Mongabay.co.id

Hari Masyarakat Adat Sedunia: Hormati Hak-Hak Kami

PADA 9  Agustus diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia. Hari ini, kali pertama dicanangkan Majelis Umum pada Desember 1994.  Pada 2007, Majelis mengadopsi Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat. Dengan mengakui hak mereka menentukan nasib sendiri dan hak bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Maupun mengembangkan manifestasi masa lalu, sekarang dan masa depan kebudayaan mereka dalam berbagai bentuk.

Pada peringatan tahun ini, mengambil tema Media Adat, Adat Memberdayakan Suara.  Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon mengatakan, peran penting radio komunitas dan televisi dalam menampilkan film dan dokumenter.  Masyarakat adat menggunakan alat-alat kuat guna membawa pelanggaran hak asasi manusia menjadi perhatian internasional dan menjalin solidaritas global.

Suara-suara masyarakat adat,  kata Ban Ki Moon, menceritakan kisah menarik bagaimana mereka memerangi abad ketidakadilan, diskriminasi. Juga advokasi sumber daya serta hak-hak melestarikan budaya, bahasa, dan tradisi spiritualitas.

Dalam pesan di Hari Masyarakat Adat Internasional ini,  Ban Ki Moon, berjanji sistem PBB akan memberikan dukungan penuh dan bekerja sama dengan masyarakat adat maupun media mereka.

Di Indonesia, di berbagai daerah juga ada peringatan hari ini. Terlebih di negeri ini, begitu banyak konflik melibatkan masyarakat adat. Terutama konflik lahan (agraria). Masyarakat adat makin terpinggirkan dan terdiskriminasi terutama karena ulah pemodal.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), memperingati hari ini dengan diskusi terbuka dan pemutaran film ”Sebuah Kesaksian Korban.” Film ini menampilkan masyarakat adat yang menjadi korban investor.

Dikutip dari blog Aman Kalteng, Simpun Sampurna, Ketua Aman Kalteng, mengatakan,  daerah ini sudah penuh dikotak-kotak oleh orang lain  alias perusahaan. Dari pembangunan terutama perkebunan, pertambangan, dan hak pengusahaan hutan (HPH).

Di Kalteng, banyak konflik agraria. Tidak ada ruang untuk masyarakat adat. Contoh Di Dadahup, Puruk Cahu, Lamandau, Seruyan. “Masyarakat dikriminalisasi.  Tuntutan mereka masalah agraria.”

Agus dari Aman Kota Palangkaraya mengatakan, masyarakat adat terpinggirkan. “Kehadiran perusahan besar bisa membeli hukum. Itu sudah terjadi di Pangkalanbun, Seruyan. Masyarakat adat mempertahankan hak-hak ditangkap dan dikriminalisasi.”

Di Kalimantan Timur (Kaltim), Aman mengadakan aksi solidaritas di DPRD Kaltim. Margaretha Seting Beraan, Ketua  Aman Kaltim, juga Ketua Badan Teritorial Telapak Kaltim mengatakan, sengketa antara kelompok masyarakat dengan perusahaan atau antara kampung di Kaltim kebanyakan bermula dari sengketa perebutan hak atas tanah.  Baik perebutan antarmasyarakat di dalam kampung maupun antarkampung dengan kampung.

Konflik biasa muncul karena ada tata batas berbeda, antara tata batas administrasi pemerintahan desa versus batas adat yang turun temurun. “Konflik menjadi makin parah dengan tidak jelasnya pengakuan pemerintah atas batas adat yang disengketakan,” katanya dalam siaran pers, Kamis(9/8/12).

Konflik tata batas sering menjadi masalah laten bagi kesatuan antar komunitas, bahkan antar suku. Konflik menyebabkan hilang ketenangan, penghidupan layak bahkan nyawa.

Kondisi diperparah dengan mekanisme penyelesaian konflik sering manipulatif. “ Mencari kepraktisan dengan menggunakan kelemahan peraturan.”

Perusahaan yang beroperasi di wilayah sengketa pun justru ikut memperkeruh dengan mengadu domba masyarakat sesuai kepentingan terhadap kawasan itu. Contoh, kasus antara warga Muara Tae dengan warga Muara Ponaq. Konflik mereka dimanfaatkan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan PT. Borneo Surya Mining Jaya. Juga terjadi di Kampung Lung Huvung karena PT. Fangiono Agro Plantation, masuk.

“Banyak konflik tata batas tidak terselesaikan akibat hilangnya wibawa pemerintah dalam penyelesaian konflik. Bahkan, ada indikasi pembiaran untuk kepentingan pihak-pihak lain.”

Untuk itu, Aman Kaltim bersama masyarakat adat menyerukan beberapa hal. Pertama, harus ada penghormatan adat istiadat budaya setempat dengan menjadikan tata batas kampung. Ini sebagai syarat utama penentuan dan penetapan tata batas antarkampung.

Kedua, jika ada pemekaran wilayah, untuk kepentingan administrasi desa harus sesuai keputusan adat. Dengan memperhatikan batas-batas adat maupun perjanjian-perjanjian adat yang pernah ada.

Ketiga, pengukuhan tata batas harus secara adat agar mengikat semua pihak termasuk pendatang maupun pemerintah daerah secara spiritual dan legal.

Di Papua, masyarakat  turun ke jalan merayakan kelangsungan hidup mereka sebagai masyarakat adat. Demonstrasi terjadi di Manokwari, Serui, Baliem, Jayapura dan berbagai lokasi lain di Papua Barat.

Dikutip dari Manokwarinews.com, di Manokwari, peringatan digelar di depan kantor Suku Dewan Papua. Tampak beberapa bendera Bintang Kejora berkibar. Ribuan pengunjukrasa berjalan berkeliling Kota Manokwari sambil berorasi. Pasukan keamanan mencoba menyita bendera Bintang Kejora  tetapi pengunjukrasa memilih melanjutkan aksi damai ini.

Exit mobile version