Mongabay.co.id

Hentikan Kriminalisasi Rakyat dalam Konflik SDA

KEKUATAN modal berpotensi mengancam rakyat. Kriminalisasi rakyat makin menjadi-jadi kala mereka mempertahankan hidup dari desakan wilayah pertambangan dan perkebunan besar.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, kriminalisasi menimpa dari rakyat kecil sampai intelektual.

“Tak pandang bulu, warga, intelektual dikriminalkan saat mereka mempertahankan ruang hidup rakyat,” katanya, Jumat(18/5/12).

Abet mencontohkan, seperti rencana proyek tambang pasir besi di Kulonprogo telah membui Tukijo. Tukijo, petani lahan pasir Kabupaten Kulonprogo, ditangkap polisi karena menolak lahan pasir yang dia kelola bersama warga lain, menjadi tambang.

Di pasir lahan kering itu, ada teknologi pengairan temuan petani, yang mampu ciptakan kesejahteraan dan memberdayakan mereka secara ekonomi. “Pengubahan menjadi tambang jelas mengancam petani.”

Untuk masalah ini, warga Kulonprogo telah menyampaikan ke Mahkamah Konstitusi, Desember 2011 dalam persidangan uji materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Warga Kulonprogo sudah menempati lahan pertanian sejak lama. Bahkan, kebanyakan dari mereka memiliki sertifikat.

Namun, pemerintah menetapkan wilayah ini menjadi pertambangan secara sepihak. “Warga menolak klaim sepihak penguasa atas tanah menjadi wilayah pertambangan.“ Tukijo, ditangkap pada 8 Februari 2011 atas upayanya mempertahankan ruang hidup dan pilihan ekonomi bertani dari serbuan tambang.

Terkait dengan dukungan bagi penentangan proyek tambang ini, “George Junus Aditjondro terancam dimeja hijaukan karena menentang proyek tambang ini.”

George mengkritik keras pengusaan tanah oleh keluarga Sultan Hamengkubowono X yang bertentangan dengan UU Pokok Agraria. Juga menentang , kerja sama dengan investor Australia dengan mengambil alih lahan pertanian rakyat menjadi pertambangan.

Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, hutan yang sudah dijaga ratusan tahun oleh rakyat, sedang direbut perusahaan tambang.

Sumba terkenal dengan burung-burung endemik, dan jadi proyek percontohan pulau yang 100 persen kebutuhan energi dari sumber energi terbarukan (angin, mikrohidro, biogas dan lain-lain).

“Keunikan ini tak berarti bagi tirani modal demi menumpuk keuntungan,” ucap Abet.

Pada 3 Mei tahun ini, tiga petani Pulau Sumba, yaitu Umbu Mehang, Umbu Janji dan Umbu Pindingara dihukum sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Waikabubak.

Mereka dituduh merusak mesin bor perusahaan PT Fathi Resources. Perusahaan ini mengeksplorasi tambang emas di lahan penggembalaan ternak dan kebun mereka tanpa izin.

“Ketiganya telah melaporkan penyerobotan tanah oleh perusahaan, tetapi tak digubris oleh polisi Sumba Barat.”

Menurut dia, kriminalisai rakyat dalam konflik dalam SDA juga terjadi di Sulawesi Tengah. Di Kec. Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, konflik terjadi antara masyarakat transmigrasi, masyarakat adat dengan perusahaan PT. Kurnia Luwuk sejati (KLS) milik Murad Husain.

Lahan masyarakat bersertifikat maupun lahan-lahan adat yang sudah sejak lama dikelola warga turun temurun dirampas PT. KLS. Eva Bande dari Front Rakyat Advokasi Sawit Sulteng bersama dengan 23 petani dikriminasalisi.

Untuk itu, Walhi menyerukan beberapa hal. Pertama, menuntut pembebasan segera tanpa syarat rakyat yang sedang di penjara dalam upaya mempertahankan hidup. Antara lain Tukijo dan tiga Umbu. Kedua, mendesak penghentikan kriminalisasi kepada George Junus Aditjondro.

Ketiga, hentikan kriminalisasi terhadap Eva Bande bersama 23 petani. “Kembalikan lahan warga yang direbut perusahaan PT.KLS. Adili Murad Husain atas perampasan lahan warga dan perkebunan ilegal.”

Keempat, tangkap dan adili polisi pembunuh Yurifin dan Martin dalam konflik antara warga dan PT.Medco Tomori-Pertamina di Tiaka, Morowali. “Medco dan Pertamina harus bertanggung jawab atas kemiskinan rakyat di Kolo Bawah, Morowali.”

Terakhir, cabut atau batalkan semua izin usaha pertambangan dalam wilayah yang ditetapkan sepihak alias tak melalui proses partisipasi warga.

Exit mobile version