Mongabay.co.id

Para Pakar Kritisi RUU Pemberantasan Perusakan Hutan

Temuan di lapangan, masih ada pembuatan kanal-kanal di hutan gambut dalam

Kalangan pakar hukum dan kehutanan mengkritisi draf RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (PPH). Menurut mereka harus ada kajian akademis terlebih dahulu guna mendudukkan berbagai persoalan penting baik dari sistematika, pengertian sampai urgensi pembuatan UU ini.

Shinta Agustina, pakar hukum pidana dari Universitas Andalas dalam kajian menyimpulkan, ada permasalahan  pengaturan berbagai hal dalam RUU ini hingga pembahasan harus ditunda dan dilakukan kajian akademis terlebih dahulu.  “Kajian ini penting untuk mendudukkan beberapa persoalan penting,  antara lain, kebutuhan pengaturan tindak pidana ini dalam suatu UU khsusus, ataukah revisi UU yang ada?” katanya. Lalu, sinkronisasi dengan ketentuan yang sudah ada atau antar pasal-pasal dalam RUU ini, terutama sistematika pengaturan tindak pidana, ancaman pidana, serta kewenangan penegak hukum.

Tak hanya itu, saat ini pemerintah bersama DPR segera membahas RUU KUHP dan RUU KUHAP, hingga RUU ini sebaiknya juga disinkronkan dengan kedua RUU itu. Pembahasan RUU KUHP menunjukkan, sistem hukum pidana Indonesia masih akan mengutamakan kodifikasi sebagai sumber utama hukum pidana positif.  Untuk itu, semua tindak pidana termasuk yang diatur dalam ketentuan khusus diharapkan diatur ke dalam KUHP Nasional.

Beberapa catatan Shinta terhadap RUU ini, antara lain, pertama,  mempertanyakan kajian kebutuhan UU ini guna penegakan hukum terhadap perusakan hutan. Dia menduga belum ada kajian, karena pasal-pasal yang mengatur terutama tindak pidana dalam RUU ini tak memperlihatkan sistematika dan pengelompokan yang jelas. “Tidak memperlihatkan pertimbangan matang akan pemilihan sanksi pidana, bahkan terdapat pengaturan ganda atas satu perbuatan dalam beberapa pasal.”  Dengan kata lain, tak ada sinkronisasi antar pasal-pasal dalam RUU ini, alih-alih dengan UU lain yang sudah ada.

Kedua, ketiadaan sistematika pengaturan dan pengelompokan tindak pidana  yang rasional. RUU ini hendak mengatur  tindak pidana pembalakan liar, penambangan liar, dan perkebunan liar. Seharusnya, sistematika awal bagi penyusunan tindak pidana ini berdasarkan tiga kelompok ini. Baru dalam tiap kelompok disusun lagi secara sistematis berdasarkan bentuk atau jenis perbuatan. “RUU ini tidak disusun dengan sistematika demikian, hingga pengaturan tindak pidana di antara ketiga jenis tadi tidak memperlihatkan urutan yang baik.”

Ketiga, ketiadaan rasionalisasi ancaman pidana. Hampir semua ketentuan pidana, kata Shinta, tidak dapat memberikan penjelasan tentang rasionalisasi atau pertimbangan tentang jenis dan berat ringan pidana  (strafmaat) yang diancamkan. Namun, dalam beberapa UU hukum pidana khusus dapat dilihat model pengancaman yang masuk akal.

Keempat, ketiadaan sinkronisasi antarbeberapa pasal. Dia mencontohkan, rumusan Pasal 1 butir 11 dan 12 tidak memperlihatkan pengertian pemanfaatan hutan kayu yang sama. Padahal,  kedua pasal memberikan pengertian tentang suatu istilah subtansi penting dalam RUU ini.

Kelima, pembentukan lembaga baru dalam RUU ini sungguh memperlihatkan pemikiran penyusun RUU yang tidak memahami permasalahan penegakan hukum pidana. “Permasalahan penegakan hukum pidana tidak dapat diselesaikan hanya membuat lembaga baru, yang diberi kewenangan sama dengan lembaga yang sudah ada. Ini justru akan menimbulkan permasalahan baru, tumpang tindih kewenangan di antara berbagai lembaga.”

Kritisi juga datang dari Sudarsono Soedomo, pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam kajian dia, menyebutkan, perusakan hutan suatu gejala dari berbagai sebab. Selama berbagai sebab  ini masih ada, proses perusakan hutan akan berjalan terus.  “Jadi, sangatlah naif bila hendak memberantas perusakan hutan tanpa menghilangkan penyebabnya. RUU ini hanya pain killer yang tidak mengobati penyakit sesungguhnya.”

Bahkan, katanya, berbagai penyebab dorongan perusakan hutan itu sebagian besar diciptakan pemerintah sendiri. Kontribusi terbesar dari pemerintah terhadap perusakan hutan adalah dalam transfer hutan alam yang tidak lengkap dan setting tarif yang tidak kompetitif. Pengalihan pengelolaan hutan alam kepada swasta tidak tuntas, hingga masih banyak menyisakan ruang bagi intervensi pemerintah.

Sementara, dengan tingkat tarif sangat rendah, pengelola swasta cenderung mengakuisisi areal hutan yang sangat besar, seringkali jauh melampaui kemampuan untuk menjaga. Tarif sangat rendah mendorong eksploitasi berlebihan hingga menimbulkan kerusakan hutan. “Ini standard teori ekonomi. Pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap struktur transfer hutan alam kepada swasta dan penentuan tarif.”

Menurut Sudarsono, ada beberapa pengertian dasar perlu diperbaiki karena sangat rancu atau berpotensi menimbulkan kerancuan di kemudian hari. Seperti kata “komunitas” dalam definisi hutan dalam RUU ini berbeda dengan kata “persekutuan” dalam definisi hutan di UU 41/1999. “Apakah makna komunitas sama atau identik dengan makna persekutuan? Mengapa tidak digunakan saja kata persekutuan?

Dia juga mempertanyakan perusakan hutan dimana yang hendak diatasi RUU ini. Jika hendak mengatasi perusakan hutan di kawasan hutan, definisi kawasan hutan harus mengikuti UU 41/1999. Dalam RUU itu disebutkan, “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Jadi, definisi perusakan hutan Pasal 1 angka 3 RUU ini tak dapat dibenarkan. Definisi kawasan hutan dalam UU Kehutanan, sudah jelas hingga tak dapat diberi keterangan restriktif yang bisa mengubah arti dari defenisi aslinya.

Begitu juga definisi pembalakan liar seperti tercantum dalam Pasal 1, kata Sudarsono, sangat berbahaya. Dalam RUU itu disebutkan, “Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.” Padahal, sah dan tidak sah sangat tergantung kekuasaan pemerintah. Jadi, pemanfaatan hasil hutan kayu di lahan milik mungkin tidak sah jika pemerintah menyatakan demikian. “Apakah memanfaatkan hasil hutan kayu dari hutan miliknya sendiri tanpa persetujuan pemerintah termasuk pembalakan liar?

Menurut dia, dengan mengoreksi sejumlah pengertian  itu, struktur dari RUU ini akan berubah. Implikasinya, apakah benar diperlukan lembaga baru khusus menangani perusakan hutan? “Saya sangat yakin lembaga baru ini tidak diperlukan.”

Senada dengan Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar IPB. Dia juga mengkritisi beberapa pengertian dalam RUU ini. Misal, tentang definisi kawasan hutan. Pengertian dalam RUU ini bermakna bahwa,  kawasan hutan bukan hanya milik negara juga hutan hak  yang ditetapkan sebagai hutan tetap.  Meskipun kenyataan,  belum ada hutan hak yang ditetapkan sebagai hutan tetap, kecuali hutan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam penataan ruang.

Lalu mengenai perusakan hutan. Dalam RUU itu disebutkan, perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah. Implikasi defenisi ini, antara lain, perusakan hutan tak termasuk hutan hak karena belum pernah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Lalu, perusakan hutan oleh  pemegang izin tak termasuk yang diatur  UU ini, padahal, terencana dan dalam jumlah besar.

Dia juga menyoroti defenisi pembalakan liar. Realitasnya, kata Hariadi,  pembalakan liar yang terorganisasi  hanya di hutan alam baik produksi, lindung dan konservasi serta hutan tanaman Perhutani.  Jadi, tak ada pembakalan liar di hutan tanaman  di luar Jawa atau hutan hak.  Masalah utama, katanya, antara lain, karena penetapan kawasan hutan belum selesai, pengelola di tingkat tapak absen  atau  kredibilitas rendah dan keputusan perusahaan oleh banyak faktor seperti invetasi berlebihan mapun korupsi. 

Hariadi juga menggarisbawahi pengertian perusakan hutan terorganisasi dalam RUU ini. Sebab, praktik penegakan hukum pembalakan liar dengan UU No. 41/1999 selama ini sudah banyak mengenai warga masyarakat di dalam dan sekitar hutan. “Jadi, penting merumuskan definisi yang bisa melindungi kelompok ini.” Dia mengusulkan rumusan baru.  Jika UU ini hanya fokus pada kejahatan skala besar dan berdampak luas, perusakan hutan semestinya dikaitkan dengan perdagangan dan kebutuhan industri besar. Sebaliknya, tidak mencakup kebutuhan kayu lokal dan rumah tangga.

Begitu juga pengertian “terorganisasir” seharusnya, bukan hanya dikaitkan jumlah orang, melainkan perluasan batas yurisdiksi tindakan itu. “Misal, antara penebang, pengangkut, pabrik yang mengolah kayu dan pedagang hasil pabrik itu, menjadi kesatuan aksi. Berdasarkan pengertian ini, tindakan “terorganisasi” adalah tindakan direncanakan matang dan tindakan ini dapat dibuktikan.

Masih banyak lagi pasal-pasal yang dikritisi oleh Hariadi.  “Apabila beberapa pengertian dan pasal-pasal itu tidak diperbaiki, sasaran UU ini tidak akan tercapai. Konsekuensi dari perbaikan pengertian-pengertian itu akan mengubah struktur dan isi RUU ini.”

Koalisi Tolak RUU PPH 

Koalisi masyarakat sipil pun mendesak pembatalan pengesahan RUU PPH, dan meminta pemerintah dan DPR memperbaiki UU Kehutanan No 41 tahun 1999.  Mereka meminta, revisi UU Kehutanan dengan mengakomodir kepentingan masyarakat yang turun temurun memelihara hutan dan mengelola sumberdaya alam serta penindakan hukum atas kejahatan kehutanan perusahaan.  Mereka menilai, pengesahan RUU PPH sama sekali tidak mencerminkan upaya penegakan hukum tetapi syarat titipan kepentingan pasar dan perusahaan.

Deddy Ratih dari Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, tidak ada urgensi RUU PPH diundangkan. Jika mengacu RUU ini, penegakan hukum maupun korupsi malah diakomodir. “Pemberantasan tindak korupsi oleh korporasi justru mendapatkan tempat untuk lakukan tindakan itu.”

Berdasarkan hasil analisis koalisi, RUU PPH ini cacat hukum dan substansi. Isi RUU ini antara lain, tidak akan mampu menyelesaikan persoalan perusakan hutan, mempercepat legalisasi pertambangan dan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan menghambat pemberantasan korupsi di sektor kehutanan. 

Lalu,   tidak sinkron antara beberapa pasal, mengacaukan sistem hukum pidana, bertentangan dengan putusan MK tentang definisi kawasan hutan, mengkriminalisasi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Juga, tidak sistematis, tidak jelas apakah RUU ini UU tindak pidana atau UU undang administrasi,  pemegang IUPHHK-Hutan Alam dan Perhutani tidak termasuk dalam UU ini padahal kerusakan hutan terencana dan dalam jumlah besar.

Klik di sini jika ingin melihat Draf RUU Pemberantasan Perusakan Hutan

Exit mobile version