Antara Konservasi dan Pengembangan Wisata di Komodo

Safiana gesit memandu turis di salah satu spot keajaiban dunia, Taman Nasional Komodo di pulau Rinca, Flores Barat, NTT. Senyumnya selalu berkembang. Pemandu tertua di Pulau Rinca ini sesekali meminta maaf kepada sekelompok turis asing yang dipandunya jika bahasa Inggrisnya dirasa kurang fasih.

Dalam rute pendek sekitar satu jam itu, dia mengarahkan turis untuk melihat komodo yang  sedang leyeh-leyeh di bawah rumah panggung, tempat tinggal para ranger. “Mereka senang di sini karena bau masakan,” serunya.

Sedikitnya ada lima ekor Komodo saat itu. Jarak turis dengan salah satu hewan purba ini sekitar lima meter. Cukup dekat. Seekor komodo muda bereaksi, ia menjulurkan lidahnya. Sejumlah ranger pun lalu bersiaga dengan tongkat kayu di tangan. Walau terlihat tenang, jangan sekali-kali menyentuh karena bisa berakibat fatal.

Sejumlah kasus pengunjung yang digigit komodo sudah pernah terjadi. Dikutip dari Florespost.co, pada 30 November 2017 lalu, seorang pria yang bekerja membangun fasilitas MCK asal Kabupaten Manggarai digigit di bagian kaki kanan dan tangan tangan di Pulau Rinca. Sebelumnya, pada 3 Mei 2017 lalu, seorang wisatawan asing bernama Lon Lee (50) digigit di pulau Komodo. Sejak tahun 1974, setidaknya sudah terjadi lebih dari 30 kasus gigitan komodo. Lima diantaranya menyebabkan kematian.

Perjalanan dilanjutkan ke area tempat komodo bersarang. Ranger memberi isyarat untuk diam ketika melihat seekor induk berjalan pelan ke lubang sarangnya. Komodo betina ini siaga menjaga telurnya di sekitar sarang untuk mencegah predator lain.

Komodo memang menjadi daya tarik utama ekowisata di TN Komodo. Hasil survey tahun 2016, terdapat 3.012 ekor reptil purba ini. Tersebar di beberapa pulau termasuk, Komodo, Rinca, dan Padar. Tingkat kunjungan pada tahun 2016, mencapai 107 ribu orang, kebanyakan didominasi oleh wisatawan asing.

Untuk masuk ke Pulau Rinca, untuk wisatawan nusantara dikenakan biaya tiket masuk Rp5.000, kegiatan wisata alam Rp5.000, tiket dari Pemkab Manggarai Barat Rp20 ribu, dan biaya untuk pemandu Rp80 ribu per 5 orang. Sementara tiket masuk bagi wisatawan asing Rp150 ribu.

 

Komodo (varanus komodoensis), spesies ikonik yang hanya ada di beberapa pulau-pulau kecil di perairan Flores Barat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Peta Digital untuk Wisatawan

Setelah ditetapkan sebagai satu dari sepuluh destinasi prioritas “Bali Baru” Indonesia oleh pemerintah, target kunjungan ke wilayah ini digenjot, dilipatgandakan dengan target 500 ribu orang per tahun.

Lalu bagaimana dengan daya dukung lingkungannya? Apakah pulau-pulau kecil seperti Komodo dan Rinca mampu menampung pengunjung dan sekaligus tetap berfungsi sebagai kawasan konservasi?

Tantangan ini pun terpikir oleh Sudiono, Kepala Balai TN Komodo. Dia menyebut pihaknya sedang membuat terobosan untuk pengelolaan kawasan Komodo.

“Wisata ini dinamis, perlu disertai kajian. Kalau ada pembatasan harus ada solusi, harus ada menu lain.” Sudiono memulai penjelasannya saat dijumpai Mongabay Indonesia November lalu. “Jika padat di satu lokasi, harus mulai dikembangkan di lokasi lain.”

Dia menyebut pihaknya akan mengaplikasi Carry Map, sebuah apps berbasis arcgis. Dimana, sebuah peta digital yang ditampilkan akan mampu menunjukkan lokasi pengunjung berada di antara puluhan pulau-pulau kecil ini. Termasuk juga akan menunjukkan lokasi spot diving, penanda apung (mooring buoy), obyek wisata, dan area zonasi. Aplikasi ini juga akan bisa memantau pelanggaran yang terjadi karena menggunakan kordinat GPS.

“Pemanfaat wisata bahari paling padat di TN Komodo. Perlu terobosan untuk pengelolaan ruang laut,” jelasnya.

Jika sistem ini beroperasi, menurut Sudiono tiap kapal yang online akan dapat dipantau. Lokasi mereka berada, lokasi lepas jangkar, dan pergerakan kapal lainnya. Penentuan lepas jangkar pun akan diatur agar tidak merusak terumbu karang. Kapal diarahkan berlabuh di kedalaman lebih dari 30 meter dan berpasir di luar zona karang.

Saat ini diperkirakan ada total sebanyak 200 kapal yang beroperasi, dengan setiap harinya lebih dari 100 kapal wisata berlayar menikmati alam laut dan keunikan tiap pulau di kawasan Komodo.

Kunjungan wisata umumnya lebih lama dari di darat yakni sekitar 3-5 hari. Trendnya, makin banyak kapal model living on board, dimana turis berlayar beberapa hari dan tidur dalam kapal. Tur wisata seperti ini terbagi menjadi short dan long trip. Meliputi wisata melihat Komodo, snorkeling, diving, dan lainnya. 

Jika tidak diantisipasi maka ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Saat limbah dari aktivitas manusia dan limbah buangan bahan bakar menjadi sumber polusi dan kerusakan lingkungan. Belum lagi sampah dari aktivitas turisme, yang kebanyakan berupa sampah anorganik.

Menurut Sudiono, opsi untuk menaikkan tarif masuk ke kawasan Komodo ini sedang dipikirkan oleh pemerintah.

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah habitat dan jenis-jenis satwa di kawasan konservasi. Sejauh ini Balai Taman Nasional belum mendeteksi perubahan perilaku Komodo dengan meningkatnya kunjungan. Kuncinya adalah pada kepatuhan turis pada ranger atau pemandu agar keselamatan selama berkunjung terjaga.

Seperti dikutip dalam laman manggaraibaratkab.go.id,  komodo (Varanus komodoensis) mengandalkan air liurnya yang mengandung racun (septik) untuk menggigit mangsanya. Mereka dengan sabar akan mengikuti mangsa yang digigit dan menunggu sampai ia melemah dan mati. Mangsa utama komodo adalah rusa, babi hutan, kerbau, kuda, monyet ekor panjang, anjing, kambing, telur penyu dan telur burung, aneka burung, serta binatang kecil lainnya. Komodo lebih suka makan bangkai, dan diketahui memiliki sifat kanibal.

Untuk menunjang turisme, saat ini pihak pengelola telah menyiapkan sejumlah trail-trekking di dalam kawasan sejumlah 13 unit, masing-masing 4 trail di Loh Liang, 7 trail di Loh Buaya, dan dua trail di Pulau Padar.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,