Mongabay.co.id

Berlaku Efektif, EUTR Baru Soal Legalitas Kayu Belum Kelola Lestari

Uni Eropa resmi menjalankan kebijakan menghentikan pemasukan dan penggunaan kayu haram (ilegal) bagi industri perkayuan di wilayah 27 negara anggota lewat European Timber Regulation (EUTR) sejak 3 Maret 2013.

EUTR mengharuskan para importir kayu di Eropa memastikan bahwa kayu yang mereka impor dari sumber-sumber legal. Perusahaan pengimpor wajib memiliki sistem mumpuni guna melacak asal muasal semua produk kayu—termasuk pulp dan kertas serta menganalisis legalitas produksi sesuai peraturan dari negara asal.

Dengan pengaktifan kebijakan  ini, penegak hukum di negara-negara Uni Eropa dapat menyita kayu haram yang masuk dan menjatuhkan hukuman bagi importir maupun pedagang yang melanggar.

Namun, EUTR baru sebatas pemenuhan legalitas produk, belum melihat apakah produk itu dengan cara lestari atau tidak.  Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia mengatakan, identifikasi dan pengelolaan hutan bernilai konservasi tinggi misal, bukan obyek yang dilindungi EUTR. “Walaupun kebijakan ini langkah positif, masing-masing pelaku usaha diharapkan dapat tetap menerapkan green procurement policy,” katanya di Jakarta, dalam rilis kepada media, Selasa(5/3/13).

Meskipun begitu, WWF menyambut baik kebijakan ini. Sejak 2010, setidaknya dua laporan penting mengenai kayu haram masuk ke Uni Eropa telah dirilis WWF untuk mendukung advokasi EUTR.

Kebijakan ini, juga sejalan dengan pemerintah Indonesia yang telah lama mendorong negara-negara pengimpor kayu dan produk perkayuan tidak menjadi pasar kayu haram dari Indonesia.  Baik yang langsung dikirim dari Indonesia maupun melalui negara-negara perantara.

Kayu haram, membawa kerugian besar secara ekonomi. Menurut United Nations Environment Programme (UNEP) diperkirakan mencapai Rp 300 triliun. Tak hanya itu, kayu haram, juga mengancam kehidupan masyarakat sekitar hutan, kelestarian hutan alam, keragaman hayati dan ekosistem penting.

Indonesia, relatif diuntungkan dengan implementasi EUTR dan diharapkan bisa menambah nilai perdagangan kayu dari negeri ini. Sejak 2009, pemerintah menerapkan secara luas verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan sampai saat ini sudah diterapkan pada lebih dari 200 perusahaan di seluruh Indonesia.

Sedangkan,  WWF Indonesia, melalui inisiatif Global Forest&Trade Network (GFTN) mendorong pengelolaan hutan lestari dan pemenuhan bahan baku kayu ramah lingkungan. “WWF bekerja sama dengan pelaku usaha melalui pendampingan dan edukasi,” ucap Nazir.

Kini GFTN telah memiliki 38 anggota dengan cakupan area hutan yang keanggotaannya mencapai hampir 2 juta hektar di Indonesia. “Pemberlakuan EUTR ini jelas membantu upaya konservasi di Indonesia. Semestinya akan makin banyak perusahaan kehutanan menerapkan tata kelola kayu dengan benar, hingga program GFTN makin relevan.”

Exit mobile version