“Mari dimulai dari di rumah dulu. Periksa kulkas, apakah isi berlebihan? Belanja secukupnya agar tak terbuang.” Begitu saran Arief T Nur Gomo, Kepala Pengembangan dan Penelitian Bionic Natura dalam diskusi peringatan Hari Lingkungan Hidup bertema,” Think Eat, Save, Reduce Your Food Print,” di Jakarta, Rabu (5/6/13).
Dalam acara yang diselenggarakan Yayasan Kehati, bekerja sama dengan Mongabay-Indonesia, Omar Niode Foundation dan SAE Institut ini, Arief menjabarkan perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi makanan berpengaruh pada sedikit banyak produksi limbah.
Di rumah, masyarakat harus menyetok makanan mentah secukupnya. Arief memberi tips agar masyarakat bisa memperkirakan saat berbelanja. “Seperti sayur mayur hanya tahan tiga hari, dan daging-dagingan seminggu.” Sedang ikan, akan tahan lama asal dalam kondisi beku. Begitu juga bumbu-bumbuan. “Bumbu kering relatif lebih lama. (Bagaimana menyimpan) bumbu basah? Bawang putih jangan taruh di kulkas karena cepat rusak.”
Mengkonsumsi makanan di restoran atau rumah makan pun harus diperhitungkan agar tak berakhir menjadi limbah, misal, jika biasa makan porsi sedikit, maka pilih restoran dengan sajian menu kecil atau sedang. “Di sini harus pintar-pintar konsumen memilih.”
Berbicara mengenai food print (jejak makanan) di Indonesia, cukup tinggi. Mengapa? Sekitar 49,3 persen produk pangan negeri ini, baik bahan mentah sampai pangan jadi dari luar daerah dan impor. Makanan yang dihadirkan dari tempat jauh akan menimbulkan food print lebih besar. Ini bisa berarti lebih banyak menggunakan energi untuk pengiriman hingga melepaskan karbon lebih banyak.
“Apakah berarti masyarakat ekonomi mampu lebih banyak food print dari warga kurang mampu?” Arief tak berani memastikan. Mengenai food print, katanya, bukan berarti orang mampu lebih besar. “Kan orang ekonomi atas tapi pakai buah lokal.”
Namun, Amanda Katili Niode, Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi dan Pendidikan di Dewan Nasional Perubahan Iklim, setuju dengan pernyataan itu. Makin jauh jarak makanan diperoleh, makin besar food print-nya.
Di negara dengan konsumen sadar lingkungan, tentu akan sensitif dengan masalah ini. Dia mencontohkan, saat mengunjungi pasar produk organik di luar negeri menemukan buah-buah berlabel jarak. “Misal anggur, tertera label, sampai di tempat ini memerlukan 200 Km. Apel: aku sampai di tempat ini memerlukan lima Km. Warga pilih beli apel yang lima Km.”
Sayangnya, kondisi di Indonesia cukup menyedihkan. Sebab, hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 2012 menunjukan indeks perilaku peduli lingkungan (IPPL) masih 0,57, dari angka mutlak satu. Nilai ini mengindikasikan masyarakat belum peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Mengurangi limbah tak hanya perlu peran konsumen, juga produsen makanan. Produsen maupun pengusaha makanan seharusnya sadar dan peduli lingkungan. Swandani Kumarga, bisa jadi salah satu pemilik restoran yang berusaha mengurangi limbah dari makanan yang diproduksi. Swan pemilik Restoran Dapur Solo, rumah makan yang menyajikan penganan tradisional nusantara.
Dia menggunakan bahan pangan lokal, bukan impor. Tak hanya itu, agar jarak tempuh dekat, dia mencari bahan pangan tak terlalu jauh dari restoran. “Saya pilih bahan pangan itu di pasar terdekat. Ga ambil yang jauh dengan tempat tinggal, contoh Pasar Senen, memang harga lebih mahal dikit, tapi tak apa.”
Untuk pangan di restoran dia yang menjadi limbah pun terbilang kecil. Saya rasa bungkus-bungkusnya. Apalagi masakan Indonesia, seperti Padang dan masakan Jawa, makin diangetin makin enak. Makin lama makin oke. Beda dengan bakery,” ujar dia.
Selain itu, dalam membuat makanan pun Swan berusaha memperkirakan pembeli hingga tak berlebih. “Paling lebih lima sampai 10 persen, disimpan di kulkas, kecuali sayuran. Limbah pun sudah ada pisahkan antara limbah plastik dan syuran.” Dulu, sebelum banjir, limbah sayur dari resoran dibikin pupuk cair.
Swan punya tips membeli bahan makanan agar tak menjadi limbah. Sebelum belanja, dia memperkirakan keperluan. Setelah itu, membeli bahan segar, seperti daging maupun sayuran hingga memiliki usia lebih panjang. Di restoran itu mengawetkan makanan pun menggunakan freezer alias alami hingga tak menggunakan bahan pengawet.
Saat membeli daging, langsung dipotong-potong dan diolah sesuai menu. Setelah diolah, dipacking untuk disimpan di freezer. Dengan sistem ini, kualitas daging terjaga dan bisa tahan sampai satu bulan.
Husna Zahir, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), juga angkat bicara. Menurut dia, pangan merupakan kebutuhan dasar hingga keberlanjutan sangat penting.
Selama ini, YLKI lebih banyak berbicara masalah keamanan konsumen, terutama saat pengawasan. Mengenai, limbah makanan masih jauh dari perhatian.
Saat pengawasan, di Indonesia, dalam setahun sekitar Rp1,8 miliar produk makanan terbuang. Nilai ini dari temuan produk kadaluarsa dari pengawasan di pasar-pasar. “Itu baru di kota-kota di Indonesia. Seberapa sih yang terjangkau? Itu saja sudah besar.” Dari fakta ini, sebenarnya dari industri juga harus memiliki perhitungan cermat dalam memproduksi satu produk.
MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati miris melihat makanan terbuang di dunia begitu banyak di tengah kelaparan satu dari tujuh masyarakat bumi dan 20 ribu balita dunia meninggal karena tak makan. Masalah seputar pemenuhan pangan akan terus terjadi. Pada 2050 populasi penduduk dunia diperkirakan menjadi 9 miliar. “Tentu bagaimana pemenuhan pangannya?” Saat ini saja, kerusakan hutan di dunia 80 persen disebabkan produksi pangan, seperti sawit, dan tanaman pertanian lain.
Berdasar studi United Nation Environment Program (UNEP) terungkap satu per tiga pangan di dunia atau sekitar 1,3 miliar ton terbuang sia-sia dan menjadi limbah. Angka itu jika dikonversi ke dalam dolar AS menjadi US$310 miliar. Penyumbang terbesar negara industri maju. Negara berkembang menyumbangkan limbah makanan sekitar 630 juta ton setiap tahun. Itulah mengapa tema Hari Lingkungan Hidup Dunia tahun ini, “Think Eat, Save.”
Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan
Pada hari yang sama, KKLH meluncurkan kerangka kerja 10 tahun konsumsi dan produksi berkelanjutan (sustainable consumption and production/SCP) di Indonesia. Kerangka kerja 2013 – 2023 ini untuk mewujudkan dan mempercepat penerapan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Juga memberikan wadah bagi masyarakat dan stakeholder beraksi nyata bagi upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Balthasar Kambuaya, Menteri LH mengatakan, peluncuran kerangka kerja 10 tahun konsumsi dan produksi berkelanjutan ini merupakan prakarsa tingkat nasional pertama di dunia. “Dengan kerangka kerja ini, Indonesia siap berperan aktif dalam kerja sama internasional dengan UNEP dan berbagai pihak untuk penerapan konsumsi dan produksi berkelanjutan,” katanya dalam rilis kepada media.
Konferensi Rio+20 telah mengadopsi penerapan SCP sebagai agenda kerja pembangunan internasional dalam mewujudkan pembangungan berkelanjutan. Dalam skala nasional, dokumen ini memuat peta jalan Indonesia mengutamakan penerapan SCP. Kambuaya mengatakan, penerapan SCP diharapkan meningkatkan ketersediaan dan akses berbagai barang dan jasa serta teknologi ramah lingkungan.
Adapun perangkat kebijakan pendukung SCP yang sudah dikembangkan KLH antara lain, produksi bersih (eko-efisiensi), dan verifikasi kinerja teknologi ramah lingkungan, dan sistem manajemen lingkungan untuk penerapan produksi berkelanjutan. Lalu, kriteria ekolabel untuk sertifikasi produk ramah lingkungan dan pengadaan barang maupun jasa ramah lingkungan untuk penerapan konsumsi berkelanjutan, sistem kompetensi keahlian dan lembaga penyedia jasa untuk penyediaan SDM. Serta, pembinaan dan peningkatan kapasitas produsen dan konsumen, termasuk pendukung, seperti sektor pembiayaan (green banking).