Mongabay.co.id

Laporan HRW: Kegagalan RI Kelola Hutan Ciderai HAM dan Lingkungan

Tata kelola sektor kehutanan Indonesia dinilai gagal karena praktik korupsi dan salah urus pemerintah yang berdampak serius terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Demikian terungkap dalam Laporan Human Right Watchs (HRW) berjudul  “Sisi Gelap Pertumbuhan Hijau: Dampak Hak Asasi Manusia dari Tata Kelola yang Lemah sektor Kehutanan Indonesia” yang dirilis Selasa (16/7/13).

Laporan itu menyatakan, penebangan liar dan salah urus sektor kehutanan menyebabkan kerugian pemerintah Indonesia lebih dari US$7 miliar periode 2007-2011. Dalam laporan HRW 2009, “Wild Money,” disebutkan negara kehilangan sekitar US$2 miliar pada 2006 dari sektor kehutanan. Penyebabnya, seperti, pembalakan liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak. Dalam analisis HRW terbaru, terjadi kenaikan kerugian negara sektor kehutanan pada 2011 menjadi US$2 miliar. Sejak rilis Wild Money sampai saat ini jika ditotal kerugian negara sekitar US$7 miliar.

Pemerintah berupaya berbenah dengan membuat beberapa kebijakan kehutanan lalu memberi label model “pertumbuhan hijau.” Dalam praktik, sebagian besar penebangan di Indonesia tak tercatat dan fee dipatok sangat rendah, hukum dan peraturan pun tetap diabaikan. Kebijakan “pembakaran nol” dan moratorium hutan tak berjalan memadai.

Baru-baru ini kebakaran hutan dan lahan kembali terulang yang menyebabkan asap di berbagai daerah di Indonesia dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Joe Saunders, Wakil Direktur Program HRW mengatakan, persoalan asap bukan satu-satunya bukti nyata kerusakan akibat kegagalan Indonesia dalam mengelola hutan secara efektif. “Penegakan hukum lemah, salah urus, dan korupsi bukan hanya menyebabkan asap, juga penyebab hilangnya miliaran dollar per tahun,” katanya dalam rilis kepada media.

Kehilangan pendapatan yang signifikan menyumbang pada perkembangan mengecewakan pemerintah pada sejumlah isu hak asasi manusia, terutama terkait layanan kesehatan di pedesaan. “Dana yang seharusnya bisa untuk meningkatkan kesejahteraan publik tersedot memperkaya segelintir orang dan hilang percuma karena salah urus.”

Pemerintah Indonesia juga membuat sistem sertifikasi legalitas kayu dan UU Keterbukaan Informasi guna membenahi tata kelola hutan tetapi masih jauh dari harapan. Masyarakat yang tinggal di hutan, salah satu kelompok termiskin di negara ini, sangat dirugikan dengan sistem yang ada. Banyak masyarakat mempunyai hak yang tercantum dalam UU Dasar 1945 untuk menggunakan tanah hutan dan mendapatkan ganti rugi. Sayangnya, sistem sertifikasi legalitas tak memperhitungkan apakah  kayu diperoleh dengan melanggar hak masyarakat atas tanah hutan.

Dalam catatan HRW, meningkatnya keperluan tanah untuk perluasan perkebunan menciptakan sengketa tanah sarat kekerasan. Paling parah di Sumatra, sebagian besar perkebunan sawit dan pulp di Indonesia juga titik kebakaran hutan tahun ini.

Pemerintah gagal mematuhi peraturan sendiri, dengan menerbitkan konsesi di lahan yang diklaim masyarakat dan kegagalan menuntut pertanggungjawaban perusahaan yang legal melanggar kesepakatan ganti rugi. Kondisi ini memicu peningkatan sengketa agraria. Contoh, tahun 2011, sengketa berkepanjangan dengan perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Sumatera Selatan (Sumsel) memicu kekerasan antara warga dengan keamanan perusahaan. Dua petani dan tujuh karyawan perusahaan tewas.

Grafis HRW mengenai pendapatan pemerintah dari sektor kehutanan yang hilang karena mis manajemen dan korupsi. Sumber data: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Laporan tahunan International Tropical Timber Organization dan Kementerian Kehutanan.

Pada 16 Mei 2013, keputusan Mahkamah Konstitusi tentang hutan adat bukan hutan negara. Di tengah iklim tata kelola hutan yang amburadul, tanpa partisipasi dan pengawasan mencukupi dalam mengidentifikasi dan mendaftar hak atas tanah-tanah hutan bisa menimbulkan makin banyak konflik. Jadi, alih-alih menangani akar sengketa tanah, pemerintah malah memperluas lingkup keterlibatan militer dalam “menjaga ketertiban masyarakat.”

Pemerintah juga membatasi berlebihan terhadap informasi kehutanan, baik konsensi hutan maupun klaim tanah. Pihak berwenang sering mengintimidasi dan pelecehan aktivis yang mencoba menarik perhatian masyarakat terhadap pelanggaran sektor kehutanan. Bahkan, para aktivis lingkungan hidup ditangkap karena persoalan tanah perkebunan.

Pemerintah Indonesia juga berupaya membatasi organisasi independen lewat UU Organisasi Masyarakat. “Makin kokoh dinding penghalang terhadap pengawasan publik atas perilaku pemerintah dan perusahaan pada sektor kehutanan,” kata Saunders.  Pada 2 Juli 2013, DPR mengeluarkan aturan baru membatasi akses organisasi non-pemerintah ke donor internasional dan memberi kuasa pemerintah membubarkan organisasi yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional.”

Laporan itu menyebutkan, jika pemerintah tak fokus pengawasan dan penegakan hukum, sektor kehutanan akan makin memburuk. Indonesia, penghasil sawit dan pemain industri pulp dan kertas terbesar di dunia. Indonesia masih berencana meningkatkan produksi minyak sawit dan pulp yang akan berisiko hak asasi manusia jika sumber daya tak dikelola bertanggung jawab.

Sektor kehutanan, dengan keperluan tanah yang luas dan perampasan tanah masyarakat, dikenal luas di seluruh dunia karena dampak berkepanjangan pada hutan dan masyarakat sekitar hutan.“Pemerintah Indonesia menjual perluasan sektor kehutanan sebagai contoh pertumbuhan hijau berkelanjutan dan menangkap penangkal perubahan iklim dan kemiskinan. Namun bukti-bukti di lapangan menunjukkan sebaliknya,” ucap Saunders.

 Laporan bisa dilihat di sini

Hutan Teluk Tomori, Morowali, Sulawesi Tengah ini yang gundul dan porak poranda karena tambang. Tak hanya sawit dan kebun kayu yang menyumbang keburukan rapor tata kelola hutan di Indonesia, juga sektor tambang. Foto: Jatam Sulteng
Exit mobile version