Pentingnya Peta untuk Perencanaan Tata Ruang dan Tata Kelola Hutan

Perencanaan tata ruang bergantung pada peta untuk memberikan informasi tentang tutupan hutan, jenis tanah dan kepemilikan batas. Pemetaan lahan untuk tujuan perencanaan tata ruang harus melibatkan dua hal yaitu: masalah teknis (deliniasi jenis tanah /kondisi, mengukur, dan menandai) dan masalah sosial (yaitu konsultasi dengan orang-orang lokal, kepemilikan rekaman dan klaim akses).

Pemerintah Indonesia telah memulai proses yang disebut dengan One Map Policy yang merupakan mandat dari Undang-Undang nomor 4/2011 tentang Informasi Geospasial yang mengharuskan semua peta merujuk pada peta yang memiliki konsekuensi hukum. Dalam Undang-Undang ini, suatu peta yang tidak merujuk pada peta dasar yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), maka secara hukum peta tersebut pasti kalah.  Satu peta dasar (One map) dapat menjadi acuan pemecahan konflik sosial akibat tumpang tindih data dasar kepemilikan dan penguasaan lahan.

Sebelum adanya Undang-Undang nomor 4/2011, di Indonesia setidak-tidaknya terdapat empat Undang-Undang yang memuat dasar-dasar Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang menjadi dasar penguasaan lahan oleh sejumlah instansi, yaitu Kementerian Kehutanan dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Kementerian ESDM dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Pemerintah Daerah dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Meski telah diamanatkan oleh Undang-Undang proses pemetaan lahan sering tetap tidak lengkap atau tidak akurat, sehingga peta yang dibuat tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya dari hutan. Hal ini menjadikan, penetapan perizinan lahan/kawasan oleh salah satu instansi seringkali tidak didukung oleh informasi perizinan lahan/kawasan dari instansi lain.

Peta resmi terkadang tidak mengandung informasi tentang batas tanah yang dikelola oleh masyarakat lokal yang tidak diakui secara hukum. Sebuah bukti-bukti menunjukkan bahwa ketika masyarakat memiliki hak guna hutan aman, mereka lebih cenderung untuk mengelola hutan dan lahan secara berkelanjutan. Tanpa kepastian, masyarakat lebih cenderung untuk mengeksploitasi hutan sebelum berpindah tempat. Integrasi lahan masyarakat ke dalam rencana tata ruang tingkat kabupaten merupakan persyaratan hukum tata ruang, tapi jarang terpenuhi.

Peta yang ada di Indonesia saat ini perlu diperbaiki. Dengan skala peta yang kecil yaitu 1:250.000 untuk wilayah NKRI maka hal tersebut akan rawan untuk disalahgunakan dan mis-interpretasi di tingkat lapangan. Peta Dasar yang saat ini sedang diselesaikan untuk seluruh wilayah NKRI adalah dengan skala 1:25.000. Untuk tujuan operasional di tingkat kabupaten/kota dan kawasan hutan setidak-tidaknya dibutuhkan peta dengan skala 1:50.000.

Kebijakan one map policy merupakan suatu langkah maju sebagai instrumen pendukung tata kelola hutan dan lahan yang baik.

Indeks Laman

Kembali ke awal 

Tata Kelola yang Baik dan Keterlibatan Partisipasi Publik

Kelemahan Implementasi

Prinsip Tata Kelola yang Baik

Hukum dan Perundangan yang Berhubungan dengan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Permasalahan Tenurial dan Konflik di Hutan dan Lahan

Bagaimana Tata Kelola Hutan Harusnya Dilakukan?

Sistem Perencanaan Tata Ruang di Indonesia

Pengelolaan Hutan dan Lahan di Tingkat Pemerintah Daerah

Pemantauan Hutan dan Lahan di Indonesia

Sistem Penganggaran Keuangan dalam Bidang Ekstraktif di Indonesia

Pentingnya Peta untuk Perencanaan Tata Ruang dan Tata Kelola Hutan 

Model Pengelolaan Hutan Lewat Konsep Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Moratorium dan Tata Kelola Hutan dan Lahan

Lisensi dan Perizinan

Penegakan Hukum Bidang Kehutanan

Dorongan Pasar Terhadap Produk Bersertifikat