Mongabay.co.id

Dinilai Mal Administrasi, Menhut Dilaporkan ke Ombudsman

Saat pengukuran kedalaman gambut di kawasan hutan desa. Di hutan Desa Segamai, pada kawasan-kawasan tertentu kedalaman gambut ada mencapai belasan meter. Foto: Yayasan Mitra Insani

Masyarakat dan pendamping dari berbagai daerah di nusantara, didampingi Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Kamis (25/4/13) sore, melaporkan Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan ke Ombudsman karena dinilai lalai administrasi (mal-administrasi) terhadap pengurusan hutan desa.

Laporan ini dipicu hasil Temu Nasional Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa (HKM-HD) di Jakarta, 24-25 April 2013. Dari pertemuan itu terungkap fakta dari target nasional pembangunan HKM-HD hingga 2014, seluas 2,5 juta hektar, sampai 2013,  baru terealisasi areal penetapan 12 persen, perizinan hanya 3,36 persen. Ditambah lagi, proses penetapan HKM-HD bertele-tele, memerlukan waktu bertahun-tahun. Padahal, dalam Peraturan Dirjen No 10/2010 hanya memerlukan 60 hari.  Bukan itu saja, anggaran yang dialokasikan untuk program ini minim. Dari perkiraan kebutuhan anggaran Rp300 miliar per tahun guna merealisasikan 400 ribu hektar tetapi alokasi hanya Rp21,6 miliar (0,82 persen).

Dari fakta ini, masyarakat yang mengajukan HKM-HD bersama pendamping meminta kesungguhan Kementerian Kehutanan. Merekapun berharap, Menhut bisa memberikan jawaban atau setidaknya menghargai mereka yang sudah jauh-jauh datang dari berbagai daerah untuk memberikan penjelasan mengenai proses HKM-HD ini. Namun, Menhut tak hadir.

Dari berbagai fakta ini ditambah ketidakhadiran Zulkifli–yang dinilai tak serius—mendorong mereka melaporkan Menhut ke Ombudsman. Menggantikan Menhut, pertemuan itu dihadiri San Afri Awang, Staf Ahli Menteri Kehutanan didampingi Sumarto, Kepala Humas Kemenhut.

Hari itu juga, didampingi Komisioner DKN, Ita Natalia dan Martua Sirait  selaku Anggota Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim DKN, masyarakat dan pendamping,  mendaftarkan kasus mal-administrasi Menhut ke Ombudsman.

“DKN coba untuk pahami, laporan masuk dari masyarakat dan sudah buat pernyataan, tapi tak ditanggapi serius (Kemenhut). Kini makin mengerucut, tidak ada keberpihakan negara,” kata Ita Natalia. Untuk itu, mereka memutuskan melaporkan kasus ini ke Ombudsman RI.

“Kami tak buka lagi negoisasi. Kami akan tempuh jalur hukum,” kata Hery Santoso, dari Java Learning Center. Sore itu, dengan beberapa mobil, mereka langsung menuju Ombudsman RI di Jl Rasuna Said. “Hasil konsultasi ke Ombudsman tadi, kasus ini didaftarkan sebagai masalah sistemis dengan harapan ada perbaikan sistem,” kata Martua Sirait, Anggota Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim DKN.

Hermawansyah, Dewan Pengurus Gemawan, organisasi berbasis lingkungan dan kehutanan di Kalimantan Barat (Kalbar) mengatakan, ini jelas tindakan mal administrasi Menhut atas kelalaian dan pengabaian  usulan HD-HKM terkatung-katung hampir tiga tahun.

Wawan, begitu biasa disapa, menjelaskan, di Kalbar, ada 23 desa yang mengusulkan HD dari empat daerah, yakni, Kabupaten Kayung Utara (KKU), Ketapang, Sintang dan Kapuas Hulu. “Baru enam yang keluar SK Penetapan Areal Kerja Hutan Desa dari Menhut di Ketapang.” Ada 15 usulan sudah verifikasi. Kasus paling lama, kata Wawan, di lima desa di KKU, sudah diajukan Oktober 2010, verifikasi Maret 2011 dan belum jelas sampai saat ini. “Padahal prosedurnya 60 hari bisa keluar SK Menhut.”

Untuk kasus di KKU itu, bupati telah dua kali mengirim  surat kepada Kemenhut tetapi tak pernah direspon. “Kami juga sudah bertemu Menhut 10 Januari 2013. Saat ketemu Menhut ok, statemennya semua HD akan di SK-kan, tapi setelah dikoordinasikan secara teknis, dinaikkan lagi surat mohon ke PAK-HD, ternyata status sama dengan daerah lain: masih di atas meja menteri.”

San Afri Awang mengatakan, pemerintah serius mengurus HKM-HD tetapi memang tak bisa cepat, salah satu kendala peta. “Selisih satu hektar saja bisa jadi problem. Jadi kita hati-hati sekali. Kalau ada masalah lagi, Kemenhut lagi yang salah.” Masalah peta, katanya, tak bisa diserahkana pada semua orang. “Bikin peta mungkin bisa dilakukan pemetaan partisipatif, tapi masalah tata ruang, itu  harus Planologi.”

Mengenai laporan masyarakat sipil ke Ombudsman itu tak masalah.  “Silakan saja. Itu hak masyarakat sipil. Namun, perlu dicatat, kami tak pernah menghentikan perizinan.” Namun, dari temu nasional ini memang memberikan catatan bahwa banyak muncul kegelisahan di masyarakat, dalam proses HKM-HD.

Sebelum itu,  di ruang acara temu nasional, ketidakhadiran Menhut, membuat suasana pertemuan yang diselenggarakan di Auditorium Kementerian Kehutanan (Kemenhut), siang itu, sempat memanas. Agenda pembukaan yang direncanakan pukul 12.30, molor. Sampai pukul 14.30, sang menteri tak kunjung tiba. Peserta pun mulai gelisah. Panitia memberi tahu jika Menhut tak bisa hadir.

“Hari ini kita temukan tak ada komitmen itu. Menteri yang ditunggu-tunggu utuk bicara tak datang. Padahal, ini kantor menteri. Mengapa tak bisa hadir? Saya kira ini momentum penting,” kata Kaswita Widodo, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), berbicara di hadapan para peserta.

Menurut dia, JKPP bersama masyarakat sudah bekerja membantu pemerintah membuat peta partisipatif. “Ini bantu Kemenhut agar ada peta untuk hutan desa.” “Tapi hari ini kita lihat. Kalo memang ini program, harusnya serius.”

Silvia M dari Dinas Kehutanan Papua Barat juga angkat bicara. Dia mengatakan, sudah datang jauh-jauh dari  Papua, ingin pulang membawa jawaban bagi masyarakat. “Kami dari 2010, sudah bersama-sama masyarakat dan pendamping mengusulkan hutan desa di Kaimana, tapi belum ada penetapan.”

Saat ini, katanya, mereka datang membawa beban jawaban karena sudah bekerja mengurus hutan desa menggunakan APBD. “Kami mohon, kalau pun kami harus menunggu, apa yang harus kami perbaiki. Kami tak bisa diam sama sekali karena masyarakat datang ketuk kantor kami untuk tanya.”

Dia khawatir, masyarakat tak percaya lagi dengan pemerintah karena proses yang berlarut-larut ini. “Kami khawatir ada pihak lain yang menawarkan kepada masyarakat dan tak ada nilai konservasi. Kami minta apa kekurangan kami, walaupun hanya secarik kertas (pemberitahuan dari Kemenhut).”

Keluhan senada datang dari Samuel, Yayasan Kasih Mandiri, Flores Alor Lembata. Menurut dia,  klaim kawasan hutan oleh negara selama ini telah mencederai masyarakat adat dan menciptakan banyak masalah.  Masyarakat pun menyambut baik, saat ada program pemerintah HKM-HD ini. Sayangnya, saat masyarakat pemohon HKM-HD bekumpul, Menhut tak muncul. “Hari ini beliau tak hadir, padahal ini tempat menteri.”

Meskipun Awang coba memberi jawaban dari berbagai keluhan dan pertanyaan, tetapi sebagian peserta sudah terlanjur kecewa. Mereka sudah mengadakan pertemuan, membahas berbagai permasalahan selama dua hari, dan memerlukan penjelasan dari menteri. Namun, yang diharapkan hadir memberi jawaban tak muncul.  “Kami butuh kepastian, tak usah diulang-ulang lagi. Menteri kalau memang punya perhatian, datang. Ini orang datang dari mana-mana, jauh-jauh, biaya mahal. Ini tak ada hati sama sekali. Paling cuma 10 menit, tidak lama-lama. Sudah, kalau begini kami langsung lapor ke Ombudsman saja,” kata Ita Natalia.  Setelah itu, sebagian peserta keluar ruangan, jumpa pers sebentar, lalu menuju ke Ombudsman.

Azlaini Agus, Wakil Ketua Ombudsman dalam pernyataan kepada media mengatakan,  Menhut melakukan mal-administrasi, karena lalai memberikan layanan bagi masyarakat. Kelalaian ini, karena di peraturan jelas disebutkan dalam mengurus perizinan membutuhkan waktu 60 hari, kenyataan lebih dari tiga tahun.

Menurut Azlaini, kinerja Kemenhut yang lamban itu bisa dikategorikan sebagai mal-administrasi perizinan. Selama ini, pencapaian target HKM-HD rendah bukan karena ketertarikan masyarakat minim. Melainkan, kinerja Kemenhut yang rendah dalam memberikan pelayanan publik, khusus penerbitan ketetapan-ketetapan.

Layanan penetapan HKM-HD yang dijanjikan diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 60 hari bisa sampai bertahun-tahun. Akibatnya, banyak usulan menumpuk di Kemenhut tanpa ada kepastian.  Kalangan masyarakat miskin yang sedang mengajukan hak bisa memanfaatkan hutan merasa dirugikan.

Jauh jika dibandingkan dengan layanan Kemenhut terhadap izin pinjam pakai pertambangan, atau pengajuan konsesi untuk kepentingan perkebunan skala besar. “Bisa dimengerti kalau kemudian segenap masyarakat yang mengajukan  HKM-HD merasa kecewa dan seperti dianaktirikan, setidaknya kalau dibandingkan dengan para pengusaha HPH, HTI dan pertambangan.”

Mal-administrasi perizinan Menhut selama ini belum mendapat perhatian banyak kalangan. Berdasarkan catatan di Kantor Ombusdman pusat, tidak satupun pengaduan kasus-kasus pertanahan dan kehutanan terkait dengan kemandegan-kemandegan perizinan HKM-HD ini.

Exit mobile version