Mongabay.co.id

Kendala Utama Pelibatan Masyarakat Adat: Hutan Adat = Hutan Negara

PELIBATAN masyarakat adat dalam program Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) dinilai sulit terealisasi jika pengakuan wilayah adat masih diabaikan pemerintah (Kementerian Kehutanan). Sampai saat ini, hutan adat masih menjadi hutan negara hingga tak ada perlindungan hak pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Untuk itu, perlu perubahan UU Kehutanan dengan mengeluarkan hutan adat dari hutan negara.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengungkapkan masalah ini dalam diskusi REDD+ Untuk Menguatkan Ekonomi Rakyat dan Masyarakat Adat di Indonesia, yang diselenggarakan Satgas REDD+ di Jakarta, Rabu(7/11/12).

“Kalau masyarakat adat mau bikin kelola hutan pake hukum adat dilarang sama UU Kehutanan. Masyarakat adat ada sistem pengelolaan hutan tapi di luar yang diatur UU Kehutanan. Jadi tantangan terbesar, bukan bagaimana mengelola hutan, tapi  bagaimana praktik pengelolaan hutan mereka bisa dilindungi hukum,” katanya.

Meskipun pengakuan hak mereka tercantum dalam strategi nasional REDD+, tetapi tidak dalam UU Kehutanan hingga dalam implementasi berpotensi terkendala bahkan tak mustahil menciptakan konflik baru.

“Makanya, masyarakat adat meminta agar hutan-hutan adat dikeluarkan dari hutan negara. Ini minta dikeluarkan dari hutan negara, bukan dari kawasan hutan,” ujar dia.

Dengan mengeluarkan hak adat dari hutan negara, bukan berarti pemerintah tak akan punya fungsi apa-apa di sana. Pemerintah, tetap berfungsi mengawasi penggunaan kawasan itu. “Itu akan tetap kawasan hutan, cuma jadi hutan adat, bukan hutan negara. Masyarakat adat kan  warga negara Indonesia, jadi kalau sampai ada perubahan fungsi kawasan bisa diproses hukum juga,” ujar dia.

Padahal, dalam praktik, banyak contoh masyarakat adat menjaga  dan mengelola hutan dengan baik secara gratis alias tanpa iming-iming dibayar biaya pengurangan karbon seperti dalam program REDD. Ini diperkuat fakta, dari peta wilayah adat (hampir 3 juta hektar), 70 -80 persen wilayah adat itu hutan dengan kualitas baik.

Sebaliknya, jika wilayah adat masih masuk hutan negara, lahan itu seakan menjadi milik negara. “Tahu-tahu pemerintah sudah kasih izin buat kebun sawit, tambang dan alih fungsi lain.”

Untuk itu, perlu ada perubahan UU jika ingin hutan adat menjadi bagian skema REDD. “Tidak mungkin jalan, konflik di lapangan itu gila-gilaan. Kalau tidak ada perubahan (aturan hukum) REDD bisa jadi hanya bisnis HPH jual karbon. Tetap bukan masyarakat adat lagi. Konflik lagi.”

Dalam upaya mengeluarkan wilayah adat dari hutan negara, AMAN sudah mengajukan judicial review UU No 41 tentang Kehutanan, ke Mahkamah Konstitusi. “Kami tinggal menunggu keputusan. Harapannya bisa diterima,” ucap Abdon.

Jika judicial review ini dikabulkan, maka akan memudahkan realisasi program pelibatan masyarakat adat dalam skema REDD.

Selain itu, katanya, pemerintah juga perlu memberikan kebijakan khusus kepada masyarakat adat.  Sebab, sudah sekian puluh tahun masyarakat adat disingkirkan. “Ini tindakan untuk menempatkan mereka kembali. Kalo masyarakat adat meminta ada kebijakan khusus, bukan minta diistimewakan, tapi minta difasilitasi untuk mengembalikan mereka ke arena. Community forestry tak akan berkembang kalo tak ada kebijakan khusus ini.”

Tak hanya itu. Masyarakat adatpun tidak bisa disamakan di semua daerah. Masyarakat adat di Jawa dan luar Jawa itu berbeda. Di Jawa, sebagian besar sudah tidak ada hukum adat. “Ketika berbicara community forestry di Jawa, tinggal bikin koperasi, semua diatur hukum negara.” Hanya beberapa tempat di Jawa, kata Abdon,  yang masih ada hukum adat, seperti Baduy, dan Tengger.

Sedangkan di luar Jawa, tidak demikian, masih banyak komunitas-komunitas yang mengatur wilayah dengan pranata sosial, politik dan ekonomi yang diwariskan sejak dulu.

Heru Prasetyo, anggota Satgas REDD+ menyetujui, masyarakat sebenarnya sudah mampu menunjukkan contoh-contoh nyata dari usaha mengelola hutan.  Termasuk, produk yang memenuhi berbagai standar internasional dengan harga premium. “Misal kayu yang memenuhi standar ekolabel.”

Penguatan ekonomi berbasis rakyat,  akan mampu mendapatkan manfaat ekonomi lebih baik dan berkeadilan dari upaya pengelolaan hutan.  Dimana manfaat karbon hanya menjadi salah satu aspek pengelolaan.

“Kita harus membentuk dasar kuat untuk membentuk basis pembangunan di tingkat akar rumput yang kokoh. Tanpa kekuatan rakyat ini, apa yang akan kita lakukan akan sia-sia,” ucap Heru.

Abdon menambahkan, andai pemerintah bisa memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat, sebenarnya mereka bisa menerapkan REDD dengan gratis. Sebab, alam dan hutan memang ‘rumah’ yang harus mereka jaga keberlangsungannya. “Karena melindungi hutan itu kewajiban adat. Bagi masyarakat adat, asal hutan kami utuh dan tidak digerogoti, biarlah uang REDD buat pemerintah. Karena bagi masyarakat adat yang penting bisa hidup dari alam, air terjaga, hutan terjaga.”

Kelembagaan Lemah

Namun, Abdon tak memungkiri, di dalam masyarakat adat masih ada persoalan, seperti kelembagaan yang lemah. “Saya menemukan di lapangan, masyarakat adat kelembagaan lemah dan mudah dimanipulasi untuk ditipu. Menurut saya, kalau mau jadi community forestry maka kelembagaan harus diperkuat.”

Mengapa kelembagaan lemah? Menurut dia, jauh sebelum AMAN terbentuk, sebenarnya pemerintah dan partai politik sudah ada membentuk lembaga adat bohongan. “Mau dia majelis adat, dewan adat.” Bahkan, di AMAN, ditemukan ada anggota yang terlibat dalam perusakan wilayah adat sendiri. “Kita tindak secara administrasi.”

Untuk itu, jika mau melestarikan hutan, harus ada program dengan sumber daya cukup guna memperkuat praktik masyarakat adat. Juga pembersihan masyarakat adat. Dalam arti  jangan menerima masyarakat adat sembarangan. “Harus lihat benar, cek benar dan diagnosis benar.”

Tak hanya masyarakat adat boneka buatan pemerintah dan parpol, masyarakat adat ‘galau’ juga ada. Apa itu masyarakat adat galau? Menurut Abdon, masyarakat adat yang krisis dan masih dalam pertarungan kegalauan. Contoh, pemerintah datang dengan hutan desa, mau diterima atau tidak. “Bagi yang galau, tidak diterima tak ada akses, mau diterima dibilang menggadaikan.”

Sebab, dengan hutan desa maupun hutan kemasyarakatan (HKN), hak asal usul masyarakat adat diubah pemerintah sebagai hak pemberian.  “Jadi apa betul hutan adat akan selesai dengan ada hutan desa dan HKN? Masyarakat adat yang galau bilang iya, yang kuat bilang tidak. Masyarakat adat ada yang tak sekokoh yang kita bayangkan.”

Exit mobile version