Mongabay.co.id

Sorotan Pertemuan RSPO: Wilmar Berkasus di Indonesia, Sinar Mas Konflik di Liberia

WILMAR International dan Sinar Mas masih menjadi sorotan dalam pertemuan ke-10, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di Singapura. Dua produsen raksasa sawit ini masih bermasalah di tempat mereka beroperasi. Sinar Mas, bermasalah dengan masyarakat lokal di Liberia, dan sederet kasus kebun sawit Wilmar International di Indonesia.

Forest Peoples Programme (FPP) dan Sawit Watch melakukan peninjauan terhadap 15 perusahaan, salah satu, Wilmar International Group. Yang menjadi sorotan dari perusahaan yang memiliki ratusan ribu hektar konsesi di Indonesia, ini antara lain, PT Asiatic Persada (AP). Organisasi yang terlibat peninjauan kecewa dengan perkembangan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh anak usaha Wilmar ini.

Sejak 2009, berdasarkan laporan dari organisasi lingkungan, Ombudsman Penasehat Kepatuhan International Finance Corporation (IFC)  berupaya memecahkan konflik lahan antara klien mereka, PT AP dan masyarakat lokal. Kini masih proses negoisasi.  Tahun lalu, di Jambi, PT AP, membuldozer rumah-rumah warga Batin Sembilan yang protes ke sungai-sungai, dan polisi melepaskan tembakan.

Kasus lain, anak perusahaan Wilmar di Sumatera Barat (Sumbar), PT. Permata Hijau Pasaman. Perusahaan ini gagal memenuhi permintaan masyarakat Kapa dalam negoisasi lahan yang diambil alih tanpa persetujuan penuh warga. Belum lagi, anak usaha Wilmar di Kalimantan Tengah (Kalteng), PT Mustika Sembuluh. Perkembangan penanganan konflik lahan perusahaan lambat dan masalah polusi air dengan masyarakat adat Dayak Temuan.

“Semua ini meningkatkan pertanyaan tentang apakah RSPO benar-benar dapat melaksanakan standar mereka,” kata  Norman Jiwan, kepala Mitigasi Sosial dan Lingkungan Sawit Watch dalam pernyataan kepada media Kamis(1/11/12).

Pada Oktober, Sawit Watch mengumumkan tak akan ikut dalam pemilihan kembali board executive di RSPO. “Sawit Watch mendesak RSPO mengetatkan sistem mereka,” ucap Norman. RSPO kini mengkaji standar mereka. “Ini jelas perlu pengembangan sistem karena kredibilitas RSPO dipertaruhkan.”

Sementara itu, Sinar Mas, produsen sawit terbesar Indonesia, baru-baru ini menghadapi komplain masyarakat di Liberia, atas lahan 33.000 hektar.  Anak perusahaan Sinar Mas di Butaw, Sinoe County, Golden Veroleum, beroperasi di lahan masyarakat.

Alfred Brownell, kuasa hukum dari Advokat Hijau, mewakili suku Kru yang terkena dampak perkebunan mengatakan, Golden Veroleum jelas melanggar prosedur RSPO dalam pengembangan kebun baru. Sebab, saat memperluas operasi, perusahaan tidak mengumumkan rencana membuka dan menanam sawit serta melaksanakan maupun mempublikasikan penilaian bernilai konservasi tinggi. Berdasarkan prosedur RSPO, perusahaan mesti menghentikan pembukaan sampai proses izin diikuti. “Penduduk desa khawatir tanah diambil tanpa persetujuan mereka sepenuhnya,” ucap Brownell.

Ini pengembangan kebun sawit kedua yang melibatkan anggota terkemuka RSPO yang menuai kontroversi di Liberia.  Tahun lalu, anak perusahaan konsorsium kebun sawit terbesar Malaysia, Sime Darby, telah dikritik karena memperluas operasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal. Perusahaan ini awal membangun perkebunan mendekati 220 ribu hektar dan dihentikan karena menghadapi keluhan.  Perusahaan pun merespon lewat berdialog dengan masyarakat lokal.

Sorotan juga tertuju pada dua kebun sawit yang beroperasi di Kamerun. Salah satu oleh perusahaan yang disebut BioPalm, anak perusahaan berpusat di India, Siva Group. Ia diklaim beroperasi tanpa berkonsultasi di tanah “Pygmies” Bagyeli di Departemen Ocean, Kamerun Barat. Perusahaan mengklaim diri sebagai anggota RSPO, padahal tak tampak dalam list keanggotaan organisasi itu.

Messe Venant,  Koordinator Proyek dari lembaga non pemerintah berbasis masyarakat lokal dan masyarakat adat Okani mengatakan, hutan bagi masyarakat Bagyeli adalah ingatan mereka.  “Jika mereka kehilangan hutan, mereka kehilangan masa lalu, masa kini dan masa depan.” Mereka tak akan bertahan lama di Bagyeli. Menghancurkan hutan juga menghabisi mereka secara pelahan.

Pengembang kebun sawit lain adalah SG Sustainable Oils Cameroon PLC (SGSOC), dimiliki Herakles Farms dari Amerika Serikat yang berafiliasi dengan Herakles Capital, yang juga terlibat dalam bisnis telekomunikasi, energi, infrastruktur, tambang dan agroindustri di Afrika. SGSOC sedang mengembangkan kebun sawit di utara Kamerun. Namun, juga mendapat penolakan dari masyaralat lokal dan lembaga non pemerintah yang peduli dan telah mengumumkan akan keluar dari RSPO.

Kebun sawit di Malaysia juga menjadi kajian FPP. Satu kasus yang sedang diperiksa,  Genting Plantations, klien HSBC, dan anak perusahaan Genting Group yang juga memiliki usaha kasino, hotel and properti di Malaysia. Kedua perusahaan ini anggota terkemuka RSPO.  Genting saat ini konflik lahan berlarut-larut dengan masyarakat Dusun dan Sungai di Kabupaten Tongod, Sabah.

Leonard Alaza mewakili Jaringan Masyarakat Adat Malaysia atau Jaringan Orang Asal SeMalaysia (JOAS) mengatakan,  masyarakat keberatan terhadap perkebunan ini sejak 2000. Warga menggugat ke pengadilan 10 tahun lalu meminta mengakui hak-hak mereka dan membekukan ekspansi perusahaan. “Tapi bukannya mengakui hak-hak kami, sesuai syarat standar RSPO, perusahaan tetap nekad mengambil alih dan menanam di tanah yang bersengketa.”

Kasus lain, IOI-Pelita, juga dimiliki IOI Loders Croklaan, yang mewakili dewan RSPO. Anak usaha mereka, IOI Pelita bersengketa dengan masyarakat Kayan dan Kenyah dari Tinjar Tengah, selama 16 tahun. Marcus Colchester, Direktur Forest Peoples Programme, menjelaskan, sebagai anggota RSPO, IOI perluk menghormati hak-hak masyarakat adat.  “Dalam kasus ini, ketika, setelah penundaan yang lama, Pengadilan Tinggi memutuskan masyarakat memang memiliki ‘hak adat pribumi’ dan konsesi itu batal demi hukum.” Namun, perusahaan memilih mengajukan banding atas putusan ini.

Exit mobile version