PADA Hari Anti Monokuktur Dunia 21 September ini, Walhi mengingatkan pemerintah akan pengalaman buruk praktik monokultur. Untuk itu, Walhi meminta pemerintah menghentikan pengembangan pangan monokultur skala besar, seperti food estate, karena rentan merugikan rakyat dan merusak ekologi.
Deddy Ratih, pengkampanye Walhi Nasional mengatakan, Indonesia pernah megalami pengalaman pahit pengembangan industri pangan melalui proyek lahan gambut sejuta hektare dan masa kolonialis liberal Hindia Belanda. “Model pengembangan perkebunan besar monokultur rakus lahan terbukti tak mampu memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru banyak memberikan dampak negatif bagi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan rakyat,” katanya di Jakarta, Jumat(21/9/12).
Pengembangan komoditas sejenis dalam luasan dan skala besar telah berlangsung ratusan tahun di negeri ini. Dia menyebutkan, perkebunan kayu skala besar dirintis sejak abad ke-19, sekitar 1847 oleh pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu, kayu untuk pembuatan kapal perang dan kapal dagang Belanda.
Pembangunan kebun kayu monokultur dan masif, penguasa kolonial juga memaksakan monokulturisasi melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sekitar 1830-1870 untuk pemenuhan kepentingan pasar Eropa. Pembangunan kebun-kebun komoditas ini secara luas (estate) seperti, kopi, teh, tembakau dan tebu, juga kayu jati.
“Cultuurstelsel sisi buruk. Pengembangan skala besar yang menyebabkan hutan Jawa hampir nol saat ini. Model yang dikembangkan dalam praktik monokultur di masa kolonialis liberal, menempatkan posisi masyarakat sebagai kelompok rentan,” ucap Deddy.
Kebijakan pembangunan kebun-kebun monokultur skala besar ini membuat pemerintahan kolonial Belanda mengalami masa keemasan ekonomi 1835-1940. “Namun dampak nyata masyarakat di Jawa krisis pangan dan bencana kelaparan sejak 1843. Jadi krisis pangan dalam praktik monokultur sudah diperlihatkan dari sejarah.”
Parahnya, praktik serupa malah terus dikembangkan di Indonesia. Contoh, food estate, seakan mengembangkan pangan di Indonesia, tanpa sadar mengancam pangan lain. “Misal ubah sawah jadi kebun jenis lain. Kerentatan ini yang tidak terevaluasi dengan baik.”
Tak hanya itu. Dampak monokultur terjadi pada perubahan ekosistem, misal, tahun lalu ada wabah ulat bulu, belalang, sampai tomcat. “Ini yang menurut kami harus diperhatikan ketika mencoba monokultur di Indonesia,” katanya.
Bukan itu saja. Monokultur pangan juga berdampak pada sosial budaya, misal praktik manipulasi dan korupsi. “Karena keinginan monokultur terjadi praktik penyuapan. Karena kebutuhan lahan besar muncul praktik suap dana lain-lain.”
Menurut Deddy, kasus Rawa Tripa, Aceh, satu contoh nyata praktik monokultur yang merusak. Akibat konversi hutan Rawa Tripa menjadi ladang perkebunan sawit skala besar berdampak nyata terhadap kualitas lingkungan dan menghancurkan habitat hewan endemik Sumatera seperti orangutan Sumatera (Pongo abelii).
Perubahan bentang alam di Rawa Tripa juga berdampak buruk pada fungsi hidrologis kawasan setempat. “Ini sangat merugikan masyarakat sekitar Rawa Tripa yang sumber penghidupan bergantung pada kawasan ini.”
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengungkapkan, ada tiga perubahan tata kelola secara sistematis dampak monokultur ini. Pertama, terkait tata kelola lingkungan dampak pemaksaan dominasi satu komoditas terhadap satu sistem. “Ini menyebabkan banyak mata rantai sistem terputus. Contoh, melonjak populasi dari kupu-kupu, tomcat dalam satu wilayah ekosistem.”
Praktik monokultur juga mendesak pupolasi pindah teritorial. Contoh, ekosistem region Sumatera, karena tinggi perubahan kawasan hutan menjadi sawit, petani palawija dan padi menjadi susah. Mengapa? Terjadi migrasi babi nangoi yang berkoloni. “Mereka tak makan padi, tapi karena tempat mereka jadi sawit, saat lewat sawah berkoloni mereka merusak padi petani. Satu koloni sampai 400 an. Ini terjadi di Jambi dan Bengkulu, daerah ujung Sumatera Selatan,” ucap Zenzi. Migrasi babi ini berbeda dengan jenis celeng atau babi rusa.
Sedang dampak, bagi lingkungan lain yakni pengaruh praktik monokultur terhadap sekitar, misal rusak ekosistem sungai di setiap daerah kebun sawit dan pertanian padi. “Karena tinggi pemakaian pupuk hingga banyak nitrogen lepas ke sungai yang mengakibatkan lonjakan populasi beberapa jenis ganggang. Ini menutup sungai hingga sungai kurang oksigen dan tak ramah bagi hewan air. Inilah mengapa keragamanan jenis ikan di Indonesia menurun.”
Monokultur juga rakus unsur sara dan akan mengubah iklim mikro. Contoh, kebun kopi, jangka waktu produktif 10 sampai 15 tahun, setelah itu akan jadi sawit. Kopi membuat unsur hara tanah jadi homogen dan terjadi peningkatan suhu. Kejadian di Sumatera, masyarakat mengubah kebun kopi jadi sawit. Di daerah aliran sungai banyak terjadi perubahan peruntukan dari padi ke sawit. “Ini banyak terjadi di Bengkulu dan Lampung. Karena debit air jauh menurun, siklus hidrologi terganggu.”
Kedua, tata kelola ekonomi masyarakat berubah. Dulu, budaya petani di Indonesia dengan polikultur, misal, tanam cabai, kacang dan lain-lain yang berfungsi mengalihkan hama. “Sekarang berubah, pola monokultur.” Dampak pada masyarakat memang terjadi peningkatan pendapatan. Namun, peningkatan pendapatan itu tak dibarengi kenaikan kesejahteraan petani. “Sebab biaya meningkat karena harus beli pupuk pestisida dan kebutuhan lain,” kata Zenzi.
Ketiga, perubahan tata sosial. Kini, disebut budidaya yakni menjadi produsen murni terhadap komoditas. Terjadi homogenitas pangan, tak multi nutrisi lagi. Kondisi ini, juga berpotensi kehilangan pangan lokal.
Menyikapi kondisi ini, Walhi kembali mengingatkan pemerintah Indonesia, agar menghentikan pengembangan dan perluasan kebun-kebun monokultur skala besar. Lalu, mengevaluasi monokultur yang sudah berlangsung, audit menyeluruh terhadap perizinan yang dikeluarkan, dan menyelesaikan konflik sosial yang terjadi.
Kemudian, menghentikan praktik-praktik pemutihan pelanggaran Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. “Segera moratorium konversi hutan berbasis capaian, prinsip dan kriteria yang jelas, bukan berbatas tahun.”
Deddy menambahkan, sudah saatnya pemerintah Indonesia mengkaji keberadaan investasi rakus lahan dan menggantikan dengan mendorong pengelolaan pertanian berbasis rakyat. Lalu, mendorong pengelolaan kawasan hutan berbasis rakyat dan komunitas. “Juga mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat atas wilayah kelola mereka.”
Walhi juga menyerukan kepada para profesional, akademisi dan penggiat lingkungan dan hutan mulai bekerja serius dalam perlindungan dan pelestarian hutan. Tentu, dengan mengutamakan hak dasar bagi penduduk di sekitar dan dalam wilayah hutan dan mengembangkan pertanian berbasiskan kearifan lokal.
Petisi II Penyelamatan Rawa Tripa
Dalam waktu dekat, Walhi akan merilis petisi II penyelamatan Rawa Tripa. Deddy mengatakan, pada petisi kedua ini tetap meminta dukungan publik untuk penyelamatan rawa tripa. Petisi berisi antara lain pencabutan izin perusahaan yang beroperasi di Tripa dan rehabilitasi kawasan.
“Persoalan Tripa ini, pasca PTTUN yang memenangkan Walhi, tindakan selanjutnya pencabutan. Lalu rehabilitasi. Rehabilitasi ini bicara tentang satu kesatuan kawasan, jadi tak bisa dilepaskan dengan perizinan yang lain. Atas dasar itu juga, ada rencana launching petisi II,” ujar Deddy.
Deddy menyesalkan, kasus di Rawa Tripa, semua berbicara pelanggaran, tapi tindakan terhadap pelanggar belum ada. Penegakan hukum belum jalan.