Mongabay.co.id

43 Kasus Kejahatan Lingkungan Hidup Ditangani dengan Penegakan Hukum Terpadu

Bahkan diusulkan semua pertambangan dimoratorium, karena dinilai merugikan negara dan tak memberikan manfaat semestinya kepada masyarakat.

Sejak penandatanganan kerja sama penegakan hukum dengan pendekatan multi-door (terpadu) Desember tahun lalu, sampai saat ini sudah ada 43 kasus kejahatan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan di hutan dan lahan gambut, ditangani.  Modus kejahatan dari kasus-kasus yang melibatkan perusahaan perkebunan sawit dan tambang ini antara lain kegiatan perkebunan atau pertambangan di kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan atau pinjam pakai dari Menteri Kehutanan, sampai pembukaan lahan dengan cara membakar dan kegiatan tanpa dilengkapi izin usaha perkebunan.

Komjen Pol Sutarman, Kepala Bagian Reserse Kriminal Polri, mengatakan, dalam penegakan hukum terpadu, memberantas kejahatan lingkungan tak hanya menerapkan satu UU tetapi menggabungkan UU terkait lain. Antara lain, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, bahkan bisa sampai UU Korupsi dan UU Pencucian Uang.

Sutarman mengatakan, dari 43 kasus ditangani Mabes Polri dan Polda ada 39 meliputi tindak pidana perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Adapun perkembangan kasus itu antara lain proses sidang di Pengadilan Negeri Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, yaitu PT Kahayan Agro Lestari, tahap berkas-berkas lengkap atau P-21 PT Menthobi Mitra Lestari, 14 kasus masih tahap penyidikan, dan 23 kasus dalam tahap penyelidikan.

Sedang kasus ditangani Kementerian Negara Lingkungan Hidup  ada dua, satu masuk tahap P-21, yaitu PT Kalista Alam (PT KA), satu kasus dalam penyidikan PT Surya Panen Subur (PT SPS). Lalu, kasus ditangani Kementerian Kehutanan ada dua, satu tahap penyidikan, yaitu PT Kaliau Mas Perkasa di Kalimantan Barat dan PT Karya Dwi Putera.

Gugatan tak hanya pidana juga perdata, sepeti dilakukan KLH, Kejaksaan Agung sebagai Jaksa Pengacara Negara kepada PT SPS dan PT KA.

Menurut Sutarman, penegakan hukum harus dilakukan lewat upaya luar biasa demi mengamankan alam. “Kalau perlu, moratorium seluruh pertambangan. Berapa banyak lingkungan rusak akibat pertambangan, berapa banyak yang masuk ke kas negara? Berapa banyak manfaatnya bagi masyarakat?” katanya saat pemaparan perkembangan kasus pada peluncuran pedoman penegakan hukum multi-door di Jakarta, Senin (20/5/13).

Jadi, sudah waktunya, tambang dan perkebunan dievaluasi menyeluruh karena yang menikmati hanya para pelaku. “Sampai saat ini kita monitor terus pelaku pertambangan dan perkebunan, baik yang ilegal, setengah legal sampai yang legal.”

Upaya penegakan hukum ini memang tak berjalan gampang. Ada beberapa hambatan yang kerab mereka temui, seperti mendapatkan alhi kehutanan, ahli perkebunan, ahli pidana korporasi memerlukan waktu lama. Juga, beberapa saksi atau calon tersangka tak diketahui keberadaanya, terutama warga asing, serta kondisi geografis sulit dijangkau.

Tanggapan Nanan Soekarna, Wakapolri, tak jauh beda. Menurut dia, kerugian negara tak hanya akibat perkebunan atau tambang ilegal, tetapi yang legal. “Kalau yang legal tapi merugikan negara itu bagaimana nangkapnya. Hasil untuk mereka 90 persen, negara hanya 10 persen. Bagaimana itu?  Untuk itu, Nanan mengusulkan penyelesaian di luar hukum. “Moratorium saja untuk legal tapi merugikan negara ini.”

Kesulitan penegakan hukum juga diakui Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan. “Polisi saja takut, apalagi Kemenhut, yang pakai senjata air. Beberapa kasus sudah disidik, ini saja tak bisa diselesaikan.” Menhut mencontohkan di Solok, ada 1.000 alat berat masuk ke taman nasional tapi tak bisa berbuat banyak. “ Menurut dia, kadang-kadang Kemenhut pesimis menangani kasus-kasus kejahatan kehutanan ini. Namun, dia berharap dengan penegakan hukum terpadu, bisa lebih kuat lagi.

Salah satu aspek penting dalam pendekatan multi-door adalah pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability). “Pertanggungjawaban pidana korporasi ini penting untuk membuat penegakan hukum lebih efektif, karena bisa menjangkau tidak hanya pelaku lapangan tapi juga perencana dan pengambil keputusan hingga  bisa menimbulkan efek jera lebih kuat terhadap pelaku” kata Kepala UKP4/Ketua  Satagas REDD+, Kuntoro Mangkusubroto.

Dalam acara yang difasilitasi UKP4, disaksikan Ketua KPK, Abraham Samad, ini penandatanganan pedoman penegakan hukum dilakukan oleh perwakilan antara lain dari, Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, PPATK, dan Polri. Pada saat itu juga ada pidato akademik pengggunaan pertanggungjawaban pidana korporasi mendukung pendekatan multi-door oleh Prof. Dr. Nico Keijzer, ahli hukum dan mantan hakim agung dari Belanda.

Exit mobile version