Mongabay.co.id

Agenda Paripurna 2 April, Pembahasan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan Tak Libatkan Publik

Perjuangan masyarakat adat mempertahankan hak atas hutan sebagai tempat hidup mereka lewat judicial review UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, di Mahkamah Konstitusi, masih menanti hasil. Di tengah upaya ini, Komisi IV DPR-RI diam-diam mempercepat kelahiran UU Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPH). Kehidupan masyarakat adatpun terancam.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyatakan, pembahasan RUU PPH ini tertutup dan diam-diam. “Masyarakat adat yang sangat tergantung pada hutan dan pihak yang paling akan terkena dampak dari UU ini jika disahkan, tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU ini,” katanya dalam rilis kepada media, di Jakarta, Kamis (28/3/13).

Tak hanya itu, konsultasi publik kepada organisasi-organisasi masyarakat sipil lain, tidak pernah dilakukan. Organisasi masyarakat sipil termasuk AMAN terkejut ketika mengetahui DPR berkeinginan segera mensahkan RUU ini pada 2 April 2013. “Padahal, proses konsultasi publik seharusnya dilakukan.”

RUU ini sangat membahayakan masyarakat adat. Mengapa? Pertama, RUU ini dibangun dengan ketidakjelasan hukum mengenai sistem tenurial. Hingga kini MK masih belum mengeluarkan putusan terkait dengan permohonan uji materiil atas UU Kehutanan No. 41 tahun 1999  diajukan AMAN pada tahun 2012.  “Artinya, pengaturan mengenai hutan adat hingga kini masih harus mengikuti ketentuan UU Kehutanan, di mana hutan adat dikonstruksikan sebagai hutan negara di wilayah masyarakat adat,” ujar dia.

Kedua, dengan kedudukan ini, ditambah definisi lemah dalam RUU PPH, ancaman kriminalisasi terhadap jutaan anggota masyarakat adat yang hidup tergantung hutan, tak akan terelakkan. RUU ini, bisa mengkriminalisasi anggota komunitas yang mengambil pohon sebesar tongkat (diameter 10 cm).  “Sekadar membuat pagar rumah, misal, atau mempidanakan anggota komunitas yang membawa parang atau sejenisnya, masuk ke dalam hutan.”

Begitu juga definisi kejahatan terorganisir dalam RUU PPH ini, bisa memenjarakan dua orang anggota masyarakat adat yang masuk ke dalam hutan adat tanpa izin dari pihak berwenang. “Tidak disangsikan, masyarakat adat akan kehilangan semua akses terhadap hutan, jika RUU ini disahkan sebagai UU.”

Erasmus Cahyadi, Direktur Advokasi AMAN mengungkapkan, rencana pengesahan RUU PPH pada 2 April, menunjukkan, reformasi hukum sektor kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam jauh dari harapan. Pembahasan RUU ini juga tak punya sense pada kemungkinan perubahan UU Kehutanan melalui uji materiil UU Kehutanan.

“Pembahasan hingga rencana pengesahan RUU PPH ini juga menunjukkan ketidakperdulian upaya serius masyarakat sipil mendorong revisi UU Kehutanan, serta pembahasan RUU Masyarakat adat.” Pembahasan dan pengesahan RUU PPH ini seharusnya menunggu hasil revisi UU Kehutanan selesai dan RUU Masyarakat Adat disahkan. “UU yang dihasilkan pun tidak berbenturan.”

AMAN pun mengeluarkan pernyataan sikap. Pertama, mendesak segera hentikan pembahasan RUU PPH ini karena mengancam kehidupan dan penghidupan jutaan masyarakat adat di nusantara. RUU ini juga berpotensi besar mengkriminalisasi sekian banyak anggota komunitas masyarakat adat yang hidup tergantung hutan.

Kedua, mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat dengan catatan substansi harus konsultasi terbuka. RUU PPH, hanya dapat dibahas setelah ada payung hukum kuat untuk melindungi masyarakat adat berikut hak-hak mereka.

Ketiga, AMAN meminta segera revisi atas UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 berlandaskan semangat koreksi atas akar persoalan kehutanan. Lalu, merancang UU Kehutanan lebih adil dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak.  “Revisi itu harus mampu memastikan persoalan pengukuhan kawasan hutan, persoalan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat dan persoalan-persoalan lain.”

Masyarakat sipil baru pekan lalu mengetahui RUU ini. Tiba-tiba sudah akan disahkan sebagai hasil komisi IV dan dibawa ke paripurna 2 April 2013. Koalisi Anti Mafia Kehutanan pun langsung mengirimkan surat resmi penolakan pembahasan RUU ini ke Komisi IV pada Kamis (21/3/13).

“Itu untuk dapat draf RUU susah sekali. Pakai surat resmi tak digubris. Akhirnya dapat juga lewat cara-cara lain dan ternyata 2 April ini sudah mau dibawa ke paripurna,” kata Dede Shineba dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Isi RUU ini banyak mendapat kritikan. Dari defenisi, sistematika, sampai prosedur. “Sebenarnya siapa yang mau disasar dari UU ini?” Dede mencontohkan, kategori pohon dalam RUU ini berdiameter 10 cm, dengan tinggi 1,5 meter di atas permukaan tanah. Masyarakat sekitar hutan kadangkala pakai kayu hutan untuk keperluan rumah tangga, misal buat pagar, kandang.  Belum lagi ancaman defenisi ‘terorganisir’ yang disebutkan tertera dalam RUU PPH itu. Masyarakat mencari kayu berdua sudah masuk kategori perusakan.  “Jadi kriminalisasi masyarakat sekitar hutan itu pasti terjadi.”

Proses pembahasan UU tak ada naskah akademik– yang seharusnya dilakukan.  “Terkesan pembuatan hanya insert-insert. Secara proses sudah wajib dibatalkan, tertutup pula,” ucap Dede.

Tak jauh beda diungkapkan Tama S Langkun dari Indonesian Corruption Watch (ICW). Menurut dia, biasa UU sebelum lahir dilakukan harmonisasi dengan UU lain. Itulah fungsi balai legislasi. “Ini tak terjadi. Karena banyak berlawanan. Misal, penahanan dalam RUU ini 2 x 48 jam, bertentangan dengan KUHP 2 x 24 jam. Soal penyelundupan kayu, sudah ada di UU Kepabeaan. Anggap pembuat UU ini tak pahami substansi dan teknik legal draf. Disharmoni dan tak sistematis,” ucap Tama.

Dengan risiko besar kriminalisasi masyarakat sekitar hutan, dia menduga RUU inisiatif DPR ini banyak ‘titipan’. Jika DPR tetap nekad mengesahkan UU, banyak celah untuk digugat atau di-judicial review. “Jika jadi disahkan, kami sudah siapkan untuk judicial review. Pokoknya, hari itu DPR sahkan, hari itu juga kami ajukan judicial review,” kata Dede.

Myrna Safitri, Sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria mengungkapkan, RUU PPH diasumsikan berjalan di atas kondisi sempurna jika, pertama, pengukuhan kawasan hutan sudah selesai, dengan hak-hak masyarakat diselesaikan. Kedua, legalitas pemanfaatan hutan oleh masyarakat melalui perizinan sudah diberikan sesuai target rencana strategis Kementerian Kehutanan (Kemenhut). “Padahal kenyataan tidak. Masih banyak kawasan hutan belum selesai ditata batas dan capaian pemberiam izin untuk masyarakat masih rendah.”

Dalam RUU itu, katanya, memberi perkecualian kepada masyarakat peladangan tradisional. Namun, definisi peladangan tradisional itu sangat terbatas. Pada bagian penjelasan RUU, misal, mengartikan peladangan tradisional itu sama dengan peladangan berotasi. Faktanya, sistem peladangan masyarakat ( farming system) jauh lebih kompleks, seperti ada pola wanatani. Masyarakat menebang pohon pun, kadang untuk kepentingan manajemen pertanian lokal yang baik misal, peremajaan.

Untuk itu, kata Myrna, jika ingin melindungi masyarakat perlu klausul jelas dan mengacu pada fakta kekinian. “Hingga RUU ini tak rentan mempidana masyarakat.”

Exit mobile version