,

Ekspansi Industri dan Sanksi Lemah, Hutan Mangrove Indonesia Terus Musnah

Pembabatan dan alih fungsi menjadi kawasan industri terus mengancam hutan mangrove di beberapa wilayah tanah air. Sepanjang bulan Juli 2012 silam, beberapa masalah terkait alihfungsi mangrove masih dilakukan baik oleh perusahaan skala raksasa maupun kelompok masyarakat.

Di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Salah satu lokasi hutan mangrove yang bakal beralihfungsi di daerah itu, terdapat di sekitar muara Sungai Ular Kecamatan Pantai Cermin. Hal ini diungkapkan oleh Suarifin, Anggota Komisi A DPRD Serdang Bedagai tanggal 28 Juli 20121 silam kepada Waspada.com. Dia memperkirakan, sekitar 50 hektare areal hutan mangrove di muara Sungai Ular kini telah dikuasai oleh sejumlah orang yang mengatasnamakan beberapa nama kelompok tani dan nelayan. Padahal, menurut dia, kawasan muara Sungai Ular dan sekitarnya hingga kini masih berstatus hutan konservasi.

Tindakan perusakan hutan mangrove tersebut dapat dijatuhi hukuman dan denda, sebagaimana di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Kehutanan. “Saya mensinyalir ada unsur kesengajaan di balik perusakan hutan mangrove di muara Sungai Ular, terutama terkait dengan kegiatan bisnis,” ujarnya. Aksi perusakan ekosistem mangrove yang tidak terkendali di muara sungai tersebut, berpotensi mengakibatkan semakin berkurangnya populasi ikan dan biota laut di sekitar pesisir timur Serdang Bedagai.

Selain di sekitar muara Sungai Ular, pihaknya memperkirakan kasus perusakan dan alih fungsi hutan mangrove juga terjadi pada sejumlah titik di sepanjang garis pantai Kabupaten Serdang Bedagai. “Areal hutan mangrove di sepanjang pesisir Serdang Bedagai dari tahun ke tahun semakin menyusut akibat penebangan liar dan alih fungsi lahan,” kata Suarifin.

Hal serupa terjadi di Pantai Utara Jawa Tengah, yang kini harus melawan abrasi akibat rusaknya mangrove akibat kehadiran sejumlah industri di wiayah tersebut.  Seperti dilaporkan Harian Suara Merdeka tanggal 23 Juli 2012 sila, Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jateng menyebutkan, di pesisir pantura Jawa Tengah kerusakan paling parah terdapat di pesisir Semarang, Brebes, Pekalongan, Demak, dan Rembang. Tahun 2010 BLH mencatat 3.329 hektare, dan pada 2011 meluas menjadi 4.888 hektare.

Selain abrasi, kerusakan mangrove di wilayah pantura Jateng juga meluas. Tercatat ada sekitar 8.595 hektare lahan mangrove yang rusak pada 2011, dengan sebagian besar cakupan di wilayah pesisir utara. “Adanya abrasi itu juga disebabkan karenanya rusaknya hutan mangrove, jadi seperti mata rantai yang saling berhubungan,” kata Djoko Maryanto, Kabid Pengendalian Kerusakan dan Konservasi Lingkungan Hidup BLH kepada Suara Merdeka.

Upaya untuk menanggulangi abrasi dan kurusakan mangrove adalah pembangunan sabuk pantai. Di wilayah pantura kota Semarang, sejak sebulan lalu disediakan ratusan bis beton untuk membangun sabuk pantai sepanjang 3000 meter.Sejumlah tempat pencetakan bis beton sebagai sabuk pantai itu berada di TPI Tanggulsari, Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Semarang Barat dan di Desa Timbulsloko, Sayung, Demak.

Burung Cabai Bunga Api (Diaceum trigonostigma) salah satu penghuni mangrove di Indonesia bagian Barat. Foto: Aji Wihardandi

Dari Sangatta, Kutai Timur, Harian Samarinda Pos memantau pembabatan hutan mangrove di Tanjung Bara, Sangatta yang dilakukan oleh PT Kaltim Prima Coal terkait pembangunan conveyor batubara untuk mendongkrak produksi perusahaan tersebut dri 45 juta ton menjadi 70 juta ton per tahun. Sekretaris Forum Pemantau Kinerja Eksekutif dan Legislatif Kutai Timur (FPEL) Rusdiasnyah Noor mengatakan, pembangunan tersebut tidak memperhatikan faktor lingkungan. “Parahnya puluhan hektare hutan mangrove dibabat dan ditimbun. Pembabatan itu sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Kami sempat mempertanyakan ini, tapi tidak ada tanggapan sama sekali,” katanya.

Dilanjutkannya, persoalan pembabatan hutan mangrove itu pun diakuinya pernah dipertanyakan kepada Dinas Kehutanan (Dishut) Kutim. “Masalah Ini sudah kami tanyakan di Dishut, mereka mengatakan tidak pernah menerima laporan mengenai pembabatan hutan mangrove. Begitu juga dengan penimbunan lautnya,” ujarnya.

Menurutnya, jika ingin melakukan pembabatan hutan magrove dan penimbunan laut, tentunya KPC harus memperhatikan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) karena penimbunan tersebut berdampak besar pada ekosistem laut disekitarnya.”Kami juga pertanyakan ini ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) mereka juga mengaku tidak menerima laporan masalah itu. Paling tidak ada tembusan ke instansi tersebut sehingga aktivitasnya bisa diawasi,” ujarnya. Sementara itu, saat akan dikonfirmasi, GMESD KPC Husen Akma tidak bisa dihubungi. Telepon genggam tidak bisa dihubungi.

Luas hutan mangrove Indonesia, berdasarkan survei Kementerian Kehutanan tahun 2006, adalah 7,7 juta hektar, namun dalam survei lanjutan yang digelar tahun 2010 silam hutan mangrove Indonesia kini tersisa tinggal  sekitar 3 juta hektar. Sementara dari data satelit terakhir, hutan mangrove Indonesia kini adalah seluas 3,1 juta hektar, atau nomor dua terbesar di dunia setelah Brasil. Luas hutan mangrove Indonesia ini adalah 22.6% dari keseluruhan hutan mangrove yang tersisa di dunia. Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Ditjen BPDAS Kementerian Kehutanan RI, Billy Indra mengatakan, 70% kerusakan itu terjadi di luar hutan, dan sisanya terjadi di dalam kawasan hutan.

Kematian hutan mangrove di berbagai wilayah ini, memang secara langsung memberikan dampak bagi masyarakat sekitar. Hutan mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang.

Secara ekonomi, Mangrove membantu dalam pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu tumbuhan di hutan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti.

Selain itu, berdasar penelitian yang dilakukan oleh CIFOR dan USDA, hutan mangrove memiliki kemampuan empat kali lipat lebih besar dalam menyimpan karbon dibanding hutan hujan tropis daratan, yaitu antara 800 hingga 1200 ton per hektar.

Sayangnya, penanganan kasus-kasus perusakan hutan mangrove masih sangat lambat di Indonesia. Pada tanggal 7 Juli 2012 silam, Pemerintah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara melaporkan secara resmi kerusakan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Langkat kepada Direktorat Jenderal PHKA, Departemen Kehutanan RI. Seluas 1.540 hektare kawasan hutan mangrove pada kawasan hutan produksi di empat kecamatan yaitu Gebang, Brandan Barat, Babalan, Tanjungpura Kabupaten Langkat Sumatera Utara, kondisinya kini rusak parah. Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat, Supandi Tarigan. Namun hingga kini setelah sebulan berlalu, Pemerintah Kabupaten Langkat masih belum mendapat respon nyata dari Kementerian Kehutanan dalam menangani kerusakan mangrove di Langkat.

Data luasan mangrove di Indonesia. Tabel: http://mbojo.wordpress.com/2009/01/01/hutan-mangrove-dan-luasannya-di-indonesia/
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,