Ketika RSPO Dorong Perluasan Sertifikasi Kebun Sawit Petani Kecil

 

 

Ratusan orang terdiri dari pemangku kepentingan sawit global dari para pemimpin perusahaan, lembaga keuangan, pembuat kebijakan, akademisi sampai organisasi masyarakat sipil dan lingkungan berkumpul dalam pertemuan rutin Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-15 (RT15) pada 27-30 November 2017 di Nusa Dua, Bali.

Pertemuan pada 28 November 2017, sempat tertunda karena sebagian delegasi tak bisa hadir terkena penutupan Bandara Ngurah Rai. Kala itu, Gunung Agung, meletus. Beragam bahasan agenda sawit berkelanjutan, salah satu soal upaya peningkatan sawit-sawit rakyat miliki sertifikat RSPO atau strategi pekebun kecil RSPO (RSPO smallholder strategy).

Lewat konferensi jarak jauh dengan media, Datuk Darrel Webber, Chief Executive Officer RSPO mengatakan, strategi pekebun kecil RSPO bertujuan memberdayakan pekebun kecil dalam mencapai kesejahteraan lebih baik dan berkelanjutan.

RSPO, katanya, telah membentuk beberapa struktur, antara lain kelompok kerja, pendanaan dan pendekatan lain untuk menangani masalah pekebun kecil.

Berdasarkan data RSPO, sudah ada 139.123 petani swadaya dengan luas lahan bersertifikat 333.345 hektar.

Stefano Savi, Director of Global Outrach and Engagement RSPO mengatakan, petani swadaya di Indonesia, sudah mendapatkan sertifikasi 111,816 sertifikasi dengan luasan 190.064 hektar per 30 Juni 2017.

Hingga per 30 November 2017, ada tambahan 10 grup petani swadaya mendapatkan sertifikat RSPO, tersebar di Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Total luasan 4.358 hektar dengan 1.761 petani.

Secara global, total perkebunan bersertifikat RSPO mencakup 3,2 juta hektar di 16 negara, naik 14% per 30 Juni 2016-30 Juni 2017. Untuk Indonesia, luasan tersertifikasi naik, dari 1.547.241 jadi 1.719.606 hektar dan paling tinggi dibandingkan Malaysia, Amerika Latin maupun negara lain.

 

Dana hibah petani kecil

Webber mengatakan, petani swadaya di Indonesia kini bisa memanfaatkan dana hibah untuk meningkatkan kapasitas mereka guna memperoleh sertifikasi RSPO. Meski diakui, proposal pengajuan pemanfaatan dana hibah masih minim dan jadi tantangan tersendiri dalam mendorong petani swadaya bikin pengajuan.

Di Indonesia, katanya, sekitar Rp5,2 miliar dialokasikan bagi 6.489 petani swadaya untuk mendapat sertifikat RSPO. “Total luas 13.313 hektar,” ucap Savi seraya bilang, total dana global, Rp33 miliar.

Kini, RSPO memiliki pendanaan sebesar US$4 juta bagi pekebun kecil yang bisa digunakan. ”Beberapa perusahaan besar juga menggunakan untuk mendukung pekebun kecil dalam mendapatkan sertifikasi,” kata Webber.

RSPO juga menyoroti sejumlah pencapaian dari Laporan Dampak (Impact Report) terakhir yang rilis pada konferensi ini, seperti kawasan nilai konservasi tinggi (HCV) seluas 189.777 hektar telah teridentifikasi dan dikelola anggota RSPO. Jumlah ini naik 21% sejak periode pelaporan terakhir.

Selain itu, beberapa tren penting muncul di tingkat regional termasuk Afrika, di mana area HCV teridentifikasi meningkat seluas 13.405 hektar.

Di Asia Pasifik juga mengalami peningkatan signifikan untuk wilayah yang teridentifikasi miliki HCV, Malaysia mencatat peningkatan 8.399 hektar, didukung kenaikan 5.864 hektar di kawasan lain, tak termasuk Indonesia.

Bahasan penting lain dalam pertemuan itu soal tema menekankan inklusivitas dan akuntabilitas untuk mendorong transparansi dan kolaborasi antarpemangku kepentigan. Selain itu juga memprioritaskan tinjauan dan pengesahan Prinsip dan Kriteria RSPO yang rencana selesai November 2018.

Menurut Webber,  peninjauan Prinsip dan Kriteria RSPO harus mempertimbangkan berbagai perspektif dan segala kemungkinan yang ada, seperti beragam pemangku kepentingan, terutama mereka yang memiliki keterbatasan dan kondisi pasar.

”Proses ini harus memberdayakan para pemangku kepentingan guna menemukan solusi lokal bagi isu-isu lokal, yang dijalankan dalam kerangka kerja internasional,” katanya.

Dia menekankan, sawit berkelanjutan bukan hanya dalam bentuk standar atau sertifikasi tetapi lebih pada dampak langsung terhadap keberlanjutan masa depan. ”Terpenting itu perubahan kecil yang membuat perlindungan bagi lingkungan lebih baik.”

Dia bilang, dalam pengkajian prinsip dan keriteria, RSPO pun akan memperhatikan hukum lokal yang ditetapkan tiap negara. Dia contohkan, di Indonesia, menanam sawit di lahan gambut hal ilegal hingga RSPO tak akan memberikan sertifikat di lahan itu.

Soal keterlacakan buah sawit (tandan buah segar/TBS), baik dari produksi, distribusi, hingga produk turunan akan lebih diperhatikan.

RSPO telah menggandeng tujuh pihak dalam rantai sawit , dari produsen, pengolah, pedagang, pengecer, bank investor dan lembaga swadaya masyarakat.

”Sistem komplain dibutuhkan sebagai bentik peningkatan kompetensi. Tujuannya, agar RSPO menjadi organisasi independen.”

Adapun, penguatan prinsip dan kriteria ini akan diperbaharui setiap lima tahun sekali. Kini, memasuki proses peninjauan dan rencana resmi November 2018.

 

Sawit di gambut. RSPO juga akan mengikuti aturan lokal, seperti di Indonesia tak boleh buka lahan gambut buat sawit. Foto: KLHK

 

Sertifikat tunggal sawit Eropa

Parlemen Eropa pada 2020, juga berencana memberikan sertifikat tunggal pada produk sawit. Rencana ini, katanya,  akan meningkatkan kompetensi dan menjadi pekerjaan bagi setiap negara untuk mempertimbangkan standar keberlanjutan.

Webber contohkan Indonesia dengan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MPSO) dan lain-lain.

”Aturan ini (ISPO dan MPSO) penting dalam menggambarkan kepedulian tiap pihak terhadap isu berkelanjutan.” Apalagi, kedua negara itu merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia.

 

RSPO Next

Dalam pertemuan ini, RSPO menyambut baik Daabon Group dan United Plantations sebagai dua perusahaan yang mendapatkan sertifikasi RSPO Next. Daabon Group pertama di dunia yang mencapai RSPO Next awal tahun ini dan United Plantations sebagai pekebun sawit pertama di Malaysia yang mendapat sertifikasi serupa. Petani mandiri dari Indonesia dan Thailand juga mendapat sertifikat RSPO.

RSPO Next merupakan sertifikasi RSPO yang diberikan kepada perusahaan yang diklaim mampu menerapkan standar lebih tinggi dari biasa.

Dalam ketentuan RSPO Next, harus meliputi beberapa hal, pertama, tak ada deforestasi. Kebijakan ini, hanya mengizinkan perusahaan mengembangkan perkebunan sawit di lahan-lahan dengan vegetasi dan tanah berstok karbon rendah dan harus membatasi emisi karbon dioksida dari konversi hutan.

Kedua, tak menanam di lahan gambut. Dalam standar dan kriteria RSPO biasa hanya merekomendasikan para pekebun sawit menghindari penanaman di gambut. Untuk itu, RSPO Next melarang semua pengembangan di lahan gambut setelah 16 November 2015.

Ketiga, tanpa bakar. Poin ini merupakan tambahan dari larangan penggunaan api untuk pembukaan lahan yang sudah ada dalam standard sebelumnya. Pekebun sawit harus memiliki rencana dan prosedur mencegah, mengawasi, dan menanggulangi kebakaran dan daerah sekitar perkebunan.

Keempat, pengurangan emisi gas rumah kaca. RSPO Next, mengharuskan pekebun sawit memantau, mengelola dan mengurangi emisi GRK dalam seluruh tahap operasionalnya. Termasuk kewajiban untuk mempublikasikan laporan status dan perkembangan.

Kelima, penghormatan hak petani kecil dan pekerja. Poin ini dikembangkan dari kriteria hak asasi manusia yang terkandung dalam standar RSPO sebelumnya. RSPO Next, mengharuskan jika tak terdapat definisi upah hidup layak di suatu negara, pekebun sawit harus mengajak pekerja-pekerja membuat kesepakatan yang disetujui bersama.

RSPO Next, juga mengharuskan pekebun mengembangkan program-program penyuluhan untuk membantu petani kecil mengenai aspek kelestarian dan keahlian bisnis. Keenam, larangan penggunaan paraquat, pestisida yang dilarang di Uni Eropa.

Ketujuh, peningkatan transparansi dan ketelusuran. Untuk mendapatkan verifikasi RSPO Next, minyak sawit harus bisa ditelusuri sampai ke kebun yang memproduksi.

Pembeli minyak sawit yang ingin berkomitmen RSPO Next, bisa melalui sistem pembelian sertifikat ini. Sertifikat hanya tersedia bagi para pembeli yang sudah membeli 100% minyak sawit berkelanjutan bersertifikat melalui sistem rantai pasok RSPO (book & claim, mass balance, segregated atau identity preserved).

 

Perusahaan sawit yang banyak menyisakan cerita sedih terhadap masyarakat yang berada di sekitarnya. Foto: Rhett Butler

 

Jangan hanya kuat di kertas

Sawit Watch menyatakan, dengan mengusung tema inclusivity and accountability, RSPO sedang berusaha mendorong transformasi nilai dan praktik produksi minyak sawit lebih bertanggungjawab.

Maryo Saputra, Desk Kampanye Sawit Watch mengatakan, penting bagi RSPO mendorong dan mempercepat proses transformasi ini dengan langkah penguatan terhadap standar, memastikan implementasi, serta uji tuntas terhadap kepatuhan. “Melalui monitoring dan verifikasi komprehensif,” katanya dalam rilis kepada media.

Monitoring dan verifikasi komprehensif, katanya, jadi tugas utama RSPO guna menunjukkan kepada publik, terutama konsumen dan pembeli bahwa standar mereka tak hanya kuat di kertas juga efektif dalam implementasi.

Karlo Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan Sawit Watch mengatakan, dari 11,98 juta ton minyak sawit tersertifikasi RSPO, 51% dari Indonesia. Meskipun begitu, kondisi kontras terjadi melihat fakta dari total pengaduan sengketa dan konflik ke RSPO, 58% dari Indonesia.

Kondisi ini, katanya, memperlihatkan masih ada tantangan cukup besar bagi RSPO untuk benar-benar merealisasikan visi keberlanjutan mereka.

Riza Harizajudin, Kepala Departemen Sosial Sawit Watch berharap,  RSPO menjalin kerjasama baik dengan pemerintah Indonesia, terutama di tingkat lokal dengan mendorongkan regulasi dan kebijakan sektor industri sawit.

 

Lamban tangani konflik

Sementara Transformasi untuk Indonesia (TuK) menyoroti lambannya RSPO menangani konflik, salah satu kasus di Kalimantan Barat.

Setiap anggota RSPO, dalam menjalankan bisnis harus menaati prinsip-prinsip RSPO, seperti komitmen terhadap hukum yang berlaku, perlindungan lingkungan, menghormati masyarakat lokal terdampak, dan lain-lain.

Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK mengatakan, banyak perusahaan anggota RSPO justru melanggar prinsip-prinsip itu di lapangan. Dia contohkan, perusahaan sawit asal Malaysia, Sime Darby.

Sime Darby melalui anak perusahaan, PT. Mitra Austral Sejahtera (MAS) sampai kini masih terlibat konflik lahan dengan masyarakat adat Dayak di Dusun Entapang dan Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Sanggau, Kalimantan Barat.

Satu tahun sejak pertemuan RSPO di Bangkok, lembaga ini adakan hal serupa di Bali, tetapi penyelesaian masalah belum jelas.

Norman Jiwan, pendamping masyarakat korban sawit mengatakan, warga akan melakukan upaya lebih tegas kepada RSPO kalau tak merespon dengan upaya penyelesaian lebih konkrit.

Masyarakat, katanya,  berencana menggugat RSPO melalui mekanisme Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

“Draf dan berkas-berkas yang dibutuhkan sudah kami persiapkan. Tinggal menunggu waktu tepat untuk mengajukan gugatan,” katanya.

OECD, kata Norman, salah satu organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan terbesar di dunia, memiliki panduan tentang perusahaan-perusahaan multinasional sebagai standar internasional tata kelola korporasi negara-negara anggota OECD.

Perusahaan negara-negara OECD terikat kewajiban terhadap dampak kegiatan bisnis dan rantai pasok mereka.

“Tuntutan masyarakat atas hak tanah dan wilayah adat adalah bagian dari hak asasi manusia atas kepastian dan keadilan hukum sebagaimana tercantum dalam panduan wajib OECD.”

Kala terjadi pelanggaran hak masyarakat dan berdampak serius, katanya, harus ada upaya-upaya memastikan mekanisme pemulihan.

Tak hanya RSPO, pemberi modal juga bisa dimintai pertanggungjawaban jika memberikan modal tanpa uji kepatutan terhadap klien.

Sime Darby adalah klien terbesar kedua Maybank. Permodalan Nasional Berhad (PNB) yang memegang hampir 50% saham Maybank juga memegang sekitar 50% saham Sime Darby.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,