Mongabay.co.id

Konflik Tapal Batas, Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Siaga

Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut) makin memanas. Sampai Kamis(18/10/12), warga masih siaga dan terus berjaga-jaga, baik di sekitar wilayah masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta maupun di Tombak Haminjon (hutan kemenyan).

Konflik tapal batas tanah adat dengan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) terjadi sejak 2009. Pemetaan hutan adat sudah dilakukan dan lewat penetapan pansus DPRD telah disampaikan ke Kementerian Kehutanan. Namun, sampai sekarang belum ada kabar.  Status belum jelas, perusahaan terus menebang dan membuka hutan yang menyebabkan protes warga.

Keadaan memanas dipicu pernyataan Kapolres Humbang Rabu(10/10/12)  yang mengancam akan menangkap paksa delapan warga yang diduga terlibat bentrok dengan kepolisian dan PT TPL.

Warga panik dan bersiap-siap menghadang polisi. Masyarakat berkumpul dan menjaga kampung, dari anak-anak sampai orangtua. Masyarakat adat sejak awal minta penyelesaian dengan hukum adat. “Sementara polres dan muspida, ngotot warga lewat jalur hukum,” kata Roganda Simanjuntak, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak kepada Mongabay, Rabu(17/10/12).

Hukum adat bisa menyelesaikan masalah ini, dengan cara manggalang indahan na sinaor. Artinya, kedua belah pihak duduk bersama untuk berdamai.  Biaya penyelenggaraan sama-sama ditanggung  kedua pihak karena ada acara makan bersama.

Kekesalan warga cukup beralasan. Pada Senin(8/10/12), ada pertemuan masyarakat dengan muspida dan disepakati penyelesaian secara adat.  “Tapi harus bicara dengan Kapolda dulu. Saat itu, anggota DPRD dan Kapolres bersedia ketemu Kapolda untuk penyelesaian secara adat.”

Ternyata, dua hari setelah itu, ada pernyataan seperti itu dari Kapolres. “Kapolres tidak konsisten karena sampai keluar statemen itu,” ujar dia. Namun, sampai saat ini,  polisi tidak datang. Meskipun begitu, warga tetap berjaga-jaga.

Di bagian lain, ada ratusan warga diutus ke hutan kemenyan, untuk memantau apakah perusahaan beroperasi. “Ternyata masih nebang, masih bikin jalan baru.” Lalu, ada pembicaraan antara warga dan tiga karyawan PT TPL. “Karyawan ketakutan dan menawarkan diri ikut ke kampung menjelaskan situasi di hutan. Karyawan ikut dibawa ke kampung.”

Namun, kabar yang tersebar karyawan dilaporan disandera warga. “Padahal, ada kesepakatan bersama di kampung. Karyawan PT TPL mau. Mereka diperlakukan dengan sangat baik,” ucap Roganda.

Ketiga orang itu diserahkan. Sebelum itu, di kampung, warga dan karyawan sudah membuat kesepakatan tertulis. Karyawan-karyawan ini menyatakan, tidak akan beroperasi lagi di wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta.

Menyikapi masalah ini, AMAN mendesak pemerintah kabupaten, bupati mengambil kebijaksanan dan duduk bersama supaya tak melewati proses hukum, tetapi menggunakan hukum adat.

Pada 2009, ada kesepakatan bersama warga, pemda dan PT TPL, agar kedua pihak tidak beroperasi di wilayah sengketa. “PT TPL tidak boleh di sana, masyarakat juga tetapi warga  masih boleh mengambil kemenyan.” Masyarakat mematuhi. Kala, warga membuat pondok penjaga hutan dan polisi melarang, warga mematuhi. Namun, larangan itu tak berlaku bagi perusahaan yang bisa terus beroperasi menebang pepohonan di hutan, tanpa ada tindakan dari aparat keamanan. Mereka tutup mata.

Lewat Dua Opsi

Roganda mengatakan, dalam waktu dekat ini masyarakat adat berencana datang ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Mereka mendesak merealisasikan segera pengeluaran wilayah adat dari konsesi perusahaan dan kawasan hutan negara sesuai rekomendasi Dewan Kehutanan Nasional (DKN).  Sampai hari ini, di konsesi PT TPL, seluas 269 ribu hektar ini belum ada tapal batas. “Hingga banyak konflik.”

Sekretaris Jenderal Kemenhut, Hadi Daryanto, kepada Mongabay, mengatakan, akan melihat kasus ini dengan jernih dan  sistem yang ada pun dapat berjalan dengan beberapa pilihan. Pertama, mengeluarkan kawasan masyarakat adat dari areal HTI atau kawasan hutan.

“Ini bila benar-benar alas title masyarakat dapat dilacak balik sejak zaman Hindia Belanda,” katanya. Misal, ada dokumentasi register kawasan hutan seperti waktu Kemenhut menyelesaikan kasus penyerobotan Reg 40 Padang Lawas oleh DL Sitorus. “Saat itu  Kemenhut menang di Pengadilan.”  Kedua, melalui revisi tata ruang, dengan bukti-bukti kuat alas title dapat diselesaikan.

Exit mobile version