Mongabay.co.id

Data Deforestasi RI Meragukan, Metodologi Dipertanyakan

Kondisi hutan gambut yang dihancurkan untuk perkebunan sawit. Foto: Zamzami

Data terakhir deforestasi Indonesia, 2009-2011 yang dirilis Kementerian Kehutanan (Kemenhut), cukup rendah, 450 ribu hektar per tahun. Angka ini termasuk hasil memasukkan hutan tanaman ke dalam perhitungan deforestasi. Namun, angka ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan. Benarkah sebesar itu? Bagaimana metodologi perhitungannya?

Untuk itu, pada 7-8 Februari 2013, Satgas REDD dan Kemenhut pun bertemu dengan sekitar 50 an pakar dan pemerhati kehutanan di Jakarta. Pertemuan ini, membahas dan memberikan masukan mengenai metodologi perhitungan deforestasi Indonesia, yang masuk akal dan kuat.

Para pakar dari berbagai negara, seperti Brazil, Inggris dan Amerika Serikat, hadir. Mereka sangat antusias berbagi pengalaman dalam berbagai pendekatan dan metodologi untuk perhitungan deforestasi.

“Ada perbedaan perhitungkan deforestasi antara Brazil dan Indonesia. Kalau kami, deforestasi itu semua hutan alam yang hilang dan ditebang, termasuk untuk perkebunan dihitung deforestasi. Di Indonesia, hutan alam ditebang jadi kebun kayu bukan masuk deforestasi,” kata  Tasso Azevedo, mantan Kepala Badan Kehutanan Brazil, usai diskusi Menuju Metodologi Perhitungan Deforestasi yang Kuat, di Jakarta, Jumat (8/2/13)

Azevedo mengatakan, dengan metodologi seperti itu, data deforestasi bisa berubah-ubah dengan cepat. Dia mencontohkan, jika awal tahun satu kawasan hutan ditebang untuk kebun, lalu ditanami, akhir tahun saat pohon tumbuh, bukan deforestasi. Dia tak ingin mengatakan, metode ini salah atau benar. Dia hanya bilang, defenisi deforestasi Brazil dan Indonesia, berbeda.

Namun, saat diskusi, dia mengingatkan, Indonesia, harus hati-hati dalam menentukan data deforestasi.  “Bagai saya, perlu tentukan angka yang persis, angka deforestasi riil. Menurut saya, prioritas bikin akurasi. Ini penting untuk tahu deforestasi dan prosesnya.” Untuk itu, perlu strategi lebih jelas agar mendapatkan data lebih baik dalam setiap tahun.

Menurut Azevedo, di Brazil, mereka membangun sistem pengawasan dan perhitungan tingkat deforestasi dalam sembilan tahun. “Kuncinya adalah transparansi dan konsistensi.” Bagi dia, terpenting membuat proses di mana data tersedia bagi pembuat keputusan agar bisa bertindak cepat dan publik untuk analisis maupun hanya buat dilihat.

Tanggapan dari para peserta lain rata-rata meminta kejelasan tentang perhitungan klasifikasi lahan untuk menghindari interpretasi mendua dari data Kemenhut. Para peserta juga mengusulkan perlu mempertimbangkan bentuk data lain dan pengembangan metode perhitungan untuk meningkatkan keakuratan.

Yuyu Rahayu, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi,  Kemenhut, berusaha menjelaskan. Menurut dia, membuat data itu tidak mudah. Meskipun begitu, Kemenhut akan berusaha menyajikan data lebih kredibel ke depan. “Perbedaan bukan masalah, ada alasan untuk itu. Ini bagus untuk didiskusikan dan buat menyusun rencana ke depan,” katanya.

Dia setuju sistem yang digunakan Kemenhut perlu dikembangkan. “Itu tak masalah.” Namun, metode, dan data sudah benar. “Saya tidak mau orang luar bilang data kami salah karena pakai metode lain.”

Menurut Yuyu, Kemenhut telah membuat peta dan memasang di dalam website resmi kementerian. Namun, jika dicek ke website mereka sampai Rabu(13/2/13) data terakhir hanya dua halaman penjelasan tanpa data deforestasi dan perhitungannya. Link website Kemenhut bisa di lihat di sini.

Dalam wawancara Mongabay, pada pertengahan 2012, Yuyu mengatakan hal serupa. Proses menyajikan data deforestasi sampai menjadi “Indonesia Bersih” (data dari satelit sudah bagus dan terbaca) tidak mudah, memerlukan waktu sekitar dua tahun.  Di Indonesia,  ada daerah-daerah tertentu yang berawan hingga kadang tak diperoleh data. “Kita pantau pakai satelit, jika tak terpantau karena awan, sampai setahun tak dapat juga maka akan dipakai data tahun sebelumnya.”

Coverage citra satelit di Indonesia, untuk mencari deforestasi sekitar 240 an titik dengan resolusi 30 meter. Liputan satelit (scenes) itu sekitar pukul 9-10 pagi.

Untuk satu liputan, kadang sampai lima scenes baru relatif bersih.  Lima scenes ini dipilih dalam satu sampai dua tahun. “Mulai pemantauan biasa Januari sampai Desember.” Dia mencontohkan, data deforestasi 2009-2011 sebesar 450 ribu hektar. Dari pemantauan itu, hasilnya sekitar 890 ribu hektar, lalu dibagi dua 445 ribu hektar, menjadilah rata-rata sekitar 450 ribu hektar per tahun.

Angka ini, kata Yuyu, memang hanya perkiraan berdasarkan pantauan satelit. “Jadi jika dilakukan pemantauan ulang, bisa saja berubah atau berbeda.” Namun, dia yakin, perbedaan tidak akan jauh berbeda. Meskipun Yuyu memberikan penjelasan panjang lebar, tetapi belum mau memberikan data bagaimana memperoleh angka deforestasi 890 ribu hektar antara 2009-2011.  Angka ini dibagi dua menjadi angka rata-rata deforestasi tiga tahun itu.

Kepala Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto dalam pembukaan diskusi itu mengingatkan, proses transparansi dan metodologi perhitungan deforestasi yang kuat dan tepat sangat penting dalam membangun kepercayaan publik akan data yang disajikan. Bagaimanapun, kata Kuntoro,  tujuan paling utama adalah mendapatkan kepercayaan publik.

REDD, katanya, dalam ruang lingkup luas lebih dari sekadar menjaga pohon di hutan berdiri utuh. Namun, kesejahteraan mereka yang bergantung mata pencaharian dari hutan. “Menjaga kesejahteraan mereka adalah kunci keberhasilan dalam menjaga hutan.”

Exit mobile version