Mongabay.co.id

Koalisi: Lanjutkan Moratorium Berbasis Capaian Tanpa Jeda Waktu

Jika ada jeda waktu sebelum moratorium periode selanjutnya, walau sebentar, maka peluang itu bisa menjadi ajang pemberian izin-izin baru.

Setelah berjalan dua tahun, kebijakan moratorium hutan dan lahan akan berakhir Mei 2013. Koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden RI segera melanjutkan moratorium berbasis capaian langsung setelah periode pertama berakhir, tanpa ada jeda waktu.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, meskipun capaian periode pertama masih jauh dari harapan, tetapi moratorium harus dilanjutkan. Jika tidak, keamburadulan tata kelola hutan akan makin parah, antara lain sistem perizinan belum dibenahi dan konflik belum diselesaikan.

Moratorium periode lalu,  baru sebatas penundaan izin-izin, belum ada indikator capaian.  Problem sektor kehutanan pun masih menumpuk, dari kasus perizinan, konflik agraria sampai kawasan-kawasan yang secara ekosistem penting tetapi belum diselamatkan, seperti gambut dan lain-lain.

Belum lagi, pada masa itu malah muncul aturan-aturan yang mengarah ke upaya pemutihan kesalahan pengusaha lewat PP 60 dan 61 tahun 2012 yang intinya berisi pelepasan kawasan hutan dikenal dengan “PP keterlanjuran.” PP ini muncul guna mengakomodir keterlanjuran-keterlanjuran investasi ‘dampak’ perubahan RTRW. Dengan kata lain, upaya ‘pemutihan’ investasi-investasi di kawasan hutan.  Teranyar, ada RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU PPH). Dalam RUU ini kerusakan hutan hanya dilihat dari penebangan liar, bagi pengusaha berizin merusak hutan dan lingkungan tak masuk hitungan.  “Berbagai aturan ini sebenarnya malah kontraporduktif dengan moratorium,” katanya di Jakarta, dalam jumpa pers Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, Rabu(3/4/13).

Koalisi khawatir moratorium tak diperpanjang karena kepentingan politik 2014. “Karena kelompok-kelompok yang menentang itu pebisnis besar. Politik berbiaya tinggi jadi ini satu alat tawar menawar, “ ucap Abetnego.

Selain itu, ada sinyalemen lain, moratorium tetap diperpanjang tetapi ada masa kosong beberapa saat sebelum periode lanjutan berjalan. “Kami minta langsung dilanjutkan setelah Mei ini tanpa ada masa kosong. Jika ada masa kosong sebentar saja ini bisa dimanfaatkan untuk melepas izin-izin.”

Sebenarnya, kata Abetnego, kesempatan ini bisa menjadi momentum besar bagi SBY, yang periode ke depan tak mungkin maju lagi menjadi presiden. Di masa-masa akhirnya kekuasaan,  SBY bisa menoreh prestasi dengan mendorong perbaikan fundamental dalam tata kelola hutan di negeri ini. “Ini seharusnya jadi momentum luar biasa bagi dia jika ingin meninggalkan sesuatu yang baik bagi Indonesia.”

SBY,  semestinya bisa meletakkan pijakan aturan yang benar-benar memastikan kualitas lingkungan hutan dan kesejahteraan masyarakat terjaga serta bagaimana fungsi hutan sebagai sistem lingkungan, terpenuhi.  “Pemerintah saat ini harus tinggalkan legasi yang kuat agar pemerintahan selanjutnya bisa mengikuti dan berbuat lebih baik.”

Tak jauh beda diungkapkan Yuyun Indardi, Forest Political Adivser Greenpeace. Menurut dia, moratorium harus diperpanjang berbasis capaian. Perpanjangan moratorium kedua ini, katanya, jangan sampai ada jeda dari periode pertama, walau hanya sebentar. “Ini berbahaya. Modus sekarang ini alih fungsi hutan lindung ke produksi. Jadi, jika ada celah walau sebulan, bisa keluar izin-izin,” ujar dia.

Ungkapan senada dari Zenzi Suhadi,  Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi Nasional. Dia mengatakan, mayoritas daratan termasuk hutan Indonesia, sudah dikuasai empat sektor, perkebunan, tambang, hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH). “Jika tak ada perpanjangan moratorium,  maka izin-izin di kawasan hutan dan gambut akan keluar lagi, terlebih menjelang pemilu 2014.”

Dia menyuguhkan data tren pengeluaran izin di masa jelang pemilu. Pada 2008, izin prinsip pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 8.990 hektar menjadi 149.345 hektar pada 2009. Lalu, surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan tentang izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan pada 2008  masih seluas 83.567 hektar, pada 2009 naik drastis menjadi 228.613 hektar. Begitu pula, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang pada 2008  baru 30.852 hektar, tetapi 2009 menjadi 85.040 hektar. Sama juga izin HTI, dari 2008 sebesar 546.584 hektar menjadi 1.603.461 hektar pada 2009.

Moratorium pun jangan hanya perpanjangan tetapi harus bisa memperkuat cara pikir pemerintah dalam mengelola hutan. Moratorium pertama, hanya berbasis izin, dan tak efektif karena cenderung mengedepankan pertimbangan politis, kepentingan dan kewenangan pemegang wewenang regulasi, serta pemegang hak kelola wilayah. Keadaan ini tak memberikan efek signifikan terhadap perbaikan fungsi lingkungan. “Pertimbangan-pertimbangan pun lebih politis dan ekonomis, bukan pertimbangkan hutan untuk memperbaiki diri dan mendukung kehidupan sekitar.”

Tama S. Langkun, dari Indonesian Corruption Watch (ICW) juga angkat bicara. Dia mengatakan, kerugian negara karena korupsi kehutanan sangat besar bahkan tak terbatas. Untuk itu, ICW mendorong penengkan hukum sektor kehutanan menjadi prioritas.

Dengan kerugian negara dan alam yang tak terbatas ini,  katanya, maka perpanjangan moratorium menjadi penting.  Karena, belajar pada pola korupsi yang berkembang  penghancur hutan bukan hanya illegal logging tapi para pemilik izin besar. “Ini soal sistem, ini soal izin.”

Terlebih lagi, saat ini, banyak kasus sektor kehutanan sampai pengadilan dan vonis diterima para pejabat pemberi izin, tetapi perusahaan tak tersentuh. “Seolah-olah kalo kasus korupsi dan ada yang divonis itu selesai. Ga ada cerita bagaimana aset dikembalikan. Bagaimana hutan  yang digundul itu dikembalikan. Kita harap moratorium itu dilanjut dengan mekanisme lebih bagus. Moratorium jawaban terkait kepatuhan pemerintah jalankan konstitusi. Jadi tak ada alasan hentikan moratorium,” ucap Tama.

Hutan di Cagar Alam Morowali menderita dan porak poranda karena tambang. Izin bisa keluar seenaknya dan perusahaan bisa menambang lalu pergi tanpa pemulihan hutan kembali. Carut marut sistem perizinan ini menjadi salah satu alasan pentingnya perpanjangan moratorium berbasis capaian. Foto: Jatam Sulteng
Exit mobile version