Mongabay.co.id

Lebih 700 Orang Tewas Membela Hak Hutan dan Lahan

Indonesia, termasuk negara dengan banyak pembunuhan yang memiliki jaringan kuat keterlibatan sektor swasta, baik domestik maupun internasional.

PADA 24 Mei 2011, aktivis hutan José Cláudio Ribeiro da Silva dan istrinya, Maria do Espírito Santo da Silva, ditembak mati dalam serangan di negara bagian Brazil. Seorang aktivis legendaris, José Cláudio Ribeiro da Silva, seorang diri, secara terbuka mengkritik pembalakan liar di negara yang penuh dengan deforestasi ini.

Para pembunuh bahkan memotong telinga da Silva. Ini praktik umum pembunuh di Brazil untuk membuktikan kepada majikan bahwa mereka telah menjalankan tugas dengan baik.

Kurang dari setahun sebelum dibunuh, da Silva memperingatkan saat bicara di TEDx. “Saya bisa mendapatkan peluru di kepala pada setiap kesempatan … karena saya mencela penebang dan produsen arang.”

Di banyak bagian dunia, seseorang bertahan untuk hutan, tanah, atau lingkungan menjadi sangat berbahaya. Sebuah konferensi baru oleh Global Witness menemukan, 711 aktivis, wartawan, dan anggota masyarakat dibunuh dalam membela atau menyelidiki hak atas tanah dan hutan antara 2002 dan 2011.

Pembunuhan ini meningkat: tahun lalu 106 orang tewas membela hak atas tanah dan hutan, jumlah tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

“Tren ini poin untuk pertempuran global yang makin sengit untuk sumber daya, dan panggilan penyadar bagi delegasi di Rio+. Lebih dari satu orang seminggu dibunuh karena membela hak-hak hutan dan lahan,” kata Billy Kyte, juru kampanye  Global Witness, dalam siaran pers  merujuk pada KTT PBB Rio +20 pekan ini.

Dari dokumentasi Golbal Witness, Brazil sendiri menyumbang lebih dari setengah pembunuhan, total 365 orang tewas selama 10 tahun terakhir. Menyusul Peru, Kolombia, dan Filipina. Di negara-negara,  seperti Kamboja, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo, banyak pembunuhan memiliki link kuat keterlibatan sektor swasta, baik domestik maupun internasional.

Kebanyakan pembunuhan terjadi di Amerika Latin dan Asia dengan jauh lebih sedikit dilaporkan di Afrika, namun kemungkinan karena Global Witness kurang informasi.

“Karena informasi tentang pembunuhan terfragmentasi dan langka, kematian sangat mungkin lebih tinggi dari yang kita mampu mengidentifikasi.” “Laporan ini tidak termasuk ratusan ribu korban intimidasi dan kekerasan terkait sengketa atas akses ke lahan dan hutan. Atau pembunuhan dari mengklaim lahan dan hutan terkait ekstraksi minyak dan gas.”

Sebagai contoh, di Republik Demokratik Kongo, konflik antara penduduk lokal dan perusahaan penebangan, SIFORCO, mengakibatkan sejumlah warga desa dipukuli dan diperkosa oleh pasukan keamanan negara.

Bentrokan juga mengakibatkan kematian Frederic Moloma Tuka, 70 tahun. Meskipun SIFORCO meminta pemerintah membantu menengahi konflik,  tetapi tetap saja tak ada yang tanggung jawab atas kekerasan itu.

Menurut laporan itu, keadilan jarang diberikan kepada korban pembunuhan. Pembunuh jarang diadili dan mereka lebih sering dibebaskan. Di Brazil, kurang dari 10 persen pembunuhan itu masuk ke pengadilan, hanya satu persen yakin dihukum.

Laporan ini juga mencatat, dari 50 kasus pembunuhan di Filipina terkait lahan dan masalah lingkungan-biasanya protes proyek pertambangan besar -tidak sampai ke penuntutan.

“Diduga pelaku pembunuhan ini [di Filipina] adalah polisi, militer, dan pasukan keamanan swasta dari perusahaan swasta,” sebut laporan.

Pembunuhan terkait persengketaan tanah di pedesaan Brazil, sejak 2000 total 383 orang.

Global Witness mendesak, masyarakat internasional mendukung penuh penyelidikan  ini. Lalu, memastikan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (Free, prior and informed consent /FPIC) untuk masyarakat lokal yang terkena dampak proyek-proyek industri. Juga memastikan pasukan keamanan negara dan keamanan swasta nasional mengikuti hukum dan kode etik internasional.

“Masyarakat internasional harus menghentikan aksi jahat untuk hutan dan lahan ini berlanjut. Ini belum pernah lebih penting untuk melindungi lingkungan dan tidak pernah lebih mematikan,” kata Kyte.

Pembunuhan atas nama hutan dan tanah berlanjut. Hanya dua bulan lalu, pada 26 April, aktivis hutan Kamboja terkenal, Chut Wutty, tewas saat mengawal dua wartawan ke lokasi illegal logging. Dia dihentikan oleh polisi militer, setelah bentrokan ditembak mati.

Detil kematian Wutty masih misterius. Karena militer telah memberikan berbagai cerita untuk menjelaskan bagaimana Wutty, serta salah satu tentara, tewas. Sebuah penyelidikan sedang berlangsung. Diterjemahkan oleh Sapariah Saturi

Exit mobile version