Indonesia & Vietnam Sepakat Melawan Perdagangan Satwa Ilegal Antar-negara

Pemerintah Indonesia dan Vietnam telah menandatangani sebuah Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) untuk melindungi satwa liar, termasuk reptil, kura-kura dan trenggiling.

Kesepakatan ini ditandatangani tanggal 27 Desember 2012 silam di kota Ho Chi Minh dengan menghadirkan perwakilan dari kedua negara seperti dilansir oleh vietnamnet.vn. Dari Vietnam Menteri Pertaninan dan Pembangunan Pedesaan (MARD) Ha Cong Tuan menyatakan bahwa kedua negara ini akan mempromosikan pertukaran informasi dan bekerjasama untuk mengendalikan aktivitas penyelundupan dan perdagangan satwa liar antar-negara. Menurut Menteri Ha Cong Tuan, kedua negara juga sepakat meningkatkan penegakan hukum di lapangan.

Sementara itu, delegasi Indonesia yang diwakili oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Darori menyatakan bahwa Indonesia dan Vietnam memiliki kesamaan, kedua negara merupakan sentra dari penyelundupan satwa liar antar-negara seperti trenggiling, penyu dan kura-kura serta reptil di kawasan Asia Tenggara.

Penyu, masih diyakini memiliki khasiat khusus untuk manusia, yang membuat harganya tinggi di pasar satwa ilegal. Foto: Dhenok Hastuti

Kerjasama yang erat antara kedua negara ini akan memberi kontribusi signifikan terhadap perlindungan satwa dan konservasi alam. Sementara bagi Indonesia secara khusus kesepakatan ini akan membantu mencegah perburuan liar yang masih marak dan upaya-upaya penyelundupan yang terus terjadi.

Indonesia dan Vietnam adalah anggota dari ASEAN Wildlife Enforcement Network (ASEAN-WEN), Convention on International Trade n Endangered Species (CITES) dan Convention on Biological Diversity (CBD).

Berbagai kasus penyelundupan dan perdagangan liar terhadap satwa Indonesia masih terus terjadi hingga kini.

Penyu dan trenggiling saat ini menjadi komoditas yang cukup tinggi permintaannya di luar negeri, terutama di wilayah Asia Timur seperti Cina, Taiwan, dan Vietnam. Dijelaskan, penyu-penyu tersebut umumnya diawetkan dan dijadikan pajangan. “Karena di negara-negara itu, penyu-penyu ini jadi semacam kepercayaan. Ada keyakinan bahwa penyu itu melambangkan sesuatu yang spesial. Selain itu, ada juga yang senang mengkonsumsi dagingnya,” ujar Darori. Penyu hijau termasuk hewan terancam punah dan dilindungi oleh pemerintah melalui Undang undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES), di mana penyu masuk dalam status Appendix 1.

Perdagangan penyu dari Indonesia sudah berlangsung sejak era 1950-an. “Selama 29 tahun, sejak 1961, Jepang telah mengimpor tak kurang dari 200.000 cangkang penyu sisik dari Indonesia,” ungkap Direktur EksekutifEverlasting Nature of Asia (ELNA), Hiroyuki Suganuma, dalam sebuah diskusi di Japan Foundation Jakarta 8 September silam.

Sementara dalam kasus lainnya, pada hari Jumat 15 Juni 2012 silam, sekitar 12,7 ton trenggiling  hasil sitaan  periode 2011 sampai 2012 dimusnahkan. Secara simbolis dilakukan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut) oleh Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, dihadiri Bareskrim Mabes Polri, Kejaksaan Agung RI. Rafles Panjaitan, Direktur Penyidikan dan Perlindungan Kawasan Hutan Kemenhut,  mengatakan, trenggiling yang akan dimusnahkan terdiri dari 12.677, 18 kilogram dan 95, 96 kilogram sisik.

Ironisnya, perdagangan satwa ini ternyata tak hanya dilakukan oleh orang sipil saja, namun dalam beberapa kasus justru dilindungi dan dilakukan oleh pihak aparat keamanan yang seharusnya membantu mencegah perdagangan satwa liar ini.

Hasil investigasi lembaga ProFauna Indonesia, yang dilakukan sejak bulan Juli 2012 menemukan berbagai bukti dokumen terkait izin angkut yang diberikan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau BKSDA Ternate, Maluku Utara kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat untuk mengangkut sejumlah burung nuri keluar dari wilayah Ternate menuju Ambon. Delapan ekor burung nuri yang dikirimkan dari Ternate tersebut ada empat jenis, yaitu nuri bayan (Eclectus roratus), nuri kepala hitam (Lorius domicella), nuri ternate (Lorius garrulus) dan nuri kalung ungu (Eos squamata). Dua jenis burung yang diangkut, yaitu nuri bayan dan nuri kepala hitam adalah burung yang dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam Undang-Undang ini cukup jelas disebutkan bahwa perdagangan dan pemeliharaan satwa dilindungi itu dilarang dan pelanggarnya bisa dikenai sanksi penjara 5 tahun atau denda Rp 100 juta.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,