, , ,

6 Perusahaan Sawit Cemari Sungai di Merauke

Sekitar enam perusahaan sawit dalam proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, mencemari tiga sungai yang mengalir di kawasan Suku besar Malind Bian di Kota Merauke. Tiga sungai itu masing-masing,  Sungai Kum, Bian, dan Maro. Akibat pencemaran limbah perusahaan, ikan-ikan mulai banyak mati, seperti gabus dan mujair. Tak hanya ikan,  buaya juga naik ke daratan.

Enam perusahaan sawit berskala besar beroperasi di kawasan Malind Bian, Merauke, yaitu PT Dongin Prabhawa (Korindo Group), PT Bio Inti Agrindo (Korindo Group), PT Central Cipta Murdaya (CCM), PT Agriprima Cipta Persada, PT Hardaya Sawit Papua dan PT Berkat Cipta Abadi. Keenam perusahaan ini telah beroperasi di kawasan Malind Bian.

Carlo Nainggolan dari Sawit Watch mengatakan,  dari hasil investigasi dampak pencemaran limbah 10 perusahaan sawit,  menyebabkan ketiga sungai berubah warna dan mengeluarkan bau tak sedap. “Masalah air bersih tidak cukup bagi warga yang bermukim di sekitar kali itu,” katanya di Jayapura, Jumat (21/12/2012).

Perkebunan sawit di sepanjang Kali Bian dan Kali Maro, menimbulkan masalah besar bagi pemilik ulayat. Perusahaan membersihkan lahan dengan membakar, mengakibatkan air tercemar, situs budaya masyarakat, dan kekayaan alam hilang. Perusahaan sawit, katanya, harus bertanggung jawab memulihkan dan memberikan kompensasi kepada di sepanjang pesisir Kali Bian, Kaptel, dan Kali Maro. “Persediaan air bersih minim. Sekarang Papua Selatan kemarau panjang. Kami menduga akibat aktivitas perusahaan besar di sana. Ada tiga perusahaan besar milik Korea yang beroperasi.”

Warga Malind Bian mulai resah karena hutan-hutan ditebang untuk MIFEE. Perusahaan sawit PT Korindo Tunas Sawaerma, PT Bio Inti Agrindo, PT Berkat Cipta Abadi, dan PT Papua Agro Lestari, membuka hutan tanpa memperhitungkan dampak lingkungan. “Ditambah lagi kontrak 35 tahun. Kami memperkirakan, kalau kontrak diperpanjang hingga 120 tahun, pemilik tanah bukan hanya kehilangan hak ulayat tapi hutan mereka makin rusak.”

Menyangkut masa kontrak, yang bakal menjadi masalah adalah hak guna usaha (HGU) diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUP Agraria). Berdasarkan pasal 29 UU Agraria, HGU dapat diberikan maksimal 25 tahun (perusahaan dengan kebutuhan tertentu, dapat diberikan maksimal 35 tahun). Setelah habis jangka waktu, HGU dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.

Pengaturan mengenai HGU dapat ditemui pada PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Menurut aturan itu, setelah sebagaimana diatur dalam UU Agraria, bisa diberikan pembaruan hak. “Ini masalah serius yang harus diperhatikan pemerintah setempat. Perusahaan dan pemerintah harus memberikan kejelasan kepada pemilik lahan.”

Dalam rilis Sawit Watch, tahun 2011, lebih dari 11,5 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia. Proyek MIFEE, dimulai Agustus 2010 seluas 1, 2 juta hektar merupakan hutan alam, tempat sumber makanan pokok bagi Suku Malind Anim. Pada September 2012,  Badan Perencanaan Investasi Daerah (Bapinda) Merauke, mencatat 46 perusahaan mendapat izin. “Dari 46, 10 perusahaan sawit. Perusahaan ini di Sungai Digoel, dan Malind Anim,” kata aktivis Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Nelis Tuwong.

Sepuluh perusahaan sawit itu adalah PT. Dongin Prabhawa (Korindo Group) PT. Papua Agro Lestari, PT. Bio Inti Agrindo (Korindo Group),  PT. Mega Surya Agung, PT. Hardayat Sawit Papua, PT. Agri Nusa Persada Mulia, PT. Central Cipta Murdaya (CCM), PT. Agri Prima, PT. Cipta Persada dan PT. Berkat Cipta Abadi. Aktivitas perkebunan sawit dimulai sejak 1997 melalui PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo Group.

Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malind Bian mendesak pemerintah mencabut dan membatalkan izin lokasi sejumlah perusahaan perkebunan dan sawit di Kabupaten Merauke. “Aktivitas perusahaan kami saksikan telah membongkar hutan adat yang selama ini kami lindungi, jaga dan pelihara. Ini menghilangkan berbagai macam obat-obatan tradisional,” kata Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken.

Kini, warga sulit mencari sagu, binatang buruan, bahan pakaian tradisional serta perlengkapan adat yang tersedia di hutan. Bagi mereka, hutan adat rusak sama dengan menghilangkan budaya. Ibu-ibu yang dulu menimba air bersih di sekitar rumah, kini harus berjalan kaki berkilo-kilo meter mencari air bersih.

Perusahaan, katanya, datang ke kampung tak pernah memberi informasi lengkap, jelas dan benar. Tidak juga melibatkan masyarakat adat dan pemilik tanah sejak awal rencana investasi. “Begitu juga peraturan dan perizinan, tidak disampaikan terbuka, jelas dan terperinci, termasuk dampak yang berpotensi muncul dari izin-izin perusahaan itu terhadap tanah adat kami.”

Dalam proses sosialisasi, konsultasi, verifikasi marga pemilik, dan negosiasi perusahaan, kata Ndiken, tidak pernah melibatkan marga keseluruhan. Perusahaan hanya mengajak ketua marga dan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk aparat pemerintah distrik agar tanah adat digusur dan dibongkar. Pelibatan ini seperti hadir dalam proses penyusunan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), konsultasi dan penilaian Amdal.

Tak hanya itu. Perusahaan menyewa tanah adat dengan harga murah. Tahun 2007, sewa tanah selama 35 tahun Rp50 ribu, naik menjadi Rp70 ribu, sekarang Rp350 ribu per hektar. “Kami minta harga tanah naik menjadi Rp5 juta, perusahaan tidak mau.” Perusahaan, menjanjikan mendirikan sekolah dan puskesmas, tapi tidak dipenuhi hingga kini.

Paustinus Ndiken, Sekretaris Lembaga Adat Malind Bian mengatakan, kehadiran perusahaan di tanah adat menimbulkan kerusakan besar. “Ikan, kura-kura, dan binatang air lain banyak mati.” Air sungai dan rawa untuk kebutuhan warga sehari-hari tercemar limbah perusahaan. “Mereka harus berjalan jauh untuk mencari air bersih. Karena hutan habis dibabat, warga kesulitan mencari sagu, binatang buruan, dan kulit kayu sebagai bahan pakaian tradisional. Hutan adat yang rusak itu sama dengan menghilangkan budaya kami,” kata Paustinus.

David Dagijay, warga Suku Yeinan mengungkapkan,  satu perusahaan sawit, Wilmar Group, berupaya negoisasi dengan warga pemilik lahan agar mengizinkan tanah untuk menanam sawit. Namun, masyarakat bersikeras menolak. Wilmar Group berencana membuka lahan sawit 40 ribu hektare. Masyarakat tak mau dibohongi seperti tetangga mereka, Suku Malind Anim.

“Kami masih tarik ulur untuk sepakati kehadiran perusahaan itu. Kan ada enam kampung di Yeinan. Jadi, dua kampung sudah kasih izin, Kampung Bupol dan Poo. Sedangkan, empat kampung lain belum.” Wilayah Suku Yeinan meliputi Kampung Toray, Poo, Erambu, Tanas, Bupul dan Kweel. Yeinan bagian dari Suku besar Malind Bian.

Bupati Merauke, Romanus Mbaraka mengatakan, masih menyeleksi sejumlah perusahaan yang akan investasi di Merauke. Menurut dia, MIFEE berdampak kerusakan lingkungan dan sosial. “Terjadi pendangkalan di Sungai Bian dan para pemilik lahan hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,