Mongabay.co.id

IPA: Penyelesaian Kemiskinan Tak Nyata, Capaian MDGs Sebatas Gejala

Indonesia menjadi tuan rumah bagi High Level Panel (HLP) of Post-2015 Development Goals pada 25-27 Maret ini di Bali. Ini untuk menyusun roadmap baru bagi agenda pembangunan dunia pascaberakhir millenium development goals (MDGs). Agenda ini menjadi perhatian bagi komponen rakyat di Indonesia, salah satu organisasi yang berhimpun dalam Indonesian Peoples Alliance (IPA). IPA menganggap pencapaian MDGs yang dianggap sukses itu tidak sepenuhnya menggambarkan realitas rakyat khusus di negara dunia ketiga. Sesungguhnya, implementasi MDGs di setiap negeri, terutama dunia ketiga berhenti pada gejala-gejala.

Ario Adityo dari Institute for National and Democracy Studies, menilai sikap positif ini pelecehan terhadap rakyat dunia. “Implementasi ini jauh dari akar persoalan yang menjadi sebab program-program yang dirumuskan dalam MDGs,” katanya dalam pernyataan IPA kepada pers, di Jakarta, Jumat (22/3/13).

Dia meyakini, pimpinan dunia secara diam-diam sepakat MDGs dicapai secara signifikan melalui program-program karitatifnya. Optimisme mereka ini berkebalikan dengan laporan Sekjen PBB terkait MDGs, yang menyatakan, pelaksanaan dan pencapaian MDGs adalah mixed. Laporan itu justru memperlihatkan perumusan MDGs hanya pada gejala, belum menyasar pada akar masalah.

Melihat fakta ini, proposal IPA sesungguhnya mendorong evaluasi serius terhadap metode Global Partnership for Development yang dipakai dalam MDGs. Model relasi yang dibangun dalam skema pembangunan global saat ini adalah upaya memperkuat hubungan dependensi negara di dunia ketiga dengan negara di dunia pertama yang kental dengan kolonialisasi.

Syarif Arifin dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane mengatakan, metode dalam MDGs justru melegitimasi praktik penghisapan terhadap negeri-negeri dunia ketiga. Menurut perkiraan PBB, sejak tahun 2000 negara-negara terbelakang telah memberikan sumber daya untuk negara-negara industri rata-rata hampir US$500 miliar per tahun. Angka ini mencapai puncak pada 2008 menjadi US$891 miliar. “Ini bukan Global Partnership for Development melainkan Global Partnership for Colonialization.”

Global Partnership for Development diterjemahkan dalam mega proyek di berbagai belahan dunia dengan skala dan modal besar seperti Mekong Region Development dan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Indonesia.

Abetnego Tarigan Direktur Eksekutif  Walhi Nasional menyatakan, MP3EI adalah megaproyek ambisius pemerintah atas nama kemiskinan dan mengatasi pengangguran.  “Ini justru memperluas eksploitasi sumber daya alam dan mengancam keberlanjutan ekologis kawansan. Dimana rakyat Indonesia akan menjadi korban.”

Proposal MP3EI, katanya, didagangkan Presiden keluar negeri hingga berpotensi kehilangan sumber daya alam bagi kemakmuran rakyat. “Ini hanya akan memenuhi segelintir elit kuasa modal dan elit politik di dalam negeri dan justru memperluas ekspansi kapitalis monopoli menjarah kekayaan alam Indonesia.”

Senada dengan Rahmat dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra). Dia mengatakan, konsep clustering MP3EI dipastikan rakus tanah dalam ekspansi dahsyat untuk koridor-koridor pengembangan pangan dan energi. Dalam catatan Agra, 2010-2011, land grabbing di sektor perkebunan kayu senantiasa naik 15 persen atau 1,6 juta hektar per tahun. Di sektor perkebunan tebu 500.000 hektar. Di sektor taman nasional 27, 87 juta hektar . Untuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE) 1.1 juta hektar.

Data ini belum memasukkan sektor pertambangan, yang makin masif. “Inilah sandaran pembangunan di Indonesia, pemiskinan mayoritas rakyat Indonesia yaitu kaum tani.” Rahmat mengatakan, land grabbing  yang luas di pedesaan merupakan faktor utama dari pengangguran di kawasan ini.

Laporan Bappenas 2010 tentang MDGs menyebutkan, ada target MDG yang tercapai dan adapula yang on the track menuju target.  Antara lain, MDG I disebutkan pemerintah berhasil menurunkan angka kemikinan penduduk Indonesia yang berpendapatan US$1 per hari, dari 20,6 persen tahun 1990 menjadi 5,9 persen tahun 2008.

Pemerintah juga mengklaim pada MDGs 3 tercapai pada angka 99,73 persen dan 101,99 untuk SD dan SMP serta melek huruf perempuan usia 15-24 sebesar 99,85 tahun 2009. Sementara target MDGs 6 tercapai untuk penurunan angka tuberkolosis 443 kasus tahun 1990 menjadi 244 kasus per 100 ribu penduduk tahun 2009.

“Terang saja terjadi penurunan angka kemiskinan jika parameter miskin hanya dilihat dari pendapatan US$1  per hari. Angka ini terang di bawah parameter kemiskinan ekstrem menurut bank dunia yaitu US$1,25  per hari,” kata Rudi HB Daman dari Gabungan Serikat Buruh Independen. Klaim ini, seolah olah cukup meggembirakan, namun terlihat seperti polesan semata.

Di tengah kemiskinan  itu, pemerintah memanfaatkan luasnya cadangan tenaga produktif itu dengan penerapan labor export policy, yaitu pengiriman warga negara Indonesia ke luar negeri menjadi buruh migran.

Retno dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI-Indonesia) mengatakan, pemerintah memakai program ini untuk membiayai pembangunan, seperti komitmen pemerintah dalam Global Forum on Migration and Development (GFMD). Melalui skema ekspor tenaga kerja, setiap tahun Indonesia mengekspor lebih dari 800 ribu tenaga kerja murah, mayoritas perempuan-perempuan dari perdesaan. “Skema migrasi terpaksa ini menghasilkan remitansi lebih dari Rp100 triliun setiap tahun.”

Sikap IPA

Implementasi MDGs selama ini harus menjadi catatan kritis dalam usaha formulasi pembuatan agenda pembangunan pasca-2015.  Agenda ke depan, setidaknya harus disandarkan pada kedaulatan guna terbebasnya kerjasama global yang berwatak predasi dan kolonial. IPA memandang penting mengubah paradigma pembangunan yang dipakai dalam formulasi MDGs. “Paradigma pembangunan yang bersandarkan pada bantuan dan perdagangan harus ditinggalkan, dan diganti program-program demokratis nasional,” kata Abetnego, Vocal Point IPA.

Selain itu, menjalankan reforma agraria yang didasarkan pada kehendak masyarakat tani merupakan jalan utama dasar bagi pembanguan industri nasional yang kuat. Pembiayaan sosial dapat diperoleh dari pajak transaksi finansial–selama ini dianulir demi berlomba menjadi negara tax haven untuk menarik investasi.

Pasar dalam negeri pun akan tetap tumbu subur dengan meningkatkan upah dan mengontrol harga-harga kebutuhan dasar. Pembangunan yang berorientasi ekspor dan menarik investasi asing, sudah berulangkali gagal. Sebagai gantinya,  pembukaan keran investasi asing harus disertai beberapa kewajiban, seperti, transfer teknologi, penetapan batas maksimum capital flight, self sufficient oriented market, serta pencegahan kebocoran pajak.

Konferensi Asia Afrika 1955,  merupakan salah satu pengalaman bahwa kerjasama luar negeri bisa tanpa saling mendominasi dan menghisap.“Pasca-2015, agenda pembangungan dan formulasi setidaknya harus menempatkan tuntutan-tuntutan rakyat yang selama ini diperjuangkan dan menjadi masalah pokok di negeri-negeri dunia ketiga.”

Indonesia,  sebagai negara penyelenggara harus mampu menjadi pemimpin dalam mendorong agenda demokratis nasional.  “Agar tak terjebak pada formulasi yang hanya mengidentifikasi masalah-masalah pada tingkat permukaan dan melupakan akar masalah dari problem itu.” Kedaulatan dan dan kerjasama yang saling menguntungkan antarnegeri haruslah menjadi platform bersama yang dapat memandu hubungan internasional di masa depan.

Exit mobile version