Kisah Pendakian Para Difabel ke Puncak Sesean

 

 

Rombongan pendaki, berjejer menapaki undakan di Kaki Gunung Sesean, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Pada Sabtu (2/12/17),  saya ikut bersama 80 orangan ini dengan sembilan adalah difabel (tiga orang netra, lima daksa kinetik, dan seorang difabel grahita (down syndrom)).

Jasri alami down syndrom. Saya ikut timnya saat mendaki. Ketika menapak turun gunung keesokan hari, saya beralih ke tim Adil Rani, difabel netra.

Jasri yang disapa Aril,  peramah. Dalam keadaan tertentu,  suasana hatinya mudah berubah seketika, misal, sekali waktu saya meminjam tongkat kaki seorang difabel daksa kinetik. Dia marah, tak ingin berbicara dengan saya. Di lain waktu, seorang pendamping lapangan menggandeng seorang perempuan pendamping lain, dia spntan membuang tas dan minta pulang.

Down syndrom digolongkan tunagrahita. Usia fisik anak tunagrahita, tak berbanding lurus dengan usia mental. Jasri usia 18 tahun. Saat pendakian, para pendamping senantiasa membuat dia nyaman. Mengikuti kemauan dia dan memberikan arahan tepat, terutama soal keselamatan.

Saat Jasri, merasa kelelahan dia langsung istirahat. Duduk dimana pun, entah beralas batu, tanah atau rumput.

Setelah pendakian terjal di ujung pos satu menuju pos dua, Jasri memegang tali. Setelah itu,  Puncak Sesean pada ketinggian 2.100 di atas permukaan laut terlihat. Kabut perlahan membungkus puncak. “Itu sana puncak. Sebentar lagi,” kata Agil pendamping Jasri.

Hahahahaha, hoeeee. Uhuiiiiii,” Jasri berteriak senang.

 

Abdul Rahman, difabel netra saat pendakian Gunung Sesean, Toraja Utara. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

**

Ketika, saya tertunduk kelelahan, Eko Peruge, difabel daksa kinetik, melewati saya. Otot tangan terlihat begitu kuat. Kaki kiri tampak kokoh. Kaki kanan tak ada karena kecelakaan pada 2005. Dia tersenyum, berjalan dengan hati-hati pakai tongkat penopang.

“Ini sudah tongkat kedua. Tongkat pertama, sudah saya gantung bersama sepatu,” katanya.

Saya mencoba pakai tongkat penopang Eko. Penopang tongkat bagian atas tak boleh menempel di ketiak. Kekuatan harus berpusat di lengan dan membantunya dengan paha. Rasanya susah sekali. “Saya pakai tongkat, dan merasa benar-benar cocok, itu tahun 2010.”

Pada titik pendakian dan penurunan terjal di Sesean, Eko berjalan seakan tak mengalami kendala. Di antara celah batuan dan akar pohon, tongkatnya berdiri kuat.

Difabel lain sama dengan Eko, Agus Salim. Dia kehilangan kaki kiri pada 1998 saat jadi buruh ilegal di Malaysia. Dia bertugas membuka hutan untuk perkebunan sawit. Ketika pohon yang ditebang roboh, dia mundur dan terjatuh ke jurang. Pohon menimpa paha. Tak ada pesangon, tak ada bantuan dari perusahaan.

Di camp, tenda Agus berdampingan dengan saya. Kami berbincang dan saling berbagi kopi. Dia tinggal di Enrekang. Istrinya juga daksa kinetik. “Istri saya mendukung penuh kegiatan ini. Saya ikut dengan teman-teman karena penting untuk orang tahu, kalau kami bisa melakukannya,” katanya.

Beberapa tahun lalu, Agus pernah mencalonkan diri jadi calon kepala desa. Dia gagal karena cibiran kondisi fisik. “Jadi, orang baru lihat kami, sudah patah semangat. Itu benar-benar buat sedih.”

 

Adil Rani, difabel netra saat pendakian. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Hari Difabel Internasional

Minggu (3/12/17), udara pagi begitu dingin. Para pendaki keluar dari tenda pakai jaket. Adil Rani, difabel netra, dituntun pendamping mencari tempat buang air kecil. Kacamata hitam menempel di wajahnya.

Saya meminta dia membuka kacamata dan melihat dua matanya mengecil, seperti berhimpit. Adil tak bisa melihat total. Semua hitam. “Jadi bagaimana rasanya naik gunung, tanpa melihat pemandangan?” kata saya.

“Saya tahu itu. Orang-orang bilang ada awan di bawah sana – di bawah camp. Saya tidak lihat, jadi cukup merasakan suasana saja,” katanya.

Bagi para pendaki, Sesean adalah gunung cukup mudah ditapak. Dari kaki gunung, perjalanan bisa ditempuh paling lama 1,5 jam. Para difabel memerlukan dua hingga tiga jam.

“Apakah susah naik gunung?” kata saya.

“Kalau sampai sekarang, tidak. Yang penting pendamping menjelaskan baik. Ada batu atau ada lubang di depan,” katanya.

Saat turun gunung, Adil berjalan cukup baik. Dia menapak penuh konsentrasi. Pendamping melangkah di depan, harus membuat bunyi bekas injakan. Itulah yang diikuti Adil. “Kalau ada suara langkah, saya bisa ikuti.”

Jelang pukul 10.00 pagi. Sembilan orang difabel berkumpul di tanah datar Sesean. Tiang bendera Indonesia tertancap di tengah. Eko Peruge, Aryandhy, Agus Salim, Sukirman, dan Syawal adalah difabel daksa kinetik. Abdul Rahman, Adil Rani, dan Arifin adalah difabel netra. Jasri adalah down syndrom. Mereka berjejer berdekatan. Bernyanyi lagu Indonesia Raya dan berdoa bersama.

“Inilah perayaan kita. Kita berkumpul di gunung ini untuk peringatan Hari Disabilitas Internasional. Kita disini untuk menghilangkan stigma jika difabel tak bisa apa-apa,” katanya Abdul Rahman.

Rahman, difabel netra–kategori low vision. Jarak pandang siang hari beberapa puluh meter saja. Jika malam, semua menjadi bayangan. Rahman juga Direktur Pergerakan Difabel untuk Kesetaraan (Perdik) Sulawesi Selatan.

Perdik inilah yang menginisiasi pendakian bersama difabel. Tahun 2016 , Perdik merancang pendakian di Gunung Latimojong, Enrekang. Pada 2017 di Gunung Sesean, Toraja Utara.

“Ini bukan untuk gagah-gagahan. Ini bentuk kampanye, jika kami bisa menjadi bagian dalam pembangunan negeri.”

“Sekarang kita menunggu Bupati Enrekang. Kita ingin mengusulkan inisiasi perda disabilitas. Salah satunya terkait akses difabel. Kita ingin lihat bagaimana responnya,” katanya.

Pada 4 Desember 2017, sehari setelah pendakian Sesean, puluhan orang berkumpul di aula rumah jabatan Bupati Enrekang. Jelang sore, pertemuan dimulai. Muslimin Bando, Bupati Enrekang, duduk pakai pakaian pegawai negeri sipil, berwarna coklat dan kopiah.

Bando, mendengar beberapa usulan seraya bersandar di kursi. Dia meminta, pergerakan difabel membuat usulan dan draf. “Jadi pemda menunggu saja. Kalau ada surat masuk, kami akan tindak lanjut. Strukturnya itu dari bawah. Hari ini datang – surat – besok saya akan disposisi.”

Di Enrekang, data mengenai difabel tak begitu akurat. Jumlah ribuan tetapi disatukan dengan data orang miskin. Jadi, katanya, daya belum begitu akurat. “Kalau Dinas Sosial mendata ada 4.000 orang lebih. Itu belum pasti.”

Sementara itu, sebanyak 180 destinasi wisata di Enrekang, tak satu pun membuat akses untuk difabel. “Kami membangun akses jalan, tapi untuk spesifik (difabel-red) belum menjangkau.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,