian alat masih terus dilakukan hingga sekarang. Penggantian, terutama diberikan kepada armada kapal yang berukuran di bawah 10 gros ton (GT) dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab KKP.

“Sementara, kalau kapalnya di atas 10 GT, itu akan dibantu penggantian alat tangkapan dan dibantu langsung oleh pihak perbankan dan OJK (otoritas jasa keuangan),” tandas dia.

 

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

 

Dulu, Cantrang Ramah Lingkungan

Sjarief Widjaja kemudian bercerita, pada awal penggunaannya, cantrang adalah API yang ramah lingkungan. API tersebut muncul untuk menggantikan API yang tidak ramah lingkungan dan dilarang oleh Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980.

“Dulu tahun 1980, trawls itu sudah dilarang. Lalu muncul cantrang. Awalnya cantrang itu ramah lingkungan. Tetapi belakangan mulai dimodifikasi,” ungkap dia.

Menurut Sjarief, cantrang yang diizinkan sebenarnya tidak boleh menggunakan pemberat, jaring tidak panjang, dan ditarik tangan manusia. Namun, saat ini cantrang justru jaringnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan kilometer, menggunakan pemberat, dan ditarik mesin.

Di Indonesia, cantrang banyak digunakan di wilayah Pantai Utara Jawa dan sebagian kecil di sejumlah daerah lain di luar Pulau Jawa. Dari data yang dirilis KKP, pada 2015 tercatat ada 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.529 unit kemudian dilakukan penggantian dengan API ramah lingkungan.

“Namun, meski proses penggantian masih terus berlangsung hingga sekarang, di awal 2017, KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi 14.357 unit. Ini seperti ada kecurangan di tingkat pengguna API,” jelas dia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkomentar tentang semakin banyaknya desakan dari pengguna cantrang untuk menambah lagi masa transisi. Menurut dia, tuntutan itu tidak akan dipenuhi karena bisa membahayakan ekosistem laut di Indonesia.

Saat diberlakukan pelarangan pada 2015, Susi menjelaskan, dia mendapat penolakan dan Ombusdman RI memberinya rekomendasi untuk melaksanakan masa transisi. Kata dia, karena rekomendasi tersebut dan juga Presiden RI Joko Widodo, pelarangan akhirnya ditunda dan diganti dengan pelaksanaan masa transisi.

“Sekarang masih lagi minta perpanjang-perpanjang terus. Kalau dikasih terus bisa-bisa sampai tiga tahun ini. Keburu habis ikan kita,” tutur dia.

Susi berpendapat, penggunaan cantrang selama ini menjadi penyebab konflik antar-nelayan. Kata dia, banyak nelayan yang tidak suka dengan kapal yang menggunakan cantrang. Konlfik sudah terjadi sejak dulu sebelum Presiden Soeharto mengeluarkan Kepres No.39 Tahun 1980.

“Jadi banyak yang menangkap itu bukan aparat, tetapi nelayan langsung yang melaporkan, karena mereka tidak mau cantrang masuk daerah mereka. Cantrang ini menghabiskan ikan dan merusak (ekosistem),” tegas dia.

(baca : 2017, KKP Fokus Dampingi Penggantian API Cantrang ke Gillnet Millenium)

 

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

 

Datar Alat Penangkapan Ikan Dilarang

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, mulai 1 Januari 2017 Pemerintah resmi melarang alat penangkapan ikan (API) yang dianggap bisa merusak lingkungan.

API yang dilarang itu adalah:

 

Ketiga jenis API yang dilarang itu, karena bisa merusak ekosistem kelautan. Oleh itu, KKP merilis, pelarangan tersebut bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan. Selain itu, juga untuk mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan.

Seluruh API yang dilarang tersebut, menurut Zulficar, tidak boleh dioperasikan terhitung 1 Januari 2017 di seluruh wilayah pengelolaan penangkapan (WPP) RI.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,