Mongabay.co.id

RUU PPH Jalan Terus, DPR Janji Perhatikan Masukan Koalisi

“Kami untuk bikin rumah, kayu dari hutan. Kalo kedapatan bikin rumah, apa kami kena hukum ini? Masyarakat di sana tak bisa bikin rumah karena tak ada kemampuan beli batu.” Demikian ungkapan Haposan Sinambela,  mewakili warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut), saat ikut  rapat di Komisi IV, Senin(8/4/13).

Lahan dan hutan kemenyan warga di dua desa ini masuk wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL), milik Sukanto Tanoto. Pemerintah memberi izin kepada perusahaan, tanpa memperhatikan tanah-tanah masyarakat adat. Dia mengutarakan, hutan kemenyan tempat mereka hidup sejak turun menurun ditebangi perusahaan ‘berizin’ untuk diganti kayu putih. Warga protes. Penangkapan oleh polisi kerap dialami warga. Satu konflik belum selesai, akan muncul UU PPH, yang berpotensi menjerat mereka dengan kasus lain. Dia makin khawatir.

Senin pagi itu, Sinambela, bersama koalisi masyarakat penyelamat hutan rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI membahas RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU PPH). Berbagai lembaga, seperti Walhi, HuMa, AMAN, KPA, Komnas HAM sampai DKN memaparkan pandangan dan kritikan pada RUU ini. Mereka meminta DPR  membatalkan RUU ini dan menilai lebih urgen revisi UU Kehutanan. Komisi IV berjanji membahas masukan pada rapat panja, tetapi tak akan menunda pengesahan RUU pada rapat paripurna, April ini.

Rahma Mary, dari HuMa menyampaikan, poin-poin pandangan koalisi (download di sini). Menurut dia, koalisi menyadari, pemberantasan perusak hutan penting.  Namun, dia mempertanyakan, mengapa harus membuat UU baru, padahal cukup merevisi UU Kehutanan. “Kenapa revisi UU Kehutanan no 41 tak jadi prioritas?  Mengapa harus bahas UU baru?” katanya.

Dia khawatir. Selama pengakuan hutan adat belum ada, maka segala tafsir bisa berlaku bagi masyarakat. Rahma mencontohkan, defenisi terorganisir, dua orang atau lebih, dan diameter kayu 10 cm, dengan tinggi 1,5 meter dalam tafsiran rentan terkena masyarakat adat.  “Sudah ada contoh, masyarakat memungut kayu di hutan terkena hukuman.” Sebaliknya, bagi perusahaan atau pengusaha, bukan melarang, justru membolehkan asalkan ada izin dari menteri.

RUU ini juga hadir tanpa naskah akademik. “RUU ini tak penuhi syarat formil dan materil, usul revisi UU Kehutanan. Jika disahkan kami akan judicial review,” kata Rahma.

Tak jauh beda dengan Nur Hidayati, Kepala Departemen Kampanye dan Advokasi Eksekutif Nasional Walhi. Dia mengatakan, logika dasar RUU PPH sudah salah. “Seolah-olah dengan ada izin serta merta pengelolaan hutan baik. Padahal izin-izin diberikan dengan proses bermasalah.”

UU ini juga berada di tengah situasi ketidakjelasan pengukuhan kawasan hutan, dan pemberian izin tak benar, yang menimbulkan konflik. “Banyak konflik karena banyak izin tak benar dan berujung kriminalisisi pada masyarakat.  Keadaan ini juga terjadi karena ada kesenjangan. Izin-izin lebih banyak kepada korporasi daripada kelompok masyarakat  yang ingin memanfaatkan hutan.  “Hingga banyak ketimpangan dalam pemanfaatan hutan bagi masyarakat Indonesia.”

Menurut dia, jangan sampai RUU PPH ini hanya menjadi ajang kebijakan kejar target kerja DPR. “Kalau ini nanti disahkan, DPR harus sadar ikut berdarah-darah dengan konflik yang akan terjadi di masa mendatang.”

Erasmus Cahyadi,  Direktur Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan, hukum apapun  harus mempertegas status kuasa atas kawasan hutan. Jadi, dalam membuat UU baru,  harus mengoreksi UU Kehutahan yang selama ini tak pro dan tak memberikan keadilan masyarakat.

Jika memang ingin menyasar penegakan hukum bagi perusak hutan,  mestinya dengan merevisi UU Kehutanan tahun 2009. Saat ini, katanya, kuasa kawasan hutan belum jelas, hingga berpotensi melanggar hak-hak masyarakat. “Dalam UU Kehutanan, hutan adat masih diletakkan sebagai bagian hutan negara. Kami perkarakan di Mahkamah Konstitusi dan keputusan belum keluar. RUU apapun yang berkaitan dengan sektor kehutanan mesti dibuat jika tata kuasa atas kehutanan itu sudah jelas.

Dede Shineba, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun angkat bicara. Menurut dia, koalisi prihatin dengan kerusakan dan berbagai permasalahan hutan di Indonesia. “Tetapi apakah UU bisa mengatasi hal itu?” UU ini,  hanya mengatur dua hal, pembakalan liar dan soal penggunaan izin tak sah. Jika masalah perusakan hutan, sudah ada UU Kehutanan yang mengatur. Dede menyarankan, guna memperkaya RUU ini harus ada harmonisasi dengan UU lain.

Mengenai penunjukan kawasan hutan, masyarakat adat sedang uji materil di MK. Jika dikabulkan dan UU sudah disahkan tentu akan revisi lagi. “Kerusakan hutan memang harus jadi perhatian dan harus diatasi, tetapi RUU ini harus diperbaiki lagi.”

Dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN) pun menyerahkan pandangan resmi kepada Komisi IV (lihat di sini). Martua Sirait, Anggota Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim DKN mengingatkan kembali di kawasan hutan ada sekitar 30 ribu desa. “Hingga defenisi-defenisi yang digunakan dalam RUU ini akan sangat berbahaya.” Belum lagi, dari 120 juta hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru 16 persen selesai pengukuhan. Padahal, izin-izin legal masih bertumpang tindih pada desa-desa itu.

“Prihatin, tumpang tindih ini belum selesai. Saat yang sama RUU atur itu tanpa selesaikan akar masalah. Kami dorong percepatan penetakan kawasan hutan. Pandangan kami sama, bukan buat UU ini tapi amandemen UU Kehutanan. Masalah ada di sana.”

Sandra Moniaga dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun mengemukakan pandangan resmi lembaga ini (lihat di sini). Komnas HAM, meminta DPR RI menunda pembahasan Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusahan Hutan (RUU PPH) sampai ada jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat adat maupun lokal yang hidup bergantung dari hutan.

Koalisi menyinggung pula, pembahasan RUU PPH terkesan tertutup. Di dalam website DPR pun tak ada progres pembahasan RUU ini. Bahkan, masih tercantum di sana judul lama: RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar.

DPR menyakinkan betapa penting UU ini. Meskipun begitu, mereka akan menerima masukan koalisi dan membahas dalam rapat. Sidang komisi ini dipimpin Firman Soebagyo dan Herman Khaeron. Hadir pula beberapa anggota panja Komisi IV.

Berulang kali para kru Komisi IV ini mengatakan, RUU PPH sudah mengalami proses panjang, memasuki sidang keenam bahkan dibahas pada dua periode DPR,  hingga sulit ditunda.  Anggaran pun sudah banyak terpakai.

Firman Soebagyo, Wakil Ketua Komisi IV coba menjelaskan berbagai ungkapan dari koalisi. Kata dia, DPR sudah ada naskah akademik tahun 2010, saat membahas RUU Pemberantasan Pembalakan Liar (PPL). Dalam proses itu berkembang, ternyata kerusakan hutan tak hanya karena ditebang, juga pembakaran dan perkebunan yang ditanam tanpa izin. Lalu, fokus masalah penegakan hukum. RUU pun berganti nama.

Dia juga menyebut Hariadi Kartodihardjo, sebagai salah satu sumber yang memberikan masukan kepada Komisi IV.  Hariadi sudah memberikan pandangan, tetapi tampaknya tak masuk perbaikan RUU (lihat di sini).

Firman keberatan pembahasan RUU ini dibilang desas desus dan tertutup. “Tidak enak.” “Kami studi banding ke Brazil. Justru punya konsep seperti ini karena ada lembaga yang terintegrasi dan tak mengambil fungsi peran lembaga lain.”

Namun, dia menyambut positif masukan dari koalisi. “Ini hal positif untuk komunikasi terus kepada kita. Ini paripurna. Masyarakat harus proaktif.”

Ungkapan senada dari Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi IV. Dia mengatakan, UU tak bisa terwujud tanpa naskah akademik begitu juga RUU PPH. RUU ini menggunakan naskah akademik RUU PPL pada 2010.  “Ini sudah dikonsultasikan dengan tiga perguruan tinggi. Itu konsultasi publik kepada masyarakat luas. Bukan hanya unsur civitas akademika. Termasuk Dinas Kehutanan dan para lembaga swadaya masyarakat. Itu  prosedur standar.”

Pengakuan Herman, setelah ada naskah akademik lalu berkoordinsi dan disingkronkan dengan UU lain. “Kami diuji seluruh anggota Badan Legislatif. Tidak serta merta RUU ini jadi insiatif.”

Dia menjelaskan, bahasan RUU ini tak hanya Komisi IV juga Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM. “Ini juga dikonsultasikan dengan sekretariat jendreal per UU-an agar tak menyimpang.”

Menurut dia, pembahasan RUU ini sudah enam kali masa sidang dan dua kali sidang pendek. “Dua kali masa periode juga.  Jadi sudah (proses) panjang.” Herman menyakinkan, hak-hak rakyat sudah dikedepankan. Salah satu lewat, pengecualian kepada masyarakat peladangan tradisional yang menebang hutan tak terkena UU ini.

“Jika ada kekurangan, silakan kasih masukan, masih ada waktu. Hingga tak serta merta seolah-olah kami lupakan masyarakat, mengabaikan hak rakyat, lupakan HAM. Seolah-olah kami tak ada kerja. Kita masih ada idealisme itu.”

Hardisoesilo, Anggota Komisi IV juga menanggapi koalisi.  Menurut dia, hal-hal terkait hukum adat,  tidak diatur dalam RUU ini karena sudah ada dalam UU Kehutanan. Namun, dia tak menjelaskan pasal-pasal yang menjadi kekhawatiran koalisi rentan mengkriminalisasi masyarakat di kawasan maupun sekitar hutan.

RUU ini, katanya, melalui perjalanan panjang, sudah enam masa kali masa persidangan hingga sulit dihentikan. Hardi mengakui ada beberapa hal dalam RUU ini harus diperbaiki. “Kita ada tahapan bahasan tingkat I dengan para menteri dan pembahasan paripurna. Saya usulkan pada panja, dan jangan berhenti bahas. Justru kita bahas kembali dengan coba pertimbangan dan mengacu yang disampaikan koalisi.” 

Hanya anggota komisi, Ian Siagian, dari Fraksi PDIP  setuju penundaan pengesahan RUU PPH, sampai ada perbaikan seperti masukan koalisi. Kata dia, masukan koalisi perlu dipertimbangkan. “Karena toh kalau kita paksakan minggu ini disahkan, mereka akan judicial review. Ini perlu masukan tertulis dari koalisi.

Dia menyatakan, komisi tak pernah tertutup dalam membahas UU ini. “Saya juga melihat kekurangan tim kami. Kami ini seiya sekata dengan koalisi: bagaimana bisa perbaiki hutan.”  “Saya rasa koalisi dan kita ingin buat UU yang sempurna.”

Ian tak ingin UU ini gugur di MK.  “Jangan sampai kita ketok, lalu gugur lagi. Mendingan kita tunda dulu, demi kebaikan, kita pertimbangkan agar lebih sempurna UU ini.” Dia meminta, koalisi, termasuk DKN, Komnas HAM, memberikan masukan tertulis. “RUU akan masih ke panja dan tiap fraksi akan berikan pendapat. Fraksi kami masih liat poin-poin yang perlu disempurnakan. Tapi apakah kami hanya satu fraksi? Kami tak tahu. Mohon pertimbangkan.”

Dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan, penting kehadiran UU PPH dalam mengisi kekosongan hukum yang tak ada dalam UU Kehutanan No 41 tahun 2009. Namun, mereka juga meminta Komisi IV mempertimbangkan masukan-masukan koalisi demi perbaikan isi RUU PPH ini. 

Bambang Soepijanto, Dirjen Planologi, Kemenhut, mendukung perbaikan RUU PPH dari masukan koalisi. Salah satu, pada analisis subtansi koalisi tentang harmonisasi UU perlu mendapatkan perhatian dalam pembahasan pada RUU PPH.  “Jangan sampai ada kontra dan tidak ada kejelasan defenisi.” Begitu juga komitmen Komisi IV dan pemerintah terhadap kekhawatiran ‘mengkriminalisasi masyarakat.’  “Ini perlu koreksi. Adakah pasal seperti itu? Barangkali perlu disisir hal semacam itu.”

Kajian koalisi  yang menyebutkan, RUU PPH tak menghentikan degradasi hutan, kata Bambang,  sebenarnya tak termasuk hal-hal dalam penyusunan kebijakan publik. Poin itu, masuk dalam efektif tidaknya kebijakan itu.  “Ini terkait evaluasi terhadap kebijakan. Tapi secara substansi apa yang diminta koalisi perlu dipertimbangkan. Prinsipnya, kami menyambut baik karena dalam penentuan sebuah kebijakan memang ini bagian koreksi pada kita semua.” 

Made Subagya dari Kemenhut menyakinkan, dalam RUU ini tak akan menyasar rakyat kecil. “RUU P2H memang untuk pemberantasan perusakan hutan. Jadi jelas memberantas. Saya sangat apresiatif, dalam diskusi-diskusi selalu diungkapkan rakyat kecil jangan kena. Jadi kita batasi, yang disasar kejahatan terorganisasi. Jika kerusakan dampak besar, kena.”

Dia membenarkan, sudah ada UU Kehutanan  no 41 tahun 2009. Namun UU itu belum bisa menjerat cukong atau pemberi modal. “Gimana cukong bisa ditindak, selama ini disitu kekurangan kita,” ucap Made.

Darori, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemenhut, yang sekaligus mengumumkan mundur dari kementerian mengatakan, RUU ini bertujuan baik. Sebab, selama ini Kemenhut mengalami kesulitan dalam penegakan hukum kasus-kasus kehutanan.

Dia mencontohkan, dari 870 kasus sektor perkebunan dengan 85 juta hektar, tambang 1.707 kasus, 8 juta hektar lebih dan kerugian negara Rp362 triliun, banyak bebas. “Apa yang terjadi? Setelah kita lakukan penyelidikan. Kami tangkap pengusaha, ternyata UU sangat lemah. Memang UU Kehutanan pidana maksimal tujuh tahun, kenyataan banyak bebas. Itulah mengapa kami dorong UU ini.”

San Afri Awang, Staf Ahli Menteri Kehutanan menyatakan, secara subtansi sebetulnya masyarakat adat ingin ditempatkan pada posisinya tetapi belum terumuskan secara nyata. “Karena itu, pada step ke depan perlu diperiksa ulang.” RUU ini, memang bukan RUU sapu jagat. “Kita fokus betul pada hal-hal substansial yang merusak. 

Ketika berbicara mengenai perladangan tradisional, kata Awang, ada problem tersendiri. “Yang kita maksudkan jangan sampai masyarakat desa yang biasa buka lahan dengan konsep tebas dan bakar terkena kasus ini. Jadi kita tak beri perlindungan. Katanya kita lindungi. Ini yang perlu diperjelas di dalam rumusan yang akan kita rumuskan ke depan.” Dalam RUU ini dianggap merusak itu menebang pohon. “Saya kira perlu duduk lagi untuk paskan.”

Klik di sini jika ingin melihat draf RUU Pemberantasan Kerusakan Hutan

Rapat Koalisi Penyelamat Hutan bersama Komisi IV dan Kementerian Kehutanan. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version