Mongabay.co.id

Implementasi Putusan MK, Perlu Dorong Daerah Bikin Perda Masyarakat Adat

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan posisi masyarakat adat lewat pengakuan hutan adat bukan hutan negara. Namun, jika tak ada komitmen kuat dari berbagai pemangku kepentingan, implementasi putusan ini bakal melalui jalan panjang. Salah satu, dituntut keseriusan pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah (perda) mengenai masyarakat adat.

Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut), mengatakan, perlu mendorong pemerintah di berbagai daerah untuk mempercepat penyusunan peraturan daerah (perda) masyarakat adat.  Sebab, dalam pasal 67 UU Kehutanan—permohonan AMAN pada pasal ini ditolak MK–, penyebutkan pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat dengan perda. “Jadi kita akan lihat sekitar 400 kabupaten dan kota yang mana paling peduli soal perda ini,” katanya kepada Mongabay, Minggu(19/3/15).

Saat ini, katanya, momen tepat bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan organisasi masyarakat sipil lain mengawal Perda Masyarakat Hukum Adat di kabupaten dan kota se Indonesia. Hadi menilai, selama ini, daerah seakan kurang peduli atas pengakuan masyarakat hukum adat—lewat pembuatan perda-kecuali Kabupaten Lebak dengan membuat perda masyarakat Badui.

Dia mengingatkan, di Indonesia, ada dua UU yang mengatur lahan, pertama, UU No 5 tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria yang mengakui kepemilikan lewat hak guna usaha, hak milik dan lain-lain. Kedua, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan lewat hutan negara. “Kedua UU itu mengakui hukum masyarakat adat sepanjang kenyataan masih ada dengan perda.”

Kemenhut juga sudah lama menyiapkan PP Hutan Adat sesuai Pasal 67 UU Kehutanan. Kini PP ini masih dibahas para pihak. Daripada menanti perda yang belum tentu mudah, kata Hadi, Kemenhut pun punya terobosan hutan adat lewat program hutan desa dicadangkan 2010-2014, sekitar 500 ribu hektar per tahun.

Program 2,5 juta hektar hutan desa ini, termasuk hutan adat dengan lahan ada dalam kawasan hutan sebelum keputusan MK tertanggal 16 Mei 2013. “Kemenhut akan lihat lagi dan sempurnakan. Jadi nampaknya perlu kesabaran bagi masyarakat adat dan terus mengejar bupati maupun walikota.”  AMAN memperkirakan, setidaknnya ada 40 juta hektar hutan adat di seluruh nusantara ini. Selama ini, tak ada pengakuan jelas bahkan, masyarakat adat yang berusaha mempertahankan hutan mereka dari pengembangan investasi kerab ditangkap.

Hariadi Kartodihardjo, pakar kehutanan sekaligus Ketua Dewan Kehutanan Nasional (DKN) berpandangan, putusan itu menegaskan pengaturan kawasan hutan dalam UU  Kehutanan No 41 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 45.  “Ini seharusnya tidak dilihat dari perspektif yuridis semata, harus ada perubahan persepsi tentang hutan dan pelaksanan kebijakan kehutanan,” katanya.

Dia juga menyampaikan kesaksian di MK terkait judicial review UU Kehutanan ini. “Saya di sidang itu menyampaikan masyarakat adat dalam praktik dibiarkan bebas bersaing dengan izin-izin usaha. Padahal, izin-izin usaha dibekali legalitas sedangkan masyarakat adat dibiarkan berlarut-larut tanpa kejelasan legalitas.”  Selama pelaksanaan UU Kehutanan, sejak 1967, pun hutan adat di dalam hutan negara tidak pernah ditetapkan tata batas. “Juga dibiarkan begitu saja ketika pemerintah daerah juga “malas” menyusun perda untuk hutan adat,” ujar dia.

Di lapangan, kata Hariadi, dalam menentukan hutan adat ada yang mudah, ada yang tidak. Belum lagi, pengesahan kepemilikan yang bersifat komunal (bukan individual) penyusunan kerapkali diminta kepada BPN, tetapi hingga kini belum ada realisasi. Ditambah lagi, posisi hutan adat seringkali berada atau berhimpitan dengan perizinan, hutan lindung maupun hutan konservasi. “AMAN dan organisasi masyarakat sipil perlu pula menentukan dan akhirnya menyepakati bentuk-bentuk pengelolaan hutan adat itu seperti apa, di hutan yang berfungsi produksi, lindung dan konservasi.”

Mengenai pengelolaan ini, kata Hariadi, sebenarnya ditegaskan oleh AMAN bahwa hutan adat adalah hutan tetap, bukan peruntukan lain. Indikasi hutan adat tetap adalah hutan dengan keberadaan kearifannya. Untuk itu, katanya, pengaturan ini menjadi sangat penting dan segera serta perlu diantisipasi baik oleh pemerintah, masyarakat adat maupun organisasi masyarakat sipil. “Tentu, tata kelola hutan adat menjadi tantangan masyarakat adat itu sendiri.”

Dalam proses persidangan, yang mengemuka pertentangan antara negara sebagai pelindung adat, dengan hutan dalam penguasaan negara itu, dengan praktik perlindungan tidak ada.

Exit mobile version