Daeng Rani, pengusaha tambak sukses di perantauan. Suatu hari bersama seorang pengawal bersenjata mendatangi warga di kampung. Dia ingin mengubah sejumlah lahan mangrove menjadi tambak. Dengan kuasa uang dan ancaman, Daeng Rani pun berhasil. Meskipun warga menjerit menentang.
Sepuluh tahun kemudian, Daeng Rani datang lagi dengan tujuan sama. Lahan tambak yang dulu hasil konversi mangrove sudah tidak menghasilkan. Dia mulai bangkrut. Diapun kembali ingin merampas hutan mangrove yang tersisa. Namun, kali ini warga menolak keras. Ada perlawanan, khusus dari perempuan desa. Jatuh korban jiwa di kedua pihak.
Ini hanya sepenggal aksi teatrikal tentang perempuan desa yang melindungi mangrove, ditampilkan anak-anak Desa Ongkoa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada peringatan Hari Mangrove Internasional, Jumat sore, (26/7/13).
Kegiatan bertema “Save Our Mangrove” ini dilaksanakan Mangrove Action Project (MAP) Indonesia bersama sejumlah warga Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar.
Tak hanya teatrikal. Ada kampanye poster. Sebanyak 15 orang memegang poster berisi terkini mangrove di Indonesia, khusus Sulsel. Mulai dari degradasi lahan, dampak penebangan mangrove hingga aspek manfaat ekonomi dan ekologi.
Rio Ahmad, dari MAP Indonesia mengatakan, sesuai data BPK, dari luasan 8,9 huta hektar hutan mangrove dari Sabang sampai Merauke, 85 persen rusak. Artinya, hutan mangrove hanya sekitar 1,35 juta hektar. “Sungguh degradasi besar-besaran yang cukup mengkhawatirkan,” katanya.
Dia mengatakan, daerah pesisir barat Sulawesi dulu dikenal memiliki hutan mangrove sangat bagus, kini tinggal kenangan. “Ironis bahwa daerah kita cukup dikenal sebagai daerah mangrove kini sudah jarang ditemui,” ucap Rio.
Mutiah, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, angkat bicara. Dia menjelaskan, kala tambak rusak ekspansi manggove makin tinggi. Penyebabnya, penggunaan pestisida dan pupuk berlebihan, melebihi dosis anjuran. Kondisi ini menyebabkan, pemakaian pupuk, pestisida dan pakan anorganik yang tinggi, berbanding terbalik dengan hasil produksi.
Yusran Nurdin, peneliti senior MAP Indonesia, mengatakan, peringatan Hari Mangrove Internasional ini memiliki dua arti penting. Pertama, masyarakat belum mengenal tanaman mangrove hingga bisa memberikan informasi. Kedua, menjelaskan kondisi mangrove terkini yang terus mengalami degradasi, khusus di Sulsel.
Sulsel termasuk daerah di Indonesia penyumbang angka degradasi hutan mangrove cukup besar. Sesuai data Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal) Sulsel, wilayah ini pernah memiliki hutan mangrove seluas 214 ribu hektar tersisa 23 ribu hektar.
“Degradasi hutan mangrove tidak lepas dari booming revolusi biru, sebagai dalih peningkatan produksi perikanan Indonesia. Hutan mangrove menjadi tambak, walau tidak sedikit dikonversi sebagai pemukiman, pabrik, mal atau pertokoan, industri arang sampai lapangan golf.”
Konversi hutan mangrove menjadi tambak, menyebabkan penghancuran nilai-nilai ekologi, sosial dan ekonomi yang dimiliki hutan mangrove. Jadi, sudah saatnya menghentikan konversi hutan mangrove menjadi tambak.
Dari tambak 109.452 hektar di Sulsel, 95 persen dikelola tidak ramah lingkungan. Pengelolaan ini justru menurunkan kualitas tanah, berbuntut penurunan produktivitas tambak.
Menurut Yusran, upaya rehabilitasi hutan mangrove banyak dilakukan berbagai kalangan, baik pemerintah, perusahaan swasta, akademisi maupun masyarakat. Dia mencontohkan, ada sekitar 392,85 hektar lahan mangrove tersisa di Pulau Tanakeke, kini menjadi lahan rehabilitasi dengan melibatkan warga setempat.
Keadaan ini, menunjukkan sudah ada kesadaran manfaat dan pentingnya hutan mangrove. Namun, rehabilitasi ini belum bisa mengembalikan fungsi-fungsi yang pernah dimiliki hutan mangrove. “Kurangnya sentuhan atau kajian ekologi dan hidrologi, sering kali 80 persen program rehabilitasi mangrove berakhir kegagalan. Sebagian besar rehabilitasi mangrove, di kawasan yang bukan habitat mangrove.”
Dia juga mengkritisi aturan pengelolaan mangrove di beberapa kementerian seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelauan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup. “Ini justru tumpang tindih kewenangan dan rentan jadi tambak atau kebun.”
Kondisi miris mangrove di Indonesia, juga diungkapkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Kerusakan dan kehancuran hutan mangrove terus terjadi. Lebih miris, inisiatif nelayan merehabilitasi hutan mangrove seringkali mendapat tentangan baik dari pemerintah maupun perusahaan akibat kebijakan tumpang tindih.
Indonesia negara kelautan terbesar, memiliki hamparan hutan mangrove terluas di dunia. Data Food and Agriculture Organization (FAO), hutan mangrove dunia sekitar 16,530 juta hektar, tersebar di Asia 7, 441 juta, Afrika 3.258.000, dan Amerika 5, 831 juta hektar.
Merujuk The World’s Mangroves 1980-2005, dari luasan, mangrove Indonesia terluas di dunia, 49 persen, namun kondisi makin menurun baik dari kualitas dan kuantitas. Pada 1982, hutan mangrove Indonesia seluas 4,25 juta hektar, dan 2009 menjadi kurang dari 1,9 juta hektar.
Pusat Data dan Informasi Kiara Juli 2013 mencatat, ada empat faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti di Lampung dan Langkat, Sumatera Utara dan Sulsel. Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti di Teluk Jakarta, Semarang (Jateng), Surabaya (Jatim), Padang (Sumbar), Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Ketiga, pencemaran lingkungan. Keempat, konversi hutan mangrove untuk perluasan kebun sawit.
Di pesisir Pantai Timur Sumut, luasan mangrove menurun sebesar 59.68 persen dari 103,425 hektar 1977 menjadi 41,700 hektar. Data Kerukunan Nelayan dan Tani Indonesia Sumatera (2010) menyebutkan, hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 hektar. Dari luasan itu, dalam kondisi baik 10.000 hektar. “Penurunan kuantitas dan kualitas ini karena perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, ekosistem pesisir rusak dan penurunan pendapatan nelayan tradisional,” kata Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI Region Sumatera.
Inisiatif nelayan terlibat aktif dalam penyelamatan hutan mangrove, sudah banyak dilakukan tetapi belum mendapat dukungan pemerintah. Dalam kasus pengembalian hutan mangrove di Langkat seluas 1.200 hektar yang dilaihfungsi menjadi perkebunan sawit, nelayan harus berkonflik dengan perusahaan.
Padahal jelas-jelas, PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, PT Charoen Phokpand, alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit.
“Intimidasi dan teror terhadap nelayan oleh lima perusahaan itu hingga kini masih terjadi. Terakhir 9 Juli 2013, nelayan Langkat mendapati 200 ribu bibit mangrove dari 700 ribu bibit untuk melengkapi penanaman hutang mangrove di lahan seluas 1.200 ha mati disiram bahan kimia.”
Tajruddin mengatakan, indikasi kuat dari informasi lapangan yang melakukan pengrusakan bibit orang-orang pro konversi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit.
Untuk itu, Kiara, mendesak pemerintah segera mencabut perizinan usaha dan proyek pembangunan, baik kebun sawit, pertambakan udang, reklamasi pantai, dan lain-lain =yang menyebabkan hutan mangrove hilang. Pemerintah juga harus memprioritaskan dukungan inisiatif masyarakat nelayan dalam merehabilitasi mangrove, seperti di Langkat dan Serdang Bedagai dan Lombok Timur. “Ketimbang sibuk kegiatan seremonial menyikapi makin maraknya praktik pengrusakan hutan mangrove di Indonesia,” kata Abdul Halim, Sekjen Kiara.