Menanti Pengesahan Hutan Adat Baringin Enrekang

 

Tiga Hutan adat di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan diusulkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk pengesahan memanfaatkan momentum kegiatan Konferensi Tenurial di Jakarta, Kamis (26/10/2017). Hutan adat tersebut antara lain terdapat di komunitas adat Marena, Orong dan Baringin.

Untuk mengetahui seberapa siap Hutan Adat tersebut untuk segera disahkan, sebelumnya pada Sabtu – Minggu (22-23/10/2017) lalu, difasilitasi oleh Kemitraan, Sulawesi Community Foundation (SCF) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, kami berkunjung ke salah satu komunitas adat tersebut, yaitu komunitas adat Baringin.

Komunitas adat ini terletak di Desa Baringin, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Berjarak sekitar 40 km dari ibukota kabupaten. Perjalanan menuju lokasi memiliki tantangan tersendiri, selain karena kondisi jalan yang curam, juga sedikit terhambat karena kondisi jalan yang sedang dalam proses pengecoran.

Kami tiba di lokasi sudah agak malam. Puluhan warga telah berkumpul di rumah Kepala Desa. Sebagian besar adalah pemangku adat dan tokoh masyarakat setempat.

Made’ Amin, Kepala Desa Baringin, memperkenalkan pemangku adat Baringin yang merupakan kepemimpinan kolektif yang terdiri dari empat orang yang disebut Appa Lirinna Wanua, terdiri dari To Matua sebagai pemimpin adat tertinggi, dibantu oleh Sanro yang mengurusi masalah kesehatan, Dulung yang mengurusi masalah pertanian dan Sara’ yang mengurusi masalah keagamaan.

“Keempatnya masih eksis sampai sekarang. Kalau ada yang mangkat tidak akan dikebumikan sebelum ada yang ganti. Tidak boleh kosong jabatan itu,” jelasnya.

Nama Baringin sendiri diambil dari nama pohon Baringin besar, yang dulu pernah tumbuh di desa itu. Komunitas adat ini juga merupakan pembentuk konfederasi Pitu Massenrempulu.

Terkait rencana pengusulan Hutan Adat ini, Made’ berharap bisa benar-benar direalisasikan dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil hutan non kayu, seperti rotan, durian dan madu.

Menurutnya, setelah disahkan, hutan adat Baringin akan semakin terjaga karena adanya kelembagaan adat yang akan terus menjaga dengan aturan-aturan pengelolaan hutan yang telah ada selama ini.

“Kita juga akan memperkuat aturan adat ini dengan Perdes. Hanya untuk jaga-jaga saja, kita tidak tahu ke depannya nanti akan seperti apa,” ujar Made’.

 

Memasuki kawasan Hutan Adat Baringin yang selama ini dijaga dan dikeramatkan. Ada larangan penebangan pohon di dalam kawasan. Aktivitas yang diperkenankan hanya untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti madu dan rotan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel, proses pengusulan tiga hutan adat untuk disahkan oleh pemerintah telah melalui proses perjuangan yang panjang. Dari 37 komunitas adat yang ada di Kabupaten Enrekang, baru sekitar 6 komunitas adat yang siap disahkan oleh Pemda melalui SK Bupati, dan hanya tiga di antaranya yang memiliki hutan adat.

“Di Enrekang ini hanya 10 komunitas adat yang memiliki hutan adat, dan baru tiga yang benar-benar siap untuk disahkan, termasuk Baringin ini. Diskusi terakhir dengan To Matua dan hasil proses verifikasi ulang kemarin keluar angka 404,97 hektar, terdiri dari dua kawasan hutan, yaitu hutan Botto Labaka dan Leppawara,” ungkapnya.

Menurut Sardi, setelah diusulkan pada 26 Oktober ini maka biasanya dalam masa 14 hari akan ada tim verifikasi dari KLHK yang turun ke lokasi dan jika prosesnya lancar maka kemungkinan besar pengesahannya akan dilakukan pada akhir tahun 2017 ini.

“Artinya apa? Ketika hutan kita ini ditetapkan sebagai hutan adat maka statusnya berubah bukan lagi hutan negara, tetapi menjadi hutan hak, dalam hal ini hutan adat. Jadi penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannya sesuai fungsi nantinya akan dikembalikan ke adat. Meskipun kita tetap harus menjaganya sesuai dengan pepasang yang kita miliki.”

Sardi berharap, setelah penetapan nanti, hutan-hutan tersebut akan semakin terjaga kelestariannya, sekaligus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kesejahteraan warga.

“Kalau orang kehutanan bilang, hutan lestari masyarakat sejahtera. Situasi saat ini kan hutannya lestari tapi masyarakatnya tidak sejahtera. Banyak potensi madu dan rotan bisa dimanfaatkan, tetapi kalau tidak ada izin bisa dikriminalisasi. Setelah proses hutan adat ini maka itu tidak akan terjadi lagi. Jadi peran lembaga adat Appa Lirinna Wanua akan sangat kuat, karena seluruh pemanfaatan harus seizin mereka.”

Menurut Paundanan Embong Bulan, Ketua AMAN Massenrempulu, hal terpenting dalam perjuangan masyarakat adat selama ini adalah pada pengakuannya, karena tanpa pengakuan dari negara maka semuanya tidak akan ada artinya.

“Itu yang diperjuangkan sejak 2009 dan kita bersyukur sekarang sudah ada Perda pengakuan dan ditindaklanjuti dengan komitmen yang lain. Kini di Enrekang malah sudah ada dinas tersendiri yang akan mengurusi masyarakat adat, yaitu Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Mereka sudah banyak bertanya apa yang dibutuhkan di masyarakat adat, apa yang perlu dibenahi,” katanya.

Gladi Hardianto, dari Kemitraan, menjelaskan upaya dari pihaknya untuk mendorong percepatan dan perluasan perhutanan sosial.

“Kalau pemerintahan sekarang kan menargetkan 12,7 juta hektar areal hutan dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Macam-macam, ada hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa, hutan tanaman rakyat dan kemitraan kehutanan. Hanya saja sampai sekarang memang progresnya lambat,” ujarnya.

Dari 2009 sampai sekarang, hutan yang sudah dikelola masyarakat baru sekitar 1 juta hektar. Tiga tahun pemerintahan Jokowi realisasi baru sekitar 500 ribu hektar. Hutan adat sendiri baru sekitar 16.400 hektar.

“Makanya kita ingin mengejar tahun ini cukup banyak hutan adat yang ditetapkan pemerintah, diberikan pengelolaannya kepada komunitas masyarakat adat. Ketika hutan adat ini ditetapkan maka itu sudah menjadi hutan hak. Cuma ini tetap status, sementara fungsinya tetap fungsi hutan. Entah itu lindung, konservasi atau produksi. Itu yang mesti dijaga. Tidak berubah fungsinya menjadi fungsi lain, seperti misalnya dijadikan kebun sawit, karena ada kecenderungan beberapa daerah akan melakukan itu. Ini mungkin yang menjadikan pemerintah maju mundur.”

 

Penandatangan berita acara pengesahan peta Hutan Adat Baringin dan permohonan pengusulan Hutan Adat ke KLHK oleh pemangku adat Komunitas Adat Baringin oleh To Matua sebagai pemangku adat tertinggi disaksikan oleh pemangku adat lain dan pengurus AMAN Sulsel dan Massenrempulu. Luas Hutan Adat yang diusulkan adalah 404,79 hektar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Arifin Bando, Kadis PMD Enrekang, pengakuan atas masyarakat adat di Enrekang sebenarnya merupakan keniscayaan, sehingga ia menolak menyebut upaya untuk mendapatkan pengakuan ini disebut ‘perjuangan’.

“Karena masyarakat adat di Enrekang selama ini telah hidup ratusan tahun melalui rumpun besar yang disebut Massenrempulu yang berarti ‘berada di lereng gunung’. Dibentuk oleh apa yang dinamakan Lima Massenrempulu Tiga Batu Papan. Saya tidak tahu kenapa kemudian disebut Enrekang,” tambahnya.

Menurutnya, meski masyarakat adat di Enrekang telah lama eksis namun memang tetap harus ada pengakuan dan legalitas hukum dari negara.

Komitmen keberpihakan Pemda Enrekang kepada masyarakat adat sendiri telah ditunjukkan dengan lahirnya Perda No 1 tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Massenrempulu pada awal 2016 lalu. Bupati juga telah membentuk Panitia Ad hoc yang akan melakukan verifikasi dan validitasi di lapangan.

Panitia ini sendiri telah bekerja dan akan segera menetapkan pengakuan untuk enam komunitas adat, antara lain Marena, Orong, Baringin, Patongloan, Pana dan Tangsa.

“Kita target pada 2018 mendatang akan ada enam lagi komunitas yang disahkan atau malah bisa lebih. Kita akan terus anggarkan sampai semua komunitas disahkan,” tambahnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,