Begini Indahnya Hutan Baringin Enrekang yang Dirawat Hukum Adat

 

Made’ Amin melajukan kendaraannya agak kencang. Tiga sungai kecil dilewatinya dengan mudah, sementara saya yang diboncengannya justru khawatir. Ia telah terbiasa melewati rute menuju hutan adat itu. Pagi itu, Minggu (23/10/2017), ia ingin menunjukkan daerah mana saja yang menjadi kawasan hutan Baringin. Ini adalah bagian dari perjalanan kami ke komunitas adat Baringin di Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang difasilitasi Kemitraan, Sulawesi Communiy Foundation (SCF) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel.

Di sebuah dataran, di ketinggian dimana kami bisa melihat seluruh wilayah adat Baringin dengan jelas, ia menunjuk batas-batas hutan keramat yang disebut kabotua. Wilayah adat Baringin uniknya memang dikelilingi oleh pegunungan dengan kawasan hutan yang lebat, jarang terjamah manusia karena kesakralannya.

“Daerah ini pernah menjadi salah satu markas dan tempat persembunyian pasukan DI/TII Kahar Muzakkar. Mungkin dipilih karena lokasinya strategis, dikelilingi oleh pegunungan dengan hutannya yang lebat-lebat. Bagus sebagai benteng alami,” ujar Kepala Desa Baringin ini.

Hutan-hutan itu, yang kini diusulkan sebagai hutan adat ke pemerintah, memiliki tanaman rotan yang diklaim sebagai kualitas terbaik. Di hutan ini juga banyak ditemukan satwa Babi-rusa, salah satu satwa endemik Sulawesi.

“Bahkan di sini ada kayu termahal di dunia, yaitu kayu eboni. Hingga saat ini masih terjaga karena memang dilindungi. Butuh izin menteri kalau mau ditebang. Ada juga kayu bitti, salah satu kayu yang banyak dijadikan sebagai tiang rumah,” jelas Made’.

Bagi masyarakat adat Baringin, hutan merupakan sumber penghidupan kolektif yang dikelola dan dimanfaatkan bersama. Meski demikian, pemanfaatan hutan dijalankan secara bijaksana, yang harus selalu mengacu pada peppasang atau pesan-pesan leluhur. Peppasang ini harus ditaati dan dijalankan oleh anggota komunitas adat Baringin maupun pihak luar.

“Jika ada pelanggaran pada peppasang ini maka akan dikenakan sanksi adat yang dikenal dengan istilah na ceccuko lontara. Bentuk sanksi ini memiliki tingkatan sanksi ringan, sedang, dan berat,” katanya.

 

Di hutan komunitas adat Baringin, Enrekang, Sulsel, bisa ditemukan kayu eboni yang diindungi, umurnya sudah ratusan tahun. Di hutan in juga terdapat rotan dengan kualitas terbaik. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Hukum adat terkait perusakan hutan yang terdapat dalam pepasang ini antara lain marapo pincang atau mudah mendapat malapetaka. Ada juga puppu barebe ata’ atau kehidupan susah sampai ke generasi pelanjut. Dikenal juga dikkae otti allirinna atau diusir dari kampong dan naceccu lontara atau sanksi berat berupa 7 turunan tidak boleh memiliki peran di masyarakat.

Ada juga mappemali, berupa larangan bagi masyarakat untuk penebangan kayu, baik di wilayah hutan larangan, maupun di wilayah hutan kelola selama 4 bulan setiap tahunnya.

Masyarakat adat Baringin juga dalam pengelolaan hasil-hasil hutan, sangat memperhatikan aspek keseimbangan akan keberlangsungan hutan dan hasil-hasilnya. Ini bisa dilihat dari adanya kebiasaan mengambil madu hutan tanpa merusak hutan atau pohon tempat lebah madu bersarang.

Dalam hal pengelolaan pertanian dan perkebunan, dulunya masyarakat adat Baringin mengenal pola tanam yang disebut “Gilir Balik”. Bentuknya adalah dalam membuka dan mengelola lahan secara berpindah-pindah di satu kawasan yang sama dengan rentang waktu tertentu.

“Cuma saat ini pola tanam tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi, karena wilayah-wilayah kelola untuk areal perladangan, sebagian besar telah dimasukkan ke dalam kawasan hutan Negara, sehingga berimplikasi pada terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam,” ungkap Made’.

Konsep tata ruang masyarakat adat Baringin bisa dilihat dari adanya pengelompokan wilayah berdasarkan fungsinya. Kawasan hutan primer, yaitu kawasan hutan yang sama sekali belum dikelola masyarakat, baik untuk berladang maupun berkebun disebut kabotua. Vegetasi utama yang terdapat di kawasan kabotua ini antara lain kayu dalam berbagai jenis, rotan, binatang dan tanaman obat-obatan tradisional.

“Kawasan kabotua ini dimiliki secara komunal dan tidak dapat dimanfaatkan secara serampangan, melainkan berdasarkan hukum adat dan kesepakatan bersama melalui musyawarah sipulung wanua.”

Sementara untuk kawasan hutan sekunder, dibagi dalam dua kategori, yakni apa yang disebut kabololo dan kabolaki. Kabololo merupakan bekas ladang yang telah menjadi hutan kembali. Vegetasi utama yang terdapat dalam kawasan ini adalah kayu berbagai jenis dan ukuran, serta padang rerumputan yang sebagian merupakan tanaman obat-obatan. Sementara bekas ladang yang telah mencapai umur 20 tahun ke atas dikategorikan sebagai kabolaki. Vegetasi utama yang terdapat dalam kategori hutan ini adalah berbagai jenis kayu dan rotan.

Menurut Made’ salah satu peppasang yang terkait pengelolaan sumber daya alam adalah malilu si pakainge’, rebba si patokkong, mali’ si parappe, tassikojo-kojo lembong. Maknanya untuk saling mengingatkan ketika terjadi pelanggaran adat, dan tidak mengambil hak yang bukan miliknya.

Dalam penyelesaian konflik di komunitas adat, penetapan waktu pertanian, pembukaan lahan, upacara-upacara adat juga dirumuskan dalam pertemuan sipulung wanua.

 

Wilayah Komunitas Baringin, Enrekang, Sulsel, memiliki banyak situs-situs budaya yang telah berusi ratusan ratusan tahun, antara lain Goa Sompa Opu yang di dalamnya terdapat ukiran orang yang sedang menenun dan kuburan tua Puatta Baringin, leluhur masyarakat Baringin, yang wajib dikunjungi peziarah di waktu tertentu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sejarah Komunitas

Sejarah komunitas adat Baringin tak bisa dilepaskan dari keberadaan mitos To Manurung atau orang yang turun dari langit, di Sulawesi Selatan. Dimulai ketika adanya petunjuk dari To Manurung bahwa suatu saat akan ada sebuah kampung yang berada di dekat sebuah pohon Beringin yang tumbuh di pinggir sungai, tempat pemukiman tua masyarakat adat Baringin yang ada sekarang.

“Sebelum masyarakat adat Baringin bermukim di Kampong Baringin ini, pada awalnya hanyalah komunitas-komunitas yang hidup secara berpindah-pindah di pengunungan Latimojong, tepatnya di Bonto Tumeneng dengan pola perkampungan mengikuti lokasi-lokasi dare’ atau kebun-kebun yang dibangun komunitas-komunitas,” jelasnya.

Kalaupun kini masyarakat Baringin tinggal menetap tak terlepas dari adanya kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda, yang menyatukan masyarakat nomaden tersebut menetap di satu tempat yang kemudian bernama Desa Baringin.

“Oleh Pemerintah Kolonial Belanda orang tua kami dulu diberikan akses pengelolaan dengan perjanjian tidak merusak keberadaan hutan. Batas-batas wilayah kelola adat Baringin pada saat pemerintahan Belanda ditandai dengan patok-patok atau tugu atau berupa gundukan batu yang disusun dengan rapi, dan juga ada berupa jalan setapak,” tambahnya.

Beberapa situs juga sampai saat ini masih dijaga, antara lain Goa Sompa Opu, yang di dalamnya terdapat ukiran orang yang sedang menenun dan kuburan tua Puatta Baringin, leluhur masyarakat Baringin, yang wajib dikunjungi peziarah di waktu-waktu tertentu.

Ritual adat yang masih berlangsung hinga saat ini antara lain Maccera Jerame atau atau pesta ketika masyarakat berhasil dalam memanen hasil-hasil pertanian. Dalam ritual ini terdapat acara Mappadendang dan Ma’doa.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,