Mongabay.co.id

Komnas HAM: Tunda RUU PPH sampai Ada Jaminan Hak-hak Masyarakat

Aksi tenda petani Jambi di depan Kementerian Kehutanan yang masih berlangsung. Sementara, rangkaian aksi dengan petani jalan kami 1.000 Km ke Jakarta, sudah sampai Lampung. Mobil logistik mereka, 4 Januari 2013, dilempar molotov dan terbakar. Foto: Sapariah Saturi

Karena mendapat protes dari berbagai kalangan, sidang paripurna pengesahan yang sedianya 2 April 2013, ditunda. Bukan batal, hanya tertunda sementara.

Komisi Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta DPR RI menunda pembahasan Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusahan Hutan (RUU PPH) sampai ada jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat adat maupun lokal yang hidup bergantung dari hutan. Demikian salah satu poin rekomendasi Komnas HAM yang dirilis di Jakarta, Senin (1/4/13).

Menurut Sandra Moniaga, Anggota Komnas HAM, perbaikan RUU ini antara lain, mengenai pengakuan keberadaan dan hak-hak asasi masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal, maupun merumuskan ulang ketentuan-ketetuan tentang asas-asas. Terpenting lagi, perubahan harus dilakukan secara partisipatif.

Rekomendasi lain, Komnas HAM berharap RUU PPH bisa benar-benar menjadi instrumen yang menjamin hak atas lingkungan hidup bersih dan sehat serta hak atas rasa aman. Komnas HAM meminta, rumusan RUU PPH yang mengatur kehutanan dan sumber daya alam lain memuat prinsip-prinsip pemajuan dan penegakan hak asasi dari masyarakat.

Lembaga ini juga meminta, DPR mempertimbangkan pembaruan tata kelola hutan di Indonesia secara menyeluruh dengan pendekatan komprehensif. Termasuk, pemberantasan perusakan hutan dan sumber daya alam lain, melalui penyempurnaan UU Kehutanan No. 41/1999 dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009.

DPR juga diminta mendukung upaya pemerintah dan lembaga negara dalam mempercepat pengukuhan kawasan hutan di Indonesia. Dengan berorientasi pada penyelesaian konflik pengelolaan dan penguasaan tenurial di kawasan hutan maupun pencegahan tindak pidana korupsi di sektor ini.

Rekomendasi Komnas HAM ini, berdasarkan kajian dari naskah RUU PPH per 21 Februari 2013. Dari draf RUU itu, menurut lembaga ini,  RUU PPH tak mengacu pada prinsip-prinsip HAM umum maupun pengakuan masyarakat hukum adat. Keberadaan masyarakat hukum adat tidak diakui dalam RUU ini. “Ini bentuk penegasian substansial terhadap UUD 1945,” katanya.

Lalu, asas-asas acuan dalam RUU PPH, juga mengabaikan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sesuai Tap No IX/MPR-RI/2001. RUU ini,  berusaha menitikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan terorganisasi, dengan pengecualian kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Meskipun ada pengecualian lewat “perladangan tradisional”,  bukan berarti RUU ini mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sepenuhnya. “Masyarakat hukum adat memiliki beragam pola pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya perladangan tradisional.”

RUU ini pun dinilai satu langkah mundur jika disahkan tanpa mengatur keberadaan masyarakat hukum adat.  “Masyarakat hukum adat diatur dalam UU Kehutanan, sedangkan pada RUU PPH tidak.” Istilah “masyarakat hukum adat” dalam RUU ini, hanya ada dalam rumusan penjelasan pasal 7 yang mengatur pencegahan perusakan hutan, masyarakat menjadi salah satu subyek yang diakui. Kata “tradisional” lebih sering digunakan dalam RUU ini.  “Namun, tidak jelas apakah istilah tradisional dapat diartikan sebagai masyarakat hukum adat atau masyarakat lain yang pola hidup tradisional,” ujar dia.

Naskah RUU PPH juga mengabaikan realitas sosial tentang keberadaan 31.957 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dokumen Kementerian Kehutanan dan BPS 2007-2009 menyebutkan, sekitar 71,06 persen dari 30 ribuan desa ini, menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.  Tak hanya itu, RUU ini jelas- jelas mengabaikan realitas tumpang tindih klaim hak atas tanah di kawasan hutan yang banyak di Indonesia.

RUU PPH secara normatif tak sesuai UUD 45, UU Pembaruan Agraria dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta mengabaian realitas sosial.  “Ini bisa mengancam hak asasi masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan.” Untuk itu, Komnas HAM meminta Ketua DPR RI c.q. Ketua Panja RUU Pemberantasan Perusakan Hutan menunda pembahasan.

Paripurna Ditunda

Buntut protes dan kritik dari berbagai pihak, rapat paripurna pengesahan RUU PPH  yang rencana digelar Selasa (2/4/13), ditunda. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung seperti dikutip dari Indonesiarayanews.com, mengatakan, RUU PPH salah satu RUU terlama yang dibahas DPR.  Selama tujuh kali masa sidang paripurna, DPR tak kunjung mengesahkan RUU yang dinilai tidak jelas ini. “Ada mekanisme dalam pembahasan yang mungkin kurang terbuka, ini sudah tujuh kali dilakukan pembahasan, harusnya sudah disahkan,” katanya di Jakarta.

Atas kecaman dan protes ini terhadap RUU ini, Pramono berjanji membatalkan paripurna pengesahan RUU PPH pada 2 April ini.  Jika ada pernyataan resmi, dia berjanji akan menyampaikan keberatan kepada komisi IV. “Besok kebetulan yang mimpin rapat saya, jadi besok tidak saya sahkan.”

Meskipun begitu,  Pramono tak bisa menjamin RUU ini tak disahkan DPR. Sebab, dalam agenda rapat paripurna, DPR akan menggelar sidang tiga kali pada April 2013.  “Yakni, 2 April, 9 April dan penutupan masa sidang 12 April 2013.” Jika pada sidang-sidang paripurna selanjutnya tak memimpin sidang, Pramono tak dapat memastikan masuk atau tidak bahasan pengesahan RUU PPH dalam agenda.

Dia menyarankan, pihak yang berkeberatan segera membicarakan masalah ini kepada fraksi di DPR secepatnya, sebelum, masa sidang berakhir.

Exit mobile version