Mongabay.co.id

Irwandi Yusuf Tersandung Rawa Tripa

GUBERNUR Aceh, Irwandi Yusuf, mengeluarkan izin pengelolaan lahan untuk perkebunan sawit kepada PT. Kalista Alam, Agustus 2011.  Lahan seluas lebih dari 1.605 hektare di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh ini ternyata masuk dalam kawasan ekosistem Lauser (KEL).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh. Namun ditolak dengan alasan,  PTUN Banda Aceh tidak berwenang memeriksa perkara gugatan Walhi Aceh. Hakim berpendapat,  penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak berperkara harus terlebih dahulu ditempuh jalan musyawarah di luar pengadilan. Walhi banding.

Satgas REDD juga mendapatkan laporan kasus ini. Tim investigasi satgas REDD turun ke lapangan dan menemukan dugaan pelanggaran pemberian izin itu. Ketua  satgas REDD Kuntoro Mangkusubroto mengatakan,  pada akhir Maret lalu, menerima laporan mengenai pembukaan lahan secara sistematis dan terencana melalui pembakaran hutan di rawa Tripa. Kawasan ini, katanya, berada di KEL dan berbatasan dengan taman nasional Lauser.

Menurut dia, kejadian ini menimbulkan keprihatinan dan kegusaran masyarakat di dalam dan luar negeri. Sebab, pelestarian lahan gambut penting dalam mencegah  bencana perubahan iklim. Pria yang juga kepala Unit  Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan  (UKP4) ini menambahkan, rawa Tripa juga tempat  habitat penting bagi satwa langka dilindungi termasuk orangutan.

Bahkan, ada sebuah petisi online berhasil! mengumpulkan hampir 10.000 pendukung. Petisi itu meminta,  pemerintah Indonesia, khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kehutanan, Kepala Kepolisian Indonesia, serta Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto, sungguh-sungguh menegakkan hukum dan melindungi rawa gambut Kuala Tripa. Juga populasi orangutan yang ada di sana. Petisi juga dialamatkan kepada Duta Besar Norwegia dan Menteri Luar Negeri Indonesia. Kuntoro pun memerintahkan investigasi menyeluruh untuk melihat apakah lahan dibuat sesuai hukum.

Temuan Satgas

Satgas REDD menemukan fakta beberapa hal di lapangan. Pertama, telah terjadi kebakaran lahan di dalam PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur. Dari pengamatan kasat mata, kebakaran terkesan dilakukan teratur dan terencana hingga menimbulkan dampak  negatif bagi ekosistem. Kedua,  lahan perkebunan PT Kalista Alam seluas 1.605 hektare berada dalam KEL. “Sebagian sudah ditanami sawit. Selebihnya siap tanam dan sebagian terlihat masih berupa hutan. Ini berpotensi melanggar UU Tata Ruang.”

Ketiga, PT Kalista Alam juga beraktivitas di lahan gambut tebal. Dari enam titik sampling, dua titik memiliki ketebalan kurang dari tiga meter, 2,72 sampai 2,8 meter, satu titik tiga meter. Lalu, tiga titik lain di atas tiga meter. “Perlu diteliti apakah 70 persen dari wilayah itu terdiri dari gambut. Bila benar, ini melanggar beberapa aturan dari UU Penataan Ruang, keputusan Presiden sampai Keputusan Menteri Pertanian. Temuan keempat, ada laporan yang mengindikasikan PT Kalista Alam beraktivias di atas lahan sebelum izin usaha perkebunan dan hak guna usaha terbit resmi.

Tim REDD meminta, kepolisian dan Kementerian Lingkungan Hidup menindaklanjuti temuan ini. Sudariyono, Deputi Penaatan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), mengatakan, mereka siap menyelidiki lebih lanjut.

KLH akan menyelidiki, apakah perusahaan itu memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) ataupun dokumen kelayakan lingkungan lain. “Kalau memang sudah punya Amdal atau dokumen lingkungan, apakah itu diimplementasikan dengan benar.” Tak hanya itu. Masalah lain juga akan diselidiki, misal, apakah ada kawasan gambut tebal yang masuk dalam izin .

Irwandi Yusuf, kepada The Sydney Morning Herald mengatakan, izin perkebunan sawit itu secara hukum tak salah alias legal, tetapi salah secara moral. Pria yang bakal lengser dari jabatan gubernur karena kalah dalam pemilihan ini mengaku frustasi dengan penundaan program  UN’s REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).

“Komunitas internasional berpikir, hutan kami ini sebagai toilet umum. Setiap hari mereka mengatakan ingin udara bersih dan melindungi hutan. Tapi, mereka  ingin menghirup udara bersih tanpa membayar apapun,” katanya.

Dia ingin mengirimkan pesan kepada komunitas internasional. Irwandi mengandaikan, lahan 1.600 an hektare itu sebagai cubitan pengingat kepada dunia luar.

Exit mobile version